Rabu, 29 April 2009

Bertengkar Waktu Puasa

Tanya:
Saya seorang janda, mempunyai tiga anak. Saya bercerai dengan suami lima bulan lalu, karena dia memiliki WIL (wanita intim lain). Sekarang mantan suami ingin rujuk lagi, tetapi saya menolak karena hati ini masih terluka oleh perselingkuhan yang dilakukannya.

Ia tidak pernah putus asa untuk selalu mengganggu lewat telepon atau SMS. Saya sering tak menjawabnya, dan hal ini membuatnya marah. Kemarahan itu disampaikan lewat SMS, dan pernah mendatangi rumah hanya untuk melampiaskan kemarahannya.

Kami pernah bertengkar hebat, karena ia menuduh saya berhubungan dengan M, tetangga saya. Menurutnya, M-lah yang menyebabkan kami bercerai. Waktu itu saya sedang puasa sunah, dan terpaksa membatalkannya. Sebab, kata ustad saya, marah dapat membatalkan puasa. Saya mualaf yang baru belajar agama. Apakah marah lewat surat juga membatalkan puasa? Bagaimana sebaiknya menghadapi mantan suami yang ingin rujuk itu? (Ety)

Jawab:
Ibu Ety, kami dapat memahami perasaan Ibu yang jengkel oleh ulah mantan suami. Ketika masih terikat tali pernikahan, Ibu dengan setia mendampingi, tapi justru ditinggal selingkuh. Sekarang tampaknya ia menyesal dan ingin merajut kembali tali kasih dengan Ibu.

Sekarang terserah Ibu, apakah akan menerimanya kembali atau menolaknya. Salah satu faktor yang perlu dijadikan bahan pertimbangan adalah masa depan anak. Apakah mereka menginginkan orang tuanya berkumpul kembali, atau sudah bisa menerima perceraian ini.

Dari sisi psikologis, anak tentu menginginkan keluarga utuh dan damai. Maka, seandainya Ibu dapat memaafkan mantan suami, dan kembali membangun rumah tangga yang bahagia seperti dulu, kiranya hal ini akan membahagiakan anak-anak.

Kalau ragu akan kesetiaannya, Ibu dapat meminta persyaratan, bisa menikah kembali kalau mantan suami mau taubat kepada Allah dan berjanji tidak selingkuh lagi.

Puasa merupakan tuntunan pengendalian diri dari hal-hal yang menimbulkan kerusakan bagi diri sendiri maupun masyarakat. Seperti makan dan minum berlebihan, kehidupan seksual yang menyimpang dari norma agama maupun kemanusiaan, serta pengendalian hawa nafsu lainnya termasuk marah.

Karena itu, kalau puasa belum bisa mencegah seseorang dari rasa marah yang mengakibatkan kerusakan, maka bisa dikatakan puasanya belum berhasil. Masalah pahala puasa, serahkan saja pada Allah Yang Mahatahu dan Maha Penyayang. Allah akan memberi pahala bagi hamba-Nya yang punya niat baik, apalagi sudah dilaksanakan.

Maka mengenai marah lewat surat, insya Allah tidak membatalkan puasa, sepanjang tidak berakibat pada timbulnya kerusakan atau hal lain seperti dusta, menggunjing, mengumpat, maupun sumpah palsu.

Mohonlah petunjuk dan kekuatan kepada Allah, agar masalah Ibu segera selesai dan mendapatkan lagi kebahagiaan berkeluarga. (32)

(Suara Merdeka 29 April 2009)

Rabu, 22 April 2009

Adakah Hak Anak-Istri dalam Pernikahan Siri?

Tanya:
Saya seorang janda, sudah cerai dengan suami dua tahun lalu. Lima bulan belakangan ini, saya berkenalan dengan K, teman dalam usaha dagang yang selama ini saya jalankan. Ia mengaku duda tanpa anak, tinggal sendirian di Kota P.

Dari sekadar teman, kami akhirnya saling tertarik. Ia mengajak menikah siri, sambil menunggu izin dari orang tua saya yang memang tak menyetujui hubungan ini. Akhirnya kami menikah siri tanpa sepengetahuan orang tua.
Dalam perjalanannya, ternyata rumah tangga kami tak seperti yang saya harapkan. Kami sering bertengkar, dan saya ingin bercerai darinya. K mengancam tidak mau menceraikan, agar saya tak bisa menikah dengan orang lain. Meski saat ini saya hamil satu bulan, tekad bercerai sudah bulat.
Kisruh rumah tangga ini membuat usaha saya terganggu. Saya sering membuat kesalahan dalam mengelola usaha, sehingga beberapa kali mengalami kerugian. Di mana saya bisa mengajukan gugatan cerai? Apakah saya juga dapat menuntut hak anak saya agar kelak diberi nafkah setelah ia lahir? (Anik)

Jawab:
Mbak Anik, banyak perempuan yang terjebak dalam pernikahan siri, seperti yang Anda alami saat ini. Agaknya sebagian masyarakat belum mengetahui secara jelas mengenai kawin siri, meski sudah banyak penjelasan melalui tulisan maupun lisan. Kata siri berasal dari bahasa Arab, sirri, artinya rahasia.
Biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi, dan hanya dihadiri orang-orang tertentu saja. Secara umum, perkawinan siri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat Islam, seperti ada calon pengantin, wali, saksi, ijab kabul, dan mas kawin.

Hanya saja tidak dilakukan di depan Pegawai Pencatat Nikah, sehingga secara hukum negara belum sah.  Menurut UU Perkawinan, pernikahan harus dilakukan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Maka, perkawinan di luar pengawasan petugas itu tidak mempunyai kekuatan hukum (Kompilasi Hukum Agama, Pasal 6). Akibatnya, dari sisi hukum negara, istri dan anak-anak hasil penikahan siri juga tidak mendapat pengakuan dan perlindungan atas hak-haknya.

Dengan demikian, istri tidak dapat mengajukan tuntutan, apabila suami tidak memenuhi kewajibannya terhadap istri dan anaknya. Termasuk dalam kasus yang dialami Mbak Anik dan anak yang kini masih dalam kandungan. Untuk mendapatkan perlindungan hukum, sebaiknya Mbak Anik segera menikah resmi di KUA. Adapun untuk kelanjutan pernikahan, cobalah dibicarakan dengan suami dari hati ke hati. Mbak Anik juga perlu memohon maaf kepada orang tua atas keputusan menikah yang dilakukan tanpa restu mereka. Sebab kerelaan orang tua akan menambah ketenangan dalam berumah tangga.

Kalau pernikahan sudah diresmikan KUA, dan keputusan terakhirnya kelak tetap bercerai, Mbak Anik bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama setempat.

Kalau hanya nikah siri, tidak ada lembaga negara yang bisa menanganinya, dan memberi perlindungan atas hak-hak anak dan istri yang diceraikannya.
Jangan lupa selalu mohon petunjuk dan bimbingan Allah, agar Mbak Anik mendapatkan jalan terbaik dalam meraih kebahagiaan. (32)

(Suara Merdeka 22 April 2009)