Rabu, 11 November 2009

Suami Tidak Mau Menceraikanku

Pertanyaan:
Saya seorang istri  mempunyai dua anak. Rumah tangga saya akhir akhir ini retak karena suami selingkuh. Saya sedih, marah dan malu. Namun tiap kali saya minta cerai, suami tidak mau menceraikan saya dengan berbagai alasan.

Akhirnya saya tahu alasan dia tidak mau menceraikan saya karena dia mengandalkan gaji saya sebagai pegawai di instansi pemerintah.

Suami saya wiraswasta. Dia memang ulet mencari proyek yang bisa dia kerjakan, Selama ini saya tidak tahu penghasilannya. Kebutuhan rumah tangga dicukupi dari penghasilan saya.

Penghasilannya justru untuk bersenang-senang sendiri bersama teman-temannya, berselingkuh, dan selalu pulang larut malam dengan alasan pekerjaan.
Selama ini saya melakukan kewajiban saya sebagai istri hanya karena perintah agama walaupun sebenarnya perasaan saya padanya sudah mati.

Apa yang harus saya lakukan, Bu? Apakah saya bisa menggugat cerai suami saya walau dia tidak mau bercerai? Saya kasihan dengan anak-anak yang harus hidup dalam keluarga yang sudah hambar seperti ini. (Lia)

Jawab:
Ibu Lia, kami ikut prihatin dengan terjadinya keretakan dalam rumah tangga ibu. Sebagai seorang istri, Bu Lia sudah banyak berkorban untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga.

Namun dibelakang bu Lia, ternyata suami justru selingkuh dan menghamburkan uangnya  untuk  bersenang senang dengan  WIL-nya.

Kalau  Bu Lia sudah  tidak  tahan lagi dengan perilaku suami yang  tidak jujur dalam  masalah kesetiaan dan keuangan, maka apabila  menginginkan perceraian, yang  perlu dipertimbangkan lagi  adalah  dampak  perceraian   tersebut bagi anak anak. 

Mereka akan terbelah jiwanya karena sulit untuk memilih antara ayah dan ibu. Karena kedua orang tua mempunyai arti yang penting,bagi perkembangan  kepribadian anak. 

Dalam proses perkembangan nya, anak membutuhkan figur ayah maupun ibu. 

Karena itu, cobalah ibu bicarakan hal ini dengan suami.
Manakala suami sayang pada anak anak, tentu ia akan bertobat dari  perselingkuhannya dan akan  memperbaiki kesalahannya.

Namun kalau ia  tidak mau  berhenti dari  perbuatan dosanya itu, maka ibu bisa mengajukan gugatan cerai melalui pengadilan agama. Karena ibu seorang PNS, maka prosedur perceraian perlu ditempuh, di antaranya  perlu izin pimpinan instansi tempat ibu bekerja. 

Kemukakan  masalah yang menyebabkan bu Lia ingin bercerai dari suami. Pimpinan yang baik, tentu akan membantu mencarikan jalan keluar  bagi  anak buahnya. Karena gangguan dalam rumah tangga  dapat mempengaruhi  pula kinerja seseorang.

Kalau anak sudah  besar, dapat diajak  bicara dari hati ke hati mengenai  apa yang sebaiknya dilakukan terhadap ayah yang sedang dalam  kondisi  tergoda WIL dan melalaikan kewajibannya terhadap Bu Lia dan anak anak.

Melibatkan anak anak dalam pengambilan keputusan semacam itu, akan membuat mereka ikut bertanggungjawab atas  akibat dari keputusan  yang dibuat bersama. Jangan lupa mohon petunjuk Allah . (80)
(Suara Merdeka 11 November 2009)

Rabu, 14 Oktober 2009

Adik Ipar Memusuhiku

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, memiliki lima saudara kandung yang semuanya sudah berumah tangga. Orang tua sudah wafat dan mewariskan beberapa tanah kepada kami. Kebetulan tanah yang diberikan kepada adik yang kedua dan ketiga letaknya berdekatan.

Beberapa waktu lalu, M —istri dari adik ketiga— datang ke rumah, untuk melaporkan batas tanah suaminya yang menurutnya makin sempit karena diambil adik kedua saya (L). Kata M, hal itu terjadi atas desakan istri L yang bernama H.

Setelah menerima laporan itu, saya mengumpulkan semua saudara dan bersama-sama melihat ke lokasi tanah yang diperselisihkan. Ternyata berdasarkan ukuran yang ada pada sertifikat masing-masing, serta sudah dicek petugas BPN, tidak ada perubahan.

Dengan demikian, laporan M tidak benar. Namun M tidak mau menerima kenyataan itu. Dia menuntut agar tanah L dikurangi dan ditambahkan ke bagian suaminya, karena menurutnya batas itu sudah diubah.

Sebagai anak sulung, saya berusaha netral dan menjelaskan hasil pengukuran petugas BPN. Tetapi M tetap tak mau menerima penjelasan saya, bahkan menuduh saya bersekutu dengan L dan H.

Lebaran kemarin, M tak mau ke rumahku. Anak-anaknya juga dilarang ikut bapaknya (adik saya) yang tetap mengunjungiku. Apa yang harus saya lakukan untuk menjaga agar keluargaku tidak pecah karena ulah adik ipar?
( Ny Tatik )

Jawab:
Ibu Tatik, sebagai anak sulung, ibu memang punya tanggung jawab menjaga keutuhan keluarga. Masalah warisan memang sering menimbulkan perpecahan keluarga. Keakraban di masa kecil dalam asuhan ayah dan ibu, dilupakan oleh sebagian orang setelah berumah tangga. Salah satu penyebabnya ya masalah  warisan.

Seandainya M bisa mengingat kembali ikatan persaudaraan suaminya dengan Ibu Tatik beserta saudara- saudara kandungnya, tentu dia tidak akan mempersoalkan tanah warisan itu. Jika luasnya selisih sedikit kan tidak mengapa, karena dengan saudara kandung suaminya sendiri. Dan tanah itu pun peninggalan orang tua suaminya.

Sebagian orang rela memberikan bagian warisannya kepada saudaranya yang kurang mampu atau diwakafkan untuk kegiatan sosial. Insya Allah, perbuatan itu termasuk amal jariyah yang pahalanya akan mengalir terus, meskipun yang memberikan wakaf sudah meninggal dunia.

Mengingat sifat M yang sulit menerima kebenaran, Ibu dapat meminta tolong adik yang menjadi suami M, agar memberi pengertian tentang pentingnya menjaga tali persaudaraan antarsaudara sekandung. Kalau M tetap menuntut tanah warisan suaminya ditambah, dan apabila L bersedia mengalah dan memberikan  sebagian tanahnya, mungkin masalah dapat diselesaikan.

Oleh karena itu, cobalah Ibu bicarakan masalah ini dengan L. Orang yang mau mengalah demi keutuhan keluarga, insya Allah akan ditambah rezkinya.

Jika M tak mau berkunjung ke rumah Ibu, maka kunjungilah dia agar tali silaturahmi tidak terputus. Jangan lupa mohonlah kepada Allah, agar keluarga Ibu disatukan  dengan rasa kasih sayang  dan tolong-menolong  antarsaudara sampai ke anak-anak bahkan generasi selanjutya. (32)
(Suara Merdeka 14 Oktober 2009)

Rabu, 07 Oktober 2009

Perceraian Ortu Menyakitkan

Tanya:
Saya seorang anak laki-laki berusia 14 tahun, memiliki dua adik masing-masing berumur delapan dan enam tahun. Orang tua saya baru saja bercerai. Hati saya merasa sakit sekali setiap mengingat peristiwa itu.

Menurut nenek, sebenarnya hubungan kedua orangtua (ortu) kami sudah lama tak harmonis. Tapi mereka masih berusaha menahan diri untuk tidak bercerai, mengingat anak-anak masih kecil. Namun perceraian itu tetap dilakukan, meski kami merasa masih terlalu muda untuk merasakan kepedihan akibat perceraian  itu.

Berbeda dengan saya yang amat terpukul dengan itu, maka adik-adik saya tampaknya tidak terpengaruh. Mungkin karena mereka masih kecil, sehingga belum faham arti perceraian. Terkadang saya ”iri” dengan adik-adik saya yang tanpa beban, sedangkan saya hampir setiap hari menahan sakit hati akibat perpisahan ayah dan ibu.

Andaikata perceraian itu terjadi sewaktu saya masih kecil, mungkin saya tak akan merasakan kesedihan yang berlarut-larut seperti ini. Apa yang harus saya lakukan untuk menghilangkan kesedihan ini? Saya amat menyayangi ayah dan ibu, dan ingin mereka bahagia dan bersatu lagi; bukan karena terpaksa, dan hanya untuk menyenangkan anak-anak.
(Aldi)

Jawab:
Ananda Aldi, perceraian memang meninggalkan kesedihan bagi suami-istri maupun anak-anaknya. Setelah bercerai, ada yang tetap berhubungan dengan baik, ada pula yang kemudian saling menjelekkan.

Hal semacam ini yang membuat anak-anak makin bingung dan sedih ketika menyaksikan ayah dan ibunya saling bertikai atau bermusuhan. Mau membela ibu, kasihan juga kepada ayah, demikian juga sebaliknya.

Karena itulah, perceraian dalam Islam menjadi perkara yang dibolehkan tetapi dibenci Allah. Mengapa perceraian dibolehkan? Jika dalam rumah tangga terdapat masalah, maka sebaiknya suami-istri memang perlu bermusyawarah untuk mencari  jalan keluarnya.

Tetapi kalau sudah diusahakan, namun tidak bisa diselesaikan dan menyebabkan salah satu atau keduanya menderita akibat masalah tersebut, maka Islam membolehkan mereka bercerai.

Misalnya, ada istri yang terpaksa minta cerai karena suaminya selalu bohong, suka menipu atau mencuri. Si istri merasa malu dan sedih atas perbuatan suaminya. Meski sudah mengingatkan berkali-kali, bahkan hingga bertahun tahun, suaminya tetap tidak peduli dan tidak mau memerbaiki kesalahannya. Kalau tidak diperbolehkan bercerai, maka isteri itu akan menderita terus.

Padahal tujuan pernikahan adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia. Jika dalam kenyataannya justru mendatangkan penderitaan, maka akan lebih baik bagi suami-istri itu untuk berpisah.

Kalau setelah berpisah kemudian muncul kesadaran untuk memerbaiki kesalahan, dan mantan suami-istri itu ingin rujuk kembali, maka ajaran Islam juga membolehkannya.

Karena itu, masih ada kesempatan bagi ayah dan ibu Aldi untuk bersatu lagi. Untuk memberi dorongan ke arah sana, Aldi dapat berbicara kepada ayah dan ibu, atau melalui surat.

Jangan lupa selalu mohon kepada Allah agar kedua ortu diberikan petunjuk dan dikuatkan rasa kasih sayang di antara mereka, agar dapat bersatu lagi sebagai suami-isteri serta mendapat kebahagiaan dalam berkeluarga.

Untuk mengurangi kesedihan Aldi, maka gunakan waktumu untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa dan shalat. Dan isilah waktumu untuk mengerjakan hal-hal yang positif  bagi masa depanmu. (32)
(Suara Merdeka 7 Oktober 2009)

Rabu, 23 September 2009

Antara Anak dan Mertua

Tanya:
Saya seorang karyawati, sedangkan suami menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Kami dikaruniai seorang anak berusia lima tahun. Kami tinggal bersama bapak mertua yang menderita sakit sudah beberapa lama.

Semula bapak mertua tinggal bersama istrinya. Tetapi karena ibu mertua sudah tak kuat lagi merawatnya, maka suami saya mengambil alih tanggung jawab perawatan ini, sementara ibu mertua memilih ikut adik ipar yang tinggal di luar daerah. Saya tidak keberatan merawat bapak mertua. Tetapi yang membuat saya kecewa adalah suami justru tidak perhatian lagi kepada anaknya. Ketika saya mengajukan rencana untuk menambah anak, suami menolak dengan alasan masih repot mengurus bapak.

Di sisi lain, ibu mertua menginginkan agar kami memikirkan lagi tambahan anak. Karena anak kami sudah cukup besar untuk mempunyai adik. Ibu mertua seolah sudah mau tidak memikirkan keadaan bapak. Dan suami saya, karena merasa bertanggung jawab atas ayahnya, kemudian malah ‘’melupakan’’ masa depan kami. Apakah saya perlu memberitahu ibu mertua tentang  persoalan yang kami hadapi? Siapa tahu beliau mau merawat bapak lagi.

Dengan demikian, suami bisa agak longgar pikirannya sehingga dapat memikirkan  masalah keturunan bagi kami berdua. Terima kasih!
(Ny Atik)

Jawab:

Ibu Atik, dapat merawat orang tua maupun mertua di masa tuanya merupakan pekerjaan yang mulia. Ibu dan suami telah dipilih bapak mertua untuk mendampinginya di hari tuanya. Itu merupakan kebahagiaan yang perlu disyukuri.

Kalau bapak mertua mau tinggal bersama Ibu Atik dan suami, tentu sudah didasari oleh pengamatannya selama ini, bahwa ibu adalah menantu yang dipandang sabar dan dapat menerima suka-duka di dalam merawat dan menghadapi orang tua. Maka, bapak mertua pun lebih memilih ikut Ibu Atik bersama suami, bukan ikut anaknya yang lain.

Ibu Atik dan suami memang anak yang berbakti kepada orang tua, karena tidak keberatan merawat bapak mertua yang sakit, bahkan tinggal bersama di rumah Ibu.

Mengingat Ibu dan suami sama-sama bekerja, maka perlu dicari waktu yang longgar untuk berbicara dari hati ke hati tentang rencana mempunyai anak lagi. Sebaiknya Ibu membicarakan persoalan itu kepada suami daripada kepada ibu mertua. Karena untuk merawat suaminya saja ibu mertua sudah tidak mampu, dan menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada suami Ibu.

Jadi, tampaknya Ibu Atik tidak boleh berharap terlalu banyak kepada ibu mertua untuk merawat kembali suaminya. Kalau suami belum merespon keinginan Ibu untuk mempunyai anak lagi, bukan berarti ia tidak perhatian. Mungkin pada saat sekarang suami merasakan beratnya tugas merawat orang sakit.

Sebagai solusinya, Ibu perlu menawarkan alternatif untuk mengatasi kerepotan suami. Misalnya dengan menggunakan jasa perawat lansia sehingga bisa membantu suami dalam merawat bapak mertua. Dengan demikian, perawatan bapak tidak terabaikan, tetapi Ibu Atik bersama suami tetap mempunyai waktu lebih longgar sepulang dari kerja untuk istirahat maupun berbincang bincang.

Cobalah Ibu Atik meyakinkan suami, bahwa kehadiran anak lagi tidak akan menyebabkan perhatian dan perawatan bagi bapak mertua akan terganggu. Karena telah ada perawat yang bertanggung jawab, maka Ibu bersama suami tinggal mengontrol saja.

Dengan demikian, suami tak akan keberatan dengan rencana memiliki momongan lagi. Sebab, juga mempunyai peran penting dalam melanjutkan sejarah dan cita-cita keluarga.

Jangan lupa memohon kepada Allah agar selalu diberi kemudahan dalam membangun keluarga  yang bahagia di dunia dan akhirat. Amien... (32)

(Suara Merdeka 23 September 2009)

Rabu, 02 September 2009

Suamiku Membenci Ibunya

Tanya:
Sebelum Ramadan, saya punya hubungan kurang harmonis dengan ibu mertua. Saya sendiri tidak tahu, apa kesalahan saya yang menyebabkan ibu memarahiku di depan suami. Sampai di rumah, suamiku menanyakan apa penyebab ibu marah kepadaku.

Secara jujur, saya merasa tidak bersalah, karena selama ini kami memang jarang ketemu. Bagaimana mungkin berbuat kesalahan, kalau bertemu saja jarang.

Biasanya menjelang Ramadan, saya dan suami mengunjungi ibu mertua untuk mengantarkan mukena dan sajadah. Tetapi menjelang Ramadan sampai sekarang, suami tidak mau diajak ke rumah ibu mertua. Katanya, dia ikut jengkel karena ibu menuduhku telah memengaruhi suamiku agar tidak lagi mencintai ibunya.

Mendengar apa yang dikatakan suami, saya punya rencana akan datang ke rumah mertua, untuk menjelaskan mengenai apa yang pernah beliau dituduhkan kepadaku.

Bagaimana sebaiknya menghadapi ibu mertua? Apakah saya diamkan saja, atau perlu dimintai penjelasannya mengenai tuduhan itu. Terima kasih!
(Rini)

Jawab:
Ibu Rini, setiap orang tua menginginkan anak-anaknya memperlihatkan perhatian dan kasih sayang kepadanya. Karena itu, meskipun Ibu Rini bersama suami sudah memberikan perhatian kepada ibu mertua, tetapi masih ada yang kurang.
Ibu sudah menjelaskan kalau selama ini jarang bertemu ibu mertua, meskipun tinggal satu kota.

Sebenarnya kunjungan anak, menantu dan cucu sangat diharapkan oleh setiap orang tua maupun mertua. Mereka akan merasa sangat bahagia apabila anak dan cucunya sering menjenguknya.

Sebaiknya Ibu Rini tidak usah mengungkit tuduhan ibu mertua, karena bisa berakibat makin menjauhnya hubungan kekeluargaan.

Ya, segeralah meluangkan waktu untuk berkunjung ke rumah mertua. Ajaklah suami, kemudian mohonlah maaf kepada ibu mertua, karena selama ini Ibu Rini dan suami kurang memerhatikan beliau.

Sadarkanlah suami bahwa sikapnya membenci ibu yang sudah mengandung, melahirkan, dan membesarkannya itu merupakan dosa besar yang dilarang dalam agama. Allah memerintahkan kepada setiap anak untuk menghormati orang tuanya.

’’Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.

Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-sekali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ’ah’, dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka  perkataan yang mulia’’ (QS Al IsraĆ­: 23).

Merujuk pada perintah Allah ini, maka hindarilah berbantah-bantahan dengan ibu mertua yang bisa menyebabkan beliau merasa sakit hati, karena menantu dan anaknya sudah tidak lagi menghargainya. Berusahalah untuk selalu membahagiakan orang tua, maka Allah akan menambah pula kebahagiaan kepada Ibu Rini beserta suami dan anak-anak.

Jangan lupa memohonkan ampun kepada Allah atas kekhilafan suami yang sempat membenci ibunya, dan jangan lupa selalu mohon petunjuk Allah ke jalan yang diridhai-Nya. (32)

(Suara Merdeka 2 September 2009)

Rabu, 26 Agustus 2009

Berdamai dengan Suami

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga yang sudah menikah selama tiga tahun, tetapi belum dikaruniai seorang anak. Suami saya wiraswasta di bidang elektronik.

Sedangkan saya semula bekerja di kantor swasta. Tetapi sejak setahun lalu berhenti dari kantor, dan sekarang sedang merintis usaha yang dapat ditangani dari rumah.

Saya tinggal bersama mertua dan saudara ipar yang sudah berkeluarga. Lingkungan tempat tinggal kurang baik, karena masih ada kebiasaan mabuk-mabukan, judi, dan lainnya yang menyimpang dari norma agama.

Karena lingkungannya seperti itu, saya meminta suami tidak terpengaruh untuk ikut-ikutan.

Pada awal pernikahan, suami banyak tinggal di rumah.Tetapi sekarang, kalau di rumah ada masalah atau habis bertengkar dengan saya, maka pelariannya adalah ngumpul dengan teman-temannya, dan terkadang pulang sampai larut malam dan kemudian tidak salat.

Kalau saya ingatkan, dia marah dan saya dicuekin. Karena suasana rumah tangga yang seperti itu, saya kemudian pulang ke rumah orang tua saya. Meskipun kesal, saya tetap minta izin suami untuk pergi ke ortu saya. Ia hanya diam, tetapi tampak kalau marah dan tidak suka dengan kepergian saya ke rumah ortu.

Sampai sekarang ia tidak menelepon atau menanyakan kapan saya pulang ke rumah. Apakah saya harus memulai lebih dulu untuk berkomunikasi, atau saya diamkan saja.

Sesungguhnya di Bulan Suci ini, saya ingin menjalani puasa dan tarawih bersama suami. Tetapi yang terjadi justru kami hidup sendiri-sendiri. Bagaimana caranya saya bisa kembali rukun dan dapat membangun keluarga yang sakinah?
(Tia)

Jawab:
Ibu Tia,dalam rumah tangga, suami adalah penolong istri dan istri juga penolong suami. Saat ini, suami Ibu Tia punya masalah dengan lingkungan yang kurang mendukung untuk pembinaan keluarga sakinah.

Maka Ibu perlu selalu mendampingi dan membantunya agar bisa keluar dari masalah tersebut. Meskipun sudah lama bergaul, terkadang suami dan istri belum dapat memahami pribadi pasangannya. Sehingga perlu senantiasa diupayakan saling pengertian di antara keduanya.

Suami Ibu Tia termasuk yang rentan terhadap konflik. Maka ketika mempunyai masalah di kantor atau sehabis bertengkar dengan Ibu Tia, ia melarikan diri untuk melupakan persoalan yang dihadapi.

Selama ini, pelariannya adalah berkumpul dengan teman-temannya yang berpengaruh buruk terhadap pengamalan agamanya.  Agar akibat pergaulan itu tidak makin menjerumuskan suami ke perbuatan dosa lainnya, sebaiknya Ibu Tia segera kembali ke rumah mertua dan bantulah suami menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Pertengkaran dalam rumah tangga antara suami dan istri adalah hal yang wajar terjadi. Hal itu merupakan bagian dari upaya penyesuaian diri dan saling memahami antara suami dan istri. Oleh sebab itu, kalau ada masalah sebaiknya segera diselesaikan bersama. Jangan ditunda atau bahkan melarikan diri dari masalah.

Usahakan masing masing pihak tidak meninggalkan rumah dalam keadaan marah, atau persoalan belum selesai. Sikap ibu untuk tetap menghormati suami dan meminta izinnya ketika akan ke rumah orang tua sudah tepat. Akan lebih baik lagi kalau kepergian ibu ke rumah ortu bersama suami.

Agar di bulan suci ini ibu dapat melanjutkan upaya membina keluarga yang sakinah, maka segera jalinlah komunikasi dengan suami dan kembalilah berkumpul dengannya. Ajaklah suami salat tarwih bersama di rumah atau masjid. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Alquran.

Kalau suami belum bisa membacanya, maka Ibu bisa melatihnya sendiri. Atau kalau suami lebih suka berlatih dengan orang lain, mintalah bantuan orang lain yang bisa membimibing suami dalam membaca Alquran maupun ibadahnya. Jangan lupa mohon petunjuk dan pertolongan Allah agar ibu bersama suami diberi kedamaian dan segera diberi keturunan yang salih, agar menjadi perekat cinta antara Ibu Tia dan suami. (32)

(Suara Merdeka 26 Agustus 2009)

Rabu, 19 Agustus 2009

Sendiri pada Bulan Suci

Tanya:
Saya  seorang janda, bekerja di sebuah kantor swasta. Setahun yang lalu, suami saya meninggal dan kami belum dikaruniai seorang anak. Sampai sekarang, saya belum menikah lagi,meskipun ada orang yang  pernah dekat dengan saya.

Setelah setahun menjalani hidup sendiri, terkadang muncul pikiran untuk berumah tangga lagi. Orangtua dan saudara-saudara sering meminta saya untuk menikah lagi. Menjelang Bulan Puasa ini, saya teringat betapa senangnya berbuka puasa, salat tarawih, dan sahur bersama suami. Sedangkan tahun ini, saya harus menjalaninya sendiri.

Beberapa bulan lalu, saya ketemu teman kuliah di masa lalu. Dia menyatakan ingin hidup bersama saya. Tapi sampai sekarang saya belum memberi jawaban. Saya terombang-ambing antara perasaan ingin hidup sendiri dan berkeluarga. Jika hidup sendiri, terkadang merasa bebas, tanpa beban, meski juga terkadang merasa sepi.

Kalau menikah lagi, saya khawatir pendamping saya tidak sebaik almarhum suami saya. Apa sebaiknya yang harus saya lakukan? Apakah harus menikah, atau hidup sendiri saja?
(Lina)        

Jawab:
Kami bisa memahami keraguan Ibu Lina untuk menikah, karena sudah mampu mencukupi kebutuhan sendiri dan tak ingin direpotkan oleh persoalan keluarga. Namun, sebagai wanita normal, Ibu terkadang membutuhkan lawan jenis yang bisa diajak bertukar fikiran dan teman dalam menjalankan ibadah.

Ini menunjukkan bahwa manusia, secara fitrah, membutuhkan pasangan. Untuk itulah, Islam memberi tuntunan agar umatnya melaksanakan pernikahan, sehingga terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta dapat melahirkan keturunan yang salih atau salihah .

Dengan adanya perkawinan, terjagalah seseorang dari  perbuatan dosa yang disebabkan oleh desakan nafsu syahwatnya. Menurut Islam, perkawinan bisa menjadi sunah hukumnya bagi orang yang sudah mampu kawin, tetapi masih bisa menahan hawa nafsunya sehingga tidak terjerumus dalam perzinaan.

Namun perkawinan menjadi wajib hukumnya bagi seseorang yang sudah mampu kawin dan tidak kuat menahan hawa nafsunya. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menikah, karena dengan pernikahan itu akan lebih mampu menjaga mata dan kemaluannya dari yang dilarang Allah (HR JamaĆ­ah).

Dengan adanya perkawinan, selain untuk menjaga diri dari perbuatan zina, sepasang suami-istri dapat saling tolong-menolong dalam mengerjakan ibadah dan berbuat kebaikan, serta menjauhkan diri dari kemungkaran sebagaimana diperintahkan Allah, yang artinya:

’’Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang baik dan mencegah yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya’’ (QS at Taubah: 71).

Dengan terjadinya perkawinan, akan terjaga pula kelangsungan keturunan, yang berarti terjaga pula keberadaan manusia di bumi ini. Begitu penting pernikahan bagi manusia, maupun kelangsungan keturunannya, maka Islam mencela hidup membujang selamanya. Keinginan Ibu Lina untuk bersuami lagi sesuai dengan perintah agama. Maka tinggal memantapkan pilihan pada laki-laki yang ibadah dan akhlaknya baik.

Dengan demikian, keinginan untuk melaksanakan ibadah bersama seperti puasa, tarawih, dan sahur bersama suami dapat terwujud. Semoga Ibu Lina memperoleh petunjuk Allah dalam memilih jodoh yang salih, dan dapat menjadi teman dalam menjalankan perintah agama, serta mencari kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat kelak. (32)

(Suara Merdeka 19 Agustus 2009)

Rabu, 05 Agustus 2009

Campur Tangan Mertua

Tanya:
Saya seorang PNS, punya  dua anak balita. Setiap hari, saya dan suami berangkat kerja bersama, meski kantor kami berbeda. Kami sekeluarga tinggal bersama mertua, karena suami anak bungsu dan dua kakaknya tinggal di luar kota.

Selama ini, saya dan suami banyak berutang budi kepada mertua kami, karena mereka berdua banyak meluangkan waktu untuk menemani anak-anak.
Tetapi ada hal yang kurang menyenangkan, terutama yang sering dilakukan ibu mertua. Saya dan suami tidak pernah mempersoalkan hal itu, karena kami menghormati ibu.

Dua tahun lalu, ayah mertua meninggal. Mungkin karena kesedihan yang berlarut-larut, sekarang ibu mudah marah. Kami juga sering kena marah, tetapi saya dan suami bersepakat memendam perasaan agar tidak terjadi konflik dikeluarga. Tetapi akhir-akhir ini, saya lebih sering jadi sasaran kemarahan.

Yang lebih menyakitkan, setiap marah ibu mertua selalu mengungkit-ungkit pacar-pacar suami yang katanya lebih cantik, dan lebih memerhatikan saya. Akibatnya, saya sering berselisih dengan suami, karena saya ingin pindah rumah, tetapi suami mau tetap bersama ibu mertua. Bagaimana sebaiknya, apakah kami harus berpisah?
(Ny Mulyati)

Jawab:
Ibu Mulyati, ibu mertua saat ini masih belum bisa melepaskan diri dari duka sepeninggal suaminya. Perasaannya belum stabil, sehingga sering marah. Ibu Mul menjadi sasarannya, karena yang ada di rumah hanya Ibu, suami, dan anak-anak.

Meski kena marah, Ibu dapat mengendalikan diri sehingga tidak terjadi konflik terbuka melawan ibu mertua. Sikap ibu yang diam dan sabar dalam menghadapi mertua yang sedang marah itu sudah tepat dan terpuji.

Kesabaran itu masih diperlukan untuk membantu memulihkan perasaan ibu mertua yang mengalami goncangan akibat wafatnya suami yang sekian lama menjadi pendamping dalam suka dan duka.

Agar proses pemulihan itu tidak mengalami hambatan, sebaiknya Ibu menunda dulu keinginan untuk pindah rumah. Kalau dilakukan, itu bisa menambah masalah baru, seperti kesepian dan kesedihan bagi ibu mertua, karena merasa anak bungsu dan menantunya sudah tidak sayang lagi kepadanya, dan tak mau lagi tinggal bersama.

Karena itu, Ibu perlu meneguhkan kesabaran. Perbanyak salat tahajud, ungkapkan semua kesedihan dan kekecewaan di hadapan Allah. Jangan lupa doakan ibu mertua agar diberi petunjuk, dilapangkan hatinya, sehingga tak menjadi pemarah lagi. Dengan demikian, ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarga Ibu Mul akan tercipta kembali. (32)

(Suara Merdeka 5 Agustus 2009)

Rabu, 29 Juli 2009

Mendidik Anak Angkat

Tanya:
Saya karyawan di kantor swasta, sudah 10 tahun menikah tetapi belum punya anak. Tiga tahun lalu, saya dan suami sepakat untuk mengangkat T sebagai anak. Dia masih kemenakan suami. Tahun ini, T mulai masuk di SMP. Sebenarnya T anak yang baik, tetapi jika kecewa karena ada permintaannya tidak dituruti, dia akan merajuk dan menuduh kami tidak menyayanginya karena bukan anak kandung.

Hal itu menyebabkan suami selalu menuruti permintaannya. Saya selalu mengingatkan agar suami jangan memanjakan anak seperti itu. Tetapi suami tidak bisa menerima perkataan saya, bahkan sering marah-marah. Suami paling tidak suka kalau ada orang yang menyebut T sebagai anak angkat. Bagaimana menurut ajaran Islam, apakah dibolehkan anak angkat diakui sebagai anak kandung?
(Ny Eny )

Jawab:
Ibu Eny, karena usia T sewaktu diangkat sebagai anak sekitar 10 tahun, maka ia sudah tahu siapa orang tua kandungnya. Maka ia suka merajuk dan ingin kembali ke orang tuanya apabila mengalami kekecewaan. Karena itu, suami Ibu selalu memanjakannya agar T merasa disayang dan diperhatikan.

Tapi, di sisi lain, memanjakan anak secara berlebihan akan berakibat kurang baik terhadap perkembangannya, terutama kemampuan untuk mandiri. Dalam perkembangan kepribadian, kemandirian anak merupakan hal penting untuk menuju kedewasaan berpikir serta berperilaku.

Agar sikap suami yang memanjakan T tidak berakibat negatif, sebaiknya Ibu perlu bicara dari hati ke hati dengan suami tentang cara  yang perlu dilakukan agar sikap suami yang ingin memanjakan T tidak berakibat buruk bagi perkembangan anak.

Mengenai adopsi anak, tak ada larangan menurut Islam. Yang penting tujuannya untuk kebaikan dan masa depan anak, bukan untuk  tujuan yang merugikan atau menyengsarakan anak. Yang perlu diperhatikan Ibu dan suami adalah tuntunan Islam yang tidak membolehkan orang tua angkat menutupi identitas orang tua kandung anak angkat. Karena anak mempunyai kewajiban moral untuk mendoakan dan berbakti pada orang tua kandungnya. Demikian sebaliknya, orang tua berkewajiban mendoakan agar anaknya dapat menjadi anak yang salih/salihah.

Karena itu, orang tua angkat tidak diperbolehkan memutuskan hubungan antara anak angkat dan orang tua kandungnya, apabila usia anak sudah memungkinkan diajak bicara tentang orang tua kandungnya. Merekalah yang melahirkan dan merawat T, sehingga tidak boleh melupakan mereka.

Sedangkan Ibu Eny dan suami  adalah orang yang membesarkan dan mendidiknya. Jadi, anak mempunyai  dua keluarga yang sama-sama menyayanginya. Dengan demikian, diharapkan T juga dapat menyayangi orang tua kandung maupun orang tua angkat. Jangan lupa memohon kepada Allah agar anak angkat Ibu bisa menjadi anak salih dan bermanfaat. (32)

(Suara Merdeka 29 Juli 2009)

Rabu, 22 Juli 2009

Menolong Anak Tetangga

Tanya: 

Saya seorang ibu rumah tangga, tinggal di kampung K. Ada tetangga dekat bernama L yang mempunyai empat orang anak, namun semuanya tidak disekolahkan. Setiap hari anak-anak itu disuruh mengamen atau meminta-minta di jalan. Kami sekeluarga merasa kasihan dengan mereka. Pada saat teman sebayanya sudah pandai baca tulis, mereka belum bisa.

Pernah ada tetangga yang menegur L tentang keadaan anak-anaknya yang tidak pernah disekolahkan, malah diterjunkan di jalan. Menanggapai teguran itu , L marah-marah dan meminta tetangga jangan ikut campur urusan keluarganya. Inilah yang membuat saya dan suami ragu-ragu untuk menolong anak-anaknya.

Kami ingin menyekolahkan mereka atau memasukkannya ke pondok pesantren  Apa yang bisa kami  lakukan agar dapat menolong anak-anak itu tanpa harus bermusuhan dengan orangtuanya?
(Ny Widya)

Jawab:

Ibu Widya, keluarga Ibu termasuk peduli dengan tetangga. Anak-anak yang setiap hari turun ke jalan menyebabkan mereka dapat terpengaruh kehidupan di jalanan yang serbabebas. Apalagi diantaranya ada anak perempuan. Selain rawan terhadap bahaya di jalan, mereka juga rawan terhadap kekerasan fisik dan kekerasan seksual.

Lingkungan keluarga maupun masyarakat berpengaruh besar terhadap perkembangan kepribadian anak. Maka, Ibu Widya berniat memasukkan anak ke pondok pesantren, yang mana di sana juga bisa bersekolah, sehingga dapat mengisi kekosongan pendidikan yang selama ini belum diperolehnya dari orangtua.

Agar L dan istrinya bisa menerima niat baik Ibu Wid, dekatilah mereka, ajaklah berbicara mengenai masa depan anak-anak. Apakah mereka akan membiarkan anak-anak hidup di jalan selamanya? Tidakkah mereka kasihan kepada anak-anaknya yang di zaman sekarang setiap orang dituntut bisa baca-tulis, sementara anak-anak mereka tidak bisa.

Orang yang tidak bisa baca-tulis mudah dijadikan sasaran penipuan atau penindasan oleh pihak lain yang tidak bertanggung jawab.  Kemukakan pula manfaat anak-anak jika mendapat  pendidikan di sekolah atau pesantren.

Jika L sudah bisa menerima pemikiran  Ibu, maka proses selanjutnya perlu dikawal agar jangan berhenti di tengah  jalan. Ajaklah orangtuanya mengantarkan anak-anak  ke pesantren, agar mereka tahu tempat dan suasana tempat belajar itu.

Seandainya gagal dalam menyekolahkan anak-anak ke pesantren, Ibu dapat menyekolahkan mereka ke sekolah terdekat. Berilah mereka pendidikan keterampilan yang dapat menghasilkan uang. Terkadang ada orangtua  yang anaknya tidak boleh sekolah, agar mereka dapat membantu mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jika semula mereka mencari uang di jalan, sekarang perlu dialihkan ke pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah, seperti membuat makanan ringan atau sejenisnya. Melatih anak agar mempunyai ketrampilan sejak dini juga diajarkan Rasulullah. Sabda beliau, ’’Ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan memanah serta merenda bagi anak-anak perempuan (HR Al  Baihaqi).

 Dorongan dari Rasulullah itu perlu diwujudkan dalam masyarakat sekarang, agar tidak ada generasi muda yang menganggur dan  tak ada lagi yang terpaksa menjadi peminta-minta atau hidup di jalanan yang berpengaruh negatif terhadap masa depan anak. (32)

(Suara Merdeka 22 Juli 2009)

Rabu, 15 Juli 2009

Terperangkap Duda

Tanya:
Saya sudah berumah tangga selama 25 tahun, dikaruniai seorang anak gadis yang kini berusia 14 tahun. Karena tempat kerja di luar kota, maka sebulan sekali saya baru bisa pulang ke rumah. Di Kota K tempat saya bekerja, ada tetangga bernama M. Ia duda, punya toko kelontong. Saya sering belanja keperluan sehari hari di toko tersebut.

Dari sekadar berteman, M kemudian mengaku tertarik kepada saya. Suatu ketika, saya pernah sakit di Kota K. Sedih sekali karena jauh dari suami dan anak. Tiba-tiba M dan pembantunya datang menolong dan mengantar saya ke rumah sakit. Dia juga menyuruh pembantunya mengurus segala keperluan saya selama sakit. Sekarang saya bingung, karena M menyatakan cintanya dan ingin menikahi saya. Padahal saya sudah mengatakan sudah memiliki suami dan anak. Bu, bagaimana cara menolak M agar ia tidak merasa sakit hati.
(Ny Titin)

Jawab:
Ibu Titin yang sedang bingung, pernikahan merupakan ikatan kasih sayang antara suami dan istri yang amat kokoh, karena didukung oleh ikrar yang diucapkan saat akad nikah. Dikuatkan pula oleh hukum agama dan hukum negara, serta disaksikan oleh Allah maupun sanak saudara. Karena itu, suami-istri mempunyai kewajiban untuk menjaga agar keluarga yang dibangunnya dapat mendatangkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Niat untuk menolak permintaan M, yang ingin menikahi Ibu, sangat baik karena untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Tetapi, niat itu harus disertai dengan keteguhan hati, karena Ibu telah mempunyai suami yang setia dan anak gadis yang menginjak remaja. Mereka menyayangi Ibu, demikian pula sebaliknya. Itu merupakan salah satu tanda kebahagiaan dalam rumah tangga.

Perjalanan rumah tangga yang sudah dibina sekian lama itu tentu tidak lepas dari suka-duka. Ibu dan suami berhasil melewati segala rintangan dengan baik, sehingga rumah tangga masih utuh sampai sekarang. Maka perlu dipertahankan, dan jangan sampai goyah hanya karena Ibu ingin membalas budi baik M.

Kebaikan M memang tak boleh dilupakan. Kalau bisa, Ibu perlu membalasnya dengan kebaikan pula, tapi tak harus dengan menerima cintanya yang berarti mengorbankan keutuhan rumah tangga. Sebaiknya berterus terang kepada M, bahwa Ibu mempunyai keluarga yang bahagia. Karena itu, hubungan dengan M sebatas teman saja. Meski kejujuran itu mungkin menyebabkan M patah hati, itu lebih baik baginya agar tidak berharap terlalu jauh.

Selanjutnya, Ibu perlu menjaga jarak dengan M agar ia tak salah menafsirkan sikap ibu yang selama ini terkesan begitu dekat. Untuk menghindari godaan M, ajaklah suami dan anak berkenalan dengannya. Jadi, M bisa melihat sendiri keharmonisan keluarga Ibu, dan dengan demikian diharapkan ia akan mengurungkan niat untuk menikahi Ibu Titin. Jangan lupa selalu mohon kepada Allah agar diberi kekuatan untuk menjaga diri dari godaan yang dapat menghancurkan kebahagiaan rumah tangga Ibu. (32)

(Suara Merdeka 15 Juli 2009)

Rabu, 08 Juli 2009

Menghentikan Kemaksiatan

Tanya:
Saya ibu rumah tangga, sudah menikah selama 30 tahun, mempunyai dua anak dan tiga cucu. Suami bekerja sebagai salesman dan saya buka warung makan di rumah. Meskipun usaha kami kecil, tetapi cukup untuk menutup kebutuhan sehari -hari.

Tapi yang kami (saya dan anak) prihatinkan adalah perilaku suami yang sering berjudi dan mabuk-mabukan. Awalnya dia terpengaruh temannya. Ketika kami ingatkan, dia mengatakan hanya sekadar untuk pergaulan. Padahal suami saya itu rajin salat, tetapi mengapa sulit meninggalkan perbuatan yang dilarang agama.
Anak-anak sering mengeluhkan perilaku bapaknya. Bagaimana cara mengajak suami untuk meninggalkan kemaksiatan itu, karena dia sering marah kalau disinggung tentang kegemarannya berjudi dan mabuk.
(Ny Tini)

Jawab:
Ibu Tini tahu bahwa judi dan minum minuman keras dilarang agama. Judi dan minum khamr terbukti menimbulkan kerusakan ekonomi, kesehatan, maupun pergaulan. Betapa banyak uang yang dihamburkan tanpa manfaat yang jelas.
Setiap penjudi tentu menginginkan selalu bisa memenangi permainan, bisa meraup uang sebanyak-banyaknya. Dalam kenyataannya, tidak ada yang menang terus.

Sebaliknya, banyak yang kalah dan hartanya habis. Selain menyengsarakan keluarga, akibat lebih jauh dapat menimbulkan permusuhan antarpenjudi atau antara penjudi dan keluarganya. Suami Ibu pun marah jika disinggung hobinya itu.

Minum minuman keras juga menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, bahkan dapat menimbulkan kerusakan sistem pencernaan dan saraf otak. Masih banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh perjudian dan minuman keras. Karena itu Allah melarang  manusia berjudi dan mabuk-mabukan (QS Al Baqarah: 219).

Selama ini suami Ibu rajin salat, tetapi masih melakukan perbuatan maksiat itu. Mungkin suami belum tahu dasar larangan itu ada di Alquran, bahkan menganggapnya sebagai cara mempererat persahabatan. Ibu Tini bisa menunjukkan larangan tersebut, dan ajaklah suami untuk meninggalkan kemaksiatan itu.

Sesungguhnya dalam setiap salat, seorang muslim selalu mohon kepada Allah agar ditunjukkan jalan yang lurus (jalannya orang yang mendapat kenikmatan dunia dan akhirat). Petunjuk Allah antara lain terdapat di Alquran, seperti perintah menjauhi judi dan minuman keras.

Ibu Tini, jangan berputus asa mengajak suami ke jalan yang benar. Ajaklah anak-anak ikut mengingatkan bapaknya. Karena judi dan mabuk bukanlah contoh yang baik bagi anak dan cucu, sehingga wajib bagi suami untuk menghentikan perbuatan itu. Cobalah melalui berbagai cara, bisa sewaktu  bersama anak-anak atau ketika Ibu berduaan dengan suami.

Sampaikan ajakan itu dengan  lemah lembut, dan jangan lupa mendoakan suami agar diberikan petunjuk dan kekuatan untuk menjauhi segala yang dilarang Allah. (32)

(Suara Merdeka 08 Juli 2009)

Rabu, 24 Juni 2009

Sakit Pembersih Dosa?

Tanya:
Saya seorang  ibu rumah tangga, mempunyai anak tiga orang yang semuanya sudah bekerja. Setahun lebih, saya menderita sakit yang tak kunjung sembuh. Ketika anak-anak masih sekolah, saya bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, karena saya  seorang  janda.

Kini saya tinggal bersama anak bungsu yang belum menikah. Kalau dia pergi ke kantor, tinggallah saya sendiri di rumah. Terkadang saya putus asa dengan usaha saya untuk berobat. Dalam kesendirian itu, sering timbul pikiran apakah sakit saya itu karena dosa saya banyak. Sewaktu muda, saya termasuk perempuan nakal dan pernah menyakiti hati orang tua. Dan saya sering menangis kalau ingat dosa-dosa di masa lalu.
(Ny Tanti)

Jawab:
Ibu Tanti, setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan yang disengaja maupun tidak. Setiap manusia pasti pernah merasakan sakit. Adakalanya ringan dan hanya beberapa hari, tetapi ada pula yang berat. Timbulnya penyakit tentu ada sebabnya. Terkadang  berkaitan dengan  pikiran yang cemas, gelisah, sedih, lalu berpengaruh pada kesehatan jasmaniahnya.

Ibu merasakan kecemasan yang terus-menerus, ketika mengingat dosa yang dilakukan waktu dulu. Cobalah Ibu berserah diri kepada Allah, dan mohon ampunanNya. Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Apabila ibu bertobat dan tidak melakukan dosa-dosa itu lagi, insya Allah akan mendapat ampunanNya.

Kalau orang tua masih hidup, mohonlah maaf kepadaya. Tunjukkan bakti ibu kepada mereka, melalui perbuatan dan perkataan yang  menyenangkan. Manakala keduanya sudah meninggal, bakti itu dapat dilakukan dengan selalu mendoakan dan memintakan ampun atas segala dosanya.

Dengan demikian, Ibu Tanti telah membersihkan dosa-dosa yang telah lalu. Isilah kehidupan selanjutnya dengan sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi diri sendiri maupun anak-anak. Jangan putus asa dalam berobat, dan iringilah dengan doa mohon kesembuhan dari Allah.

Memang, sakit itu ujian kesabaran dari Allah. Maka jalanilah dengan ikhlas dan sabar dalam menunggu hasil usaha/pengobatannya.  Bagi yang bersabar atas ujian itu, kiranya Allah akan memberikan pahala dan pengampunan atas kesalahan yang pernah diperbuat.

Rasulullah SAW pernah menengok orang yang sakit dan mengucapkan, ’’La ba’sa thahurun, insya Allah’’. Tak apa-apa, insya Allah menjadi pembersih (dosa). Semoga ibu sabar dalam menjalani ujian ini, dan jangan putus asa dalam berobat dan berdoa. (32)

(Suara Merdeka 24 Juni 2009)

Rabu, 17 Juni 2009

Ingin Bertobat dan Menjadi Lebih Baik

Tanya:
Saya ibu rumah tangga, mempunyai enam anak yang sudah dewasa. Suami sudah meninggal lima tahun lalu. Sewaktu suami sakit dan tidak dapat mencari nafkah, saya telah menempuh jalan yang dilarang oleh agama, seperti menipu, mencuri, bahkan saya pernah menjual diri karena terpaksa.

Semua itu saya lakukan untuk mencukupi kebutuhan anak-anak, serta untuk membeli obat bagi suami yang sakit. Setelah suami meninggal, saya bertambah bingung, karena tidak ada yang bisa diajak bicara untuk mengatasi kesulitan rumah tangga.

Pada waktu sulit seperti itu, saya mendapat nasihat dari seorang ustad agar berubah menjadi baik, sehingga kami sekeluarga diberi jalan keluar dari kesulitan oleh Allah. Apa yang harus saya lakukan agar bisa menjadi orang yang lebih baik dari kemarin?  
(Ny Narti)

Jawab:
Ibu Narti, semua manusia tidak bisa lepas dari berbuat salah dan lupa. Namun Allah sangat menyayangi manusia, sehingga selalu memberi petunjuk agar orang yang bersalah dapat kembali ke jalan yang benar. Kiranya Ibu termasuk yang diberi petunjuk Allah, sehingga mempunyai keinginan untuk menjadi lebih baik dari kemarin.

Untuk menghilangkan dosa-dosa yang pernah dilakukan, Ibu perlu bertobat kepada Allah. Caranya, memohon ampunanNya (baca istighfar). Selanjutnya, ungkapkan penyesalan atas dosa-dosa masa lalu di hadapan Allah, setelah shalat. Berjanjilah kepada Allah, tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosa itu.
Niatkan dalam hati Ibu Narti agar menjadi orang yang lebih baik. Wujudkan niat itu dalam perilaku sehari-hari. Untuk menyempurnakan pertobatan itu, Ibu bisa mengikuti petunjuk Rasulullah SAW, bahwa orang Islam yang sempurna adalah yang tidak menyakiti orang lain dengan perkataan maupun perbuatannya (HR Imam Abu Daud).

Selain harus menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang dapat meyakiti hati orang lain Ibu Narti perlu juga memperbaiki  ekonomi keluarga dengan jalan usaha. Cobalah memulainya dengan usaha yang diminati dan dapat menghasilkan uang. Misalnya jual makanan atau buka jahitan/salon, sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimiliki Ibu sekeluarga.

Usaha itu akan mendukung keinginan Ibu untuk tidak melakukan lagi perbuatan dosa seperti dulu, yang terjadi karena kesulitan ekonomi. Jangan lupa terus mohon pertolongan Allah, agar selalu diberi jalan yang mudah untuk mendapatkan rezki yang halal dan bermanfaat. (32)

(Suara Merdeka 17 Juni 2009)

Rabu, 10 Juni 2009

Anak Sakit, Suami Genit

Tanya:
Saya ibu rumah tangga dengan seorang anak yang menderita hidrocephallus (kepala membesar—Red). Suami saya pegawai negeri. Saat menunggui anak dioperasi di rumah sakit, ternyata suami selingkuh dengan istri temannya. Awalnya dia mengelak punya hubungan cinta dengan wanita itu, bahkan marah saat saya tanyakan hal tersebut. Tetapi akhirnya ia tak membantah, karena secara kebetulan saya sering melihat keduanya bertemu di luar rumah.

Kasus ini pernah saya laporkan kepada atasan suami di kantor, juga kepada suami wanita tersebut. Namun suami wanita itu tidak mengambil tindakan, bahkan berkesan membiarkan. Suami sudah dipanggil pimpinan kantor dan mengakui, bahkan minta izin untuk menceraikan saya. Atasannya menolak, karena tidak ada alasan yang tepat untuk menceraikan saya.

Kini tindakan suami sudah di luar batas, karena pernah memukul wajah dan kepala saya sampai memar. Saya pun melaporkan kasus ini kepada atasannya, dan suami mendapat sanksi masuk tahanan selama tiga hari. Sejak itulah saya pulang ke rumah orang tua, dan suami tak pernah menengok maupun memberi nafkah. Saat sakit anak saya makin parah, ia juga tidak menengok.

Akhirnya anak saya meninggal, dan suami datang dengan memberikan uang duka. Tapi sesudah itu tidak pernah datang lagi dan tidak memberi nafkah. Hubungan suami dan WIL-nya masih jalan terus. Melihat semua itu, saya berpikir mengajukan gugatan cerai karena sudah tidak tahan menderita lebih lama. Namun ada beberapa hal yang mengganggu pikiran.

Apakah hukum Islam membolehkan suami menikah dengan wanita yang masih bersuami itu. Bagaimana status saya? Apakah saya dapat menuntut hak untuk mendapatkan bagian dari gaji suami, meski sudah tidak serumah? Saya  bingung, karena masih harus melunasi utang untuk biaya pengobatan anak saat sakit. Beban itu makin berat, jika saya harus mengeluarkan biaya untuk mengurus perceraian.
(Ny Susi, Magelang)

Jawab:
Ibu Susi, kami dapat memahami kepedihan Ibu dengan meninggalnya putra yang dikasihi, sementara suami justru bersenang-senang dengan wanita lain. Menurut hukum Islam, perselingkuhan termasuk perbuatan mendekati perzinaan yang  dilarang agama (Surat al-Israa’: 32).

Suami Ibu juga tidak bisa menikah dengan WIL itu, karena masih terikat perkawinan dengan pria lain (Kompilasi Hukum Islam Pasal 40).
Adapun status Ibu masih istri yang sah, meski sudah tak tinggal serumah.

Karena itu, Ibu masih berhak memeroleh sebagian dari gaji suami. Karena suami pegawai negeri, maka perkawinannya terikat dengan PP Nomor 10/1983 .

Menurut aturan ini, kalau perceraian terjadi atas kehendak suami, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk bekas isteri dan anak-anaknya (PP 10/1983 Pasal 8 Ayat 1).

Disebutkan juga, jika dari perkawinan itu tidak ada anak, bekas istri memperoleh separo gaji suami (Pasal 8 Ayat 3). Jika ada anak, bekas istri mendapat sepertiga, dan anak-anak mendapat bagian sepertiga pula (Pasal 8 Ayat 2). Untuk memeroleh hak atas gaji suami, Ibu dapat berkonsultasi dengan pimpinan kantor tempat suami bekerja.

Soal kelanjutan pernikahan, bicarakanlah baik-baik dengan suami. Jika suami berniat menceraikan, dan Ibu juga telah memikirkannya, mintalah suami untuk menceraikan secara baik-baik. Termasuk memberikan sebagian gajinya untuk bekas istri sesuai peraturan, dan membiayai urusan perceraian itu.

Bicarakan pula kesulitan Ibu dalam melunasi utang untuk perawatan anak saat sakit. Karena biaya perawatan itu termasuk tanggung jawab suami terhadap anaknya.

Jika suami mengelak dari tanggung jawab itu, mintalah bantuan pimpinan kantor untuk menyelesaikan persoalan itu, misalnya melalui pemotongan gaji suami setiap bulan.

Agar hati tenang dan pikiran jernih dalam mengambil keputusan, mohonlah petunjuk kepada Allah dengan melakukan salat istikharah.
Jika sudah mantap, ambillah keputusan yang terbaik. Ibu tidak perlu khawatir soal masa depan, termasuk dalam mengatasi kesulitan ekonomi.

Yakinlah, Allah akan memberi pertolongan bagi hamba-Nya yang  mau bekerja keras, dan berada di jalan yang  benar. (32)

(Suara Merdeka 10 Juni 2009)

Rabu, 03 Juni 2009

Pilih Ortu atau Pacar?

Tanya:
Saya gadis  berumur 21 tahun, sedang menjalin cinta dengan cowok berusia 25 tahun. Hubungan kami sudah cukup lama, dan kami saling mencintai serta menghargai satu sama lain. Kami bersepakat melanjutkan hubungan ini sampai jenjang pernikahan. Tapi orang tua saya melarang hubungan kami dengan alasan berbeda suku. Saya Jawa, pacar Sunda.

Menurut ortu, orang Jawa tidak boleh menikah dengan orang Sunda, dan saya harus mematuhinya. Ortu pernah mengancam, jika tak mengikuti perintahnya, saya tidak akan dianggap anaknya lagi. Saya bingung, haruskah meninggalkan pacar dan mematuhi perintah ortu?

Di satu sisi, saya merasa berat untuk memutuskan hubungan cinta ini, apalagi sudah merasa cocok dengan pacar. Tetapi di sisi lain, saya tidak ingin kehilangan atau melukai hati ortu yang telah merawat dan membesarkan saya dengan segala kasih sayang dan pengorbanannya. Mohon nasihatnya, Ibu...
(Yeni- Semarang)

Jawab:
Ananda Yeni, kami dapat memahami kesulitanmu. Sebagai anak yang berbakti, ananda ingin mematuhi perintah ortu. Tetapi itu berarti harus rela melepaskan pemuda yang ananda cintai.

Mematuhi ortu merupakan sikap terpuji. Islam dengan tegas memerintah pemeluknya agar berbuat baik kepada orang tua (QS Luqman:14-15). Karena orang tua telah bersusah payah membesarkan dan mendidiknya. Seorang anak dilarang berkata/berlaku  kasar atau membentak orang tuanya.

Mengingat hal tersebut, sebaiknya ananda tetap bersikap baik dan menghormati pendapat ortu, meski berbeda dengan keinginanmu. Secara halus dan sopan, perlu ditanyakan mengapa mereka melarangmu berhubungan dengan pemuda tersebut. Mungkin ortu punya kenangan buruk dengan orang yang kebetulan dari Sunda.

Islam tidak melarang perkawinan antarsuku maupun antarbangsa. Kriteria yang diajarkan Islam untuk memilih jodoh adalah yang baik pengamalan agamanya dan berakhlak mulia. Dengan dasar ketakwaan kepada Allah dan budi pekerti mulia, diharapkan lelaki itu akan bergaul dengan isterinya dengan cara yang baik, tidak kasar, atau kejam, sehingga tercipta ketenangan berkeluarga.

Pertimbangan selain itu barulah rupa, kekayaan, keturunan, suku, dan sebagainya, terkait dengan keinginan dan pertimbangan setiap orang. Karena itu, cobalah ananda bicarakan kriteria memilih suami yang diajarkan agama ini dengan kedua ortu. Dengan komunikasi yang baik, diharapkan Yeni dapat memahami alasan ortu melarang hubungan dengan pemuda pilihan itu. Sebaliknya ortu diharapkan mengetahui pula dasar pertimbangan Yeni memilih pemuda tersebut.

Selanjutnya akan terjalin saling pengertian, yang akan membawa kebaikan bagi Yeni. Jika alasan ortu bahwa pengamalan agama si pacar kurang baik, sebaiknya Yeni memikirkan kembali kelanjutan hubungan itu. Namun jika alasan mereka tidak terkait dengan hal itu, Yeni dapat menjelaskan kebaikan pribadi pemuda tersebut, di samping kekurangannya.

Dengan demikian, ortu dapat mempertimbangkan keputusannya terdahulu. Percayalah, setiap ortu ingin anaknya bahagia. Mereka akan berbuat sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan bagi anaknya, dan menjauhkan hal-hal yang akan menyengsarakannya. Agar hati makin mantap-tenang, mohonlah petunjuk kepada Allah dengan melakukan salat istikharah. Semoga Yeni mendapat jalan menuju kebahagiaan yang direstui ortu dan diridhoi Allah. (32)

(Suara Merdeka 3 Juni 2009)

Rabu, 27 Mei 2009

Tergoda Tetangga

Tanya:
Saya seorang ibu dari dua anak balita. Suami seorang wiraswata yang sering ke luar kota untuk keperluan usahanya. Rumah tangga kami dulu tenteram, tetapi akhir-akhir ini goncang karena suami mempunyai hubungan cinta dengan salah seorang tetangga yang bekerja di kota P.

Wanita itu bernama W, janda kembang yang dicerai suaminya karena selingkuh dengan laki laki lain. Saya tak tahu, bagaimana awal kedekatan W dengan suami saya. Beberapa kali saya membaca SMS yang masuk ke HP suami, yang isinya janjian di suatu tempat. Ketika saya tanyakan kepada suami, katanya SMS itu dari teman bisnisnya.

Awalnya, saya percaya dengan penjelasan itu. Tetapi lama-lama kecurigaan saya makin kuat, karena ada teman yang sering melihat suami bersama W. Persoalan ini menyebabkan kami sering bertengkar. Suasana rumah tangga semakin kacau, bahkan kami pun kini saling tidak bertegur sapa.

W pernah mengancam saya melalui telepon. Katanya, dia akan mengadukan saya ke polisi,karena telah menuduhnya berselingkuh dengan suamiku. Saya merasa ketakutan terhadap ancaman itu. Apakah yang harus saya lakukan untuk menghadapi W? Apakah mendiamkan suami diperbolehkan dalam agama? (Rina)

Jawab:
Ibu Rina yang sedang gelisah, kami bisa memahami perasaan ibu, karena SMS yang bikin kacau rumah tangga dan rencana W akan mengadukan ibu ke polisi. Ibu berada di pihak yang benar, jadi tak perlu risau dengan ancaman itu. Apalagi ada bukti perselingkuhan W dengan suami, baik berupa SMS maupun kesaksian teman ibu yang melihat keduanya sering berduaan.

Dengan mengancam ibu melalui telpon, sesungguhnya W telah melakukan kekerasan psikologis terhadap ibu, karena telah membuat ibu takut dan gelisah.

Kalau  W masih mengancam, Ibu Rina dapat melaporkan W ke pihak yang berwajib (polisi). Namun kalau tidak mau memperpanjang urusan, ibu bisa mengajaknya bicara atau lewat surat untuk menyelesaikan masalah itu secara damai.

Mintalah ia menjauhi suami ibu, dan jangan menggoda lagi. Jika yang menggoda justru suami ibu, mintalah ia untuk tak melayaninya. Selanjutnya, bicarakan masalah perselingkuhan itu dengan suami. Kalau suami ingin menjaga kelangsungan hidup berumah tangga, mintalah dia mengakhiri hubungannya dengan W.

Sadarkan dia bahwa anak-anak membutuhkan kasih sayang dan teladan yang baik. Kalau rumah tangga tidak harmonis atau hancur di tengah jalan, maka akibatnya tidak hanya dirasakan suami-istri, tetapi juga anak-anak.

Mengingat masa depan anak-anak sangat membutuhkan bimbingan ayah dan ibunya, maka hubungan harmonis dalam keluarga yang sempat terganggu perlu dibina kembali.
Untuk itu, diperlukan kesabaran dan tenggang rasa antara ibu dan suami. Akhirilah perang dingin atau saling mendiamkan itu.

Karena mendiamkan suami atau orang lain lebih dari tiga hari dilarang oleh agama, sebagaimana sabda Rasulullah:

‘’Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan (tidak mengajak bicara) saudaranya sesama muslim, lebih dari tiga hari, keduanya bertemu lalu yang satu memalingkan mukanya, demikian pula yang lainnya. Dan yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai lebih dulu mengucap salam (mengajak bicara)’’ (HR Bukhari dan Muslim).

Merujuk ajaran Rasulullah itu, maka segeralah ibu mengajak bicara suami untuk menyelesaikan kemelut rumah tangga ini. Jangan lupa berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan dan jalan keluar dari godaan ini. (32)

(Suara Merdeka 27 Mei 2009)

Rabu, 20 Mei 2009

Fitnah Itu Kejam

Tanya:
Saya seorang pegawai di salah satu kantor swasta. Punya teman H yang suka buat gosip. Beberapa waktu lalu, saya pernah difitnah oleh H. Akibat fitnah itu, hubungan saya dengan calon suami berakhir.

Sampai sekarang saya masih sendiri, sedangkan mantan tunangan sudah berumah tangga. Jika teringat fitnah itu, hati ini masih terasa pedih. Lebaran tahun lalu, teman saya itu meminta maaf, katanya menyesali perbuatannya.
Karena saya masih teringat dengan akibat fitnah itu, maka saya tidak menjawab permintaan maafnya. Bahkan sampai hari ini saya belum bisa memaafkan perbuatannya. Apakah saya berdosa kalau tidak mau memaafkan H? (Arum)

Jawab:
Mbak Arum, setiap orang sudah ditentukan jodohnya oleh Allah. Apabila belum berjodoh, maka ada saja jalan untuk berpisah. Sebaliknya, jika memang berjodoh, meski banyak rintangan akan ketemu juga.

Karena itu, sebaiknya Arum tidak perlu menyalahkan H. Mungkin secara lahiriah, penyebab kegagalan itu adalah H. Tetapi jika direnungkan lebih dalam, maka fitnah itu tidak akan menjadi halangan bagi dua orang yang memang ditakdirkan berjodoh. Karena, bagi orang yang saling mencintai, tentu tidak akan percaya begitu saja terhadap perkataan atau berita yang dibawa orang lain.

Menyesali masa lalu akan menyebabkan kemunduran, kalau tidak diikuti dengan usaha untuk memerbaiki kesalahan tersebut. Karena itu, sebaiknya segera lupakan masa lalu dan songsonglah hari depan yang lebih baik.
Jika teman itu sudah meminta maaf, maafkanlah kesalahannya. Apalagi sudah menyatakan penyesalannya.

Namun untuk memaafkan orang yang telah memfitnah tentu bukan hal yang mudah. Karena harus menahan marah, jengkel, dan ketidakpuasan lainnya.
Bagi orang yang dapat mengendalikan marahnya, berarti ia telah berhasil melampaui ujian yang berat. Maka Allah akan memberikan pahala bagi orang yang mau memberi maaf pada orang lain yang pernah berbuat jahat kepadanya (QS Asy-Syura: 40).

Memaafkan kesalahan orang lain akan mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak. Selain mengakrabkan lagi, Arum akan mendapatkan kembali kehidupan yang lebih tenang. Sebab sakit hati dan menyesali masa lalu dapat menyebabkan stres dan timbulnya penyakit lainnya.

Maka Islam mengajarkan agar seseorang bisa menahan marah, dan mau memberi maaf kepada orang lain. Karena manusia tidak lepas dari berbuat salah. Karenanya, maafkanlah H. Siapa tahu ia benar-benar bertaubat dan akan memperbaiki kesalahannya. (32)

(Suara Merdeka 20 Mei 2009)

Rabu, 06 Mei 2009

Istri Menjadi Kepala Keluarga

Tanya:
Sejak lima tahun lalu, suami saya menderita sakit sehingga tak dapat mencari nafkah. Dengan bekal ijazah SMA, saya berusaha mencari pekerjaan dan mendapat penghasilan tetap. Karena tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya mencari tambahan penghasilan dengan mencuci dan seterika.

Karena suami adalah anak tertua di keluarganya, banyak pula urusan keluarga yang semula ditangani suami kini beralih ke saya. Dalam beberapa hal, saya sering membuat keputusan tanpa sepengetahuan suami. Saya khawatir kalau setiap masalah diberitahukan kepada suami, justru akan menambah beban pikiran dan membuat penyakitnya makin berat.

Yang mengganggu pikiran, saudara ipar mengatakan saya tidak lagi menghormati suami sebagai kepala keluarga. Bahkan saya dikatakan merebut kedudukan suami dalam keluarga. Pertanyaan saya, apakah istri diperbolehkan menjadi kepala keluarga ketika suami sakit? Adakah keharusan memberitahu segala urusan rumah tangga kepada suami? (Tina).

Jawab:
Ibu Tina, kami dapat memahami kegelisahan Ibu atas tuduhan saudara ipar tersebut. Selama ini, dengan penuh tanggung jawab, Ibu melaksanakan tugas sebagai istri sekaligus pencari nafkah. Bahkan tanggung jawab terhadap saudara suami juga Ibu lakukan. Semua itu bertujuan untuk meringankan beban suami yang sakit. Apabila ada yang menuduh Ibu telah merebut kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga, perlu diajak bicara dari hati ke hati agar tidak terjadi salah faham.

Kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga tidak perlu diperebutkan. Pembagian tugas antara suami dan istri adalah hasil kesepakatan bersama. Ketika suami sakit dan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai kepala keluarga, boleh saja digantikan istri atau anaknya.

Pada dasarnya, istri adalah penolong bagi suami dan suami sebagai penolong istri. Karena itulah, Allah menyuruh para suami untuk memperlakukan istrinya dengan cara yang baik (QS An Nur: 19), demikian pula sebaliknya. Jadi tidak ada istilah ’’berebut kedudukan sebagai kepala keluarga’’, karena peran itu tidak menyebabkan seseorang lebih tinggi dan dapat merendahkan pasangannya.

Sekarang banyak perempuan yang menjalankan tugas sebagai ibu sekaligus kepala keluarga, ketika suaminya tak dapat menjalankan tugas karena berbagai sebab. Ini beban berat bagi perempuan, sehingga anggota keluarga yang lainnya perlu memahami dan membantu meringankan bebannya.

Langkah Ibu untuk tidak melaporkan setiap urusan keluarga kepada suami sudah tepat, mengingat suami masih sakit dan perlu istirahat. Bersabarlah dan jangan lupa mohon pertolongan Allah, agar suami diberikan kesembuhan dan Ibu bisa mendapatkan kembali kebahagiaan dalam keluarga. (32)

(Suara Merdeka 6 Mei 2009)

Rabu, 29 April 2009

Bertengkar Waktu Puasa

Tanya:
Saya seorang janda, mempunyai tiga anak. Saya bercerai dengan suami lima bulan lalu, karena dia memiliki WIL (wanita intim lain). Sekarang mantan suami ingin rujuk lagi, tetapi saya menolak karena hati ini masih terluka oleh perselingkuhan yang dilakukannya.

Ia tidak pernah putus asa untuk selalu mengganggu lewat telepon atau SMS. Saya sering tak menjawabnya, dan hal ini membuatnya marah. Kemarahan itu disampaikan lewat SMS, dan pernah mendatangi rumah hanya untuk melampiaskan kemarahannya.

Kami pernah bertengkar hebat, karena ia menuduh saya berhubungan dengan M, tetangga saya. Menurutnya, M-lah yang menyebabkan kami bercerai. Waktu itu saya sedang puasa sunah, dan terpaksa membatalkannya. Sebab, kata ustad saya, marah dapat membatalkan puasa. Saya mualaf yang baru belajar agama. Apakah marah lewat surat juga membatalkan puasa? Bagaimana sebaiknya menghadapi mantan suami yang ingin rujuk itu? (Ety)

Jawab:
Ibu Ety, kami dapat memahami perasaan Ibu yang jengkel oleh ulah mantan suami. Ketika masih terikat tali pernikahan, Ibu dengan setia mendampingi, tapi justru ditinggal selingkuh. Sekarang tampaknya ia menyesal dan ingin merajut kembali tali kasih dengan Ibu.

Sekarang terserah Ibu, apakah akan menerimanya kembali atau menolaknya. Salah satu faktor yang perlu dijadikan bahan pertimbangan adalah masa depan anak. Apakah mereka menginginkan orang tuanya berkumpul kembali, atau sudah bisa menerima perceraian ini.

Dari sisi psikologis, anak tentu menginginkan keluarga utuh dan damai. Maka, seandainya Ibu dapat memaafkan mantan suami, dan kembali membangun rumah tangga yang bahagia seperti dulu, kiranya hal ini akan membahagiakan anak-anak.

Kalau ragu akan kesetiaannya, Ibu dapat meminta persyaratan, bisa menikah kembali kalau mantan suami mau taubat kepada Allah dan berjanji tidak selingkuh lagi.

Puasa merupakan tuntunan pengendalian diri dari hal-hal yang menimbulkan kerusakan bagi diri sendiri maupun masyarakat. Seperti makan dan minum berlebihan, kehidupan seksual yang menyimpang dari norma agama maupun kemanusiaan, serta pengendalian hawa nafsu lainnya termasuk marah.

Karena itu, kalau puasa belum bisa mencegah seseorang dari rasa marah yang mengakibatkan kerusakan, maka bisa dikatakan puasanya belum berhasil. Masalah pahala puasa, serahkan saja pada Allah Yang Mahatahu dan Maha Penyayang. Allah akan memberi pahala bagi hamba-Nya yang punya niat baik, apalagi sudah dilaksanakan.

Maka mengenai marah lewat surat, insya Allah tidak membatalkan puasa, sepanjang tidak berakibat pada timbulnya kerusakan atau hal lain seperti dusta, menggunjing, mengumpat, maupun sumpah palsu.

Mohonlah petunjuk dan kekuatan kepada Allah, agar masalah Ibu segera selesai dan mendapatkan lagi kebahagiaan berkeluarga. (32)

(Suara Merdeka 29 April 2009)

Rabu, 22 April 2009

Adakah Hak Anak-Istri dalam Pernikahan Siri?

Tanya:
Saya seorang janda, sudah cerai dengan suami dua tahun lalu. Lima bulan belakangan ini, saya berkenalan dengan K, teman dalam usaha dagang yang selama ini saya jalankan. Ia mengaku duda tanpa anak, tinggal sendirian di Kota P.

Dari sekadar teman, kami akhirnya saling tertarik. Ia mengajak menikah siri, sambil menunggu izin dari orang tua saya yang memang tak menyetujui hubungan ini. Akhirnya kami menikah siri tanpa sepengetahuan orang tua.
Dalam perjalanannya, ternyata rumah tangga kami tak seperti yang saya harapkan. Kami sering bertengkar, dan saya ingin bercerai darinya. K mengancam tidak mau menceraikan, agar saya tak bisa menikah dengan orang lain. Meski saat ini saya hamil satu bulan, tekad bercerai sudah bulat.
Kisruh rumah tangga ini membuat usaha saya terganggu. Saya sering membuat kesalahan dalam mengelola usaha, sehingga beberapa kali mengalami kerugian. Di mana saya bisa mengajukan gugatan cerai? Apakah saya juga dapat menuntut hak anak saya agar kelak diberi nafkah setelah ia lahir? (Anik)

Jawab:
Mbak Anik, banyak perempuan yang terjebak dalam pernikahan siri, seperti yang Anda alami saat ini. Agaknya sebagian masyarakat belum mengetahui secara jelas mengenai kawin siri, meski sudah banyak penjelasan melalui tulisan maupun lisan. Kata siri berasal dari bahasa Arab, sirri, artinya rahasia.
Biasanya dilakukan sembunyi-sembunyi, dan hanya dihadiri orang-orang tertentu saja. Secara umum, perkawinan siri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syariat Islam, seperti ada calon pengantin, wali, saksi, ijab kabul, dan mas kawin.

Hanya saja tidak dilakukan di depan Pegawai Pencatat Nikah, sehingga secara hukum negara belum sah.  Menurut UU Perkawinan, pernikahan harus dilakukan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Maka, perkawinan di luar pengawasan petugas itu tidak mempunyai kekuatan hukum (Kompilasi Hukum Agama, Pasal 6). Akibatnya, dari sisi hukum negara, istri dan anak-anak hasil penikahan siri juga tidak mendapat pengakuan dan perlindungan atas hak-haknya.

Dengan demikian, istri tidak dapat mengajukan tuntutan, apabila suami tidak memenuhi kewajibannya terhadap istri dan anaknya. Termasuk dalam kasus yang dialami Mbak Anik dan anak yang kini masih dalam kandungan. Untuk mendapatkan perlindungan hukum, sebaiknya Mbak Anik segera menikah resmi di KUA. Adapun untuk kelanjutan pernikahan, cobalah dibicarakan dengan suami dari hati ke hati. Mbak Anik juga perlu memohon maaf kepada orang tua atas keputusan menikah yang dilakukan tanpa restu mereka. Sebab kerelaan orang tua akan menambah ketenangan dalam berumah tangga.

Kalau pernikahan sudah diresmikan KUA, dan keputusan terakhirnya kelak tetap bercerai, Mbak Anik bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama setempat.

Kalau hanya nikah siri, tidak ada lembaga negara yang bisa menanganinya, dan memberi perlindungan atas hak-hak anak dan istri yang diceraikannya.
Jangan lupa selalu mohon petunjuk dan bimbingan Allah, agar Mbak Anik mendapatkan jalan terbaik dalam meraih kebahagiaan. (32)

(Suara Merdeka 22 April 2009)

Rabu, 18 Februari 2009

Tak Mau Dicerai

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, punya dua anak. Suami wiraswastawan. Dulu usaha itu kami rintis bersama, tetapi setelah punya anak, saya berhenti mengelola usaha itu atas permintaan suami.

Sekarang usaha itu makin berkembang, bahkan sudah merambah ke luar kota. Hal ini tak lepas dari bantuan H, seorang pelanggan dari Kota M. Ia seorang janda yang sudah lama menekuni bidang tata boga, yang menggunakan bahan yang kami sediakan.

Dari sekadar hubungan bisnis, akhirnya suami dan H menjalin hubungan cinta. Sekarang H minta suami saya untuk menikahinya. Jika suami tidak mau menikahi, ia mengancam tidak akan membantu lagi bisnis kami.

Ketika hal itu disampaikan suami kepada saya, dengan tegas saya mengatakan tak mau dicerai maupun dimadu. Bagaimana jalan untuk mengatasi persoalan ini, agar suami tidak menikah dengan H, tapi bisnis kami tetap lancar (Ny Arsi).

Jawab:
Bu Arsi, karena asyik dengan bisnisnya, suami ibu sering lupa kalau sudah punya isteri dan anak. Sehingga ketika di luar kota dan bertemu dengan H, terjadilah hubungan cinta di antara mereka. Hubungan itu, sedikit atau banyak, terkait dengan kepentingan bisnis, sebagaimana yang ibu kemukakan.

Pada awalnya, bisnis itu dirintis menjadi ajang untuk mencari nafkah, sekaligus sebagai media ibu bersama suami membangun cinta dan keluarga. Jika sekarang usaha itu justru membuat keluarga ibu terancam oleh perceraian, berarti sudah terjadi penyimpangan dari tujuan semula.

Sebelum penyimpangan itu terlalu jauh, ajaklah suami mengingat kembali suka duka membangun usaha tersebut dari nol. Bukankah selama ini ibu sudah menuruti permintaan suami untuk meninggalkan bisnis demi merawat dan membesarkan anak-anak? Mintalah pula pengertian suami agar tidak melanjutkan hubungan dengan H.

Ajaklah suami bicara dari hati ke hati, untuk melihat dampak perceraian atau permaduan bagi perkembangan jiwa anak. Mereka membutuhkan kasih sayang ayah dan ibunya. Akan terbelah jiwanya jika terjadi perceraian.

Anak adalah kekayaan yang tidak ternilai harganya, jadi harus disayang dan dididik agar tumbuh menjadi anak saleh dan berbakti kepada orang tua. Untuk itu, orang tua perlu memberi keteladanan dalam berbicara dan bertingkah laku.

Contoh itu akan membekas dalam hati anak, dan mereka cenderung mentontoh apa yang dilakukan orang tuanya. Maka tidak menutup kemungkinan, anak yang dilahirkan dari keluarga yang bercerai akan meniru apa yang sudah dilakukan ayah dan ibunya.

Maka langkah yang sebaiknya dilakukan adalah membangun kembali cinta kasih dan menghindarkan suami dari godaan H. Misalnya dengan menghentikan hubungan bisnis dengan H, dan membuka lahan baru di tempat lain. Ibu dan suami tidak perlu khawatir akan kekurangan pelanggan.

Jika barang yang dijual berkualitas, harga bisa bersaing, dan pelayanan kepada konsumen baik, maka bisnis tentu lancar. Jangan lupa mohon kepada Allah agar diberikan jalan yang mudah dalam memeroleh rezki dan mendapatkan kembali kebahagiaan berkeluarga. (32)

(Suara Merdeka 18 Februari 2009)

Rabu, 11 Februari 2009

Istri kesayangan Ibuku

Tanya:
Saya  baru saja menikah dengan R, teman sekamor, yang sudah janda dan punya seorang anak.Sebelum menikah dengan R, saya sudah punya istri N dan dua orang anak. Sebenarnya saya tidak ingin menceraikan, tetapi karena ia tidak mau dimadu, akhrinya saya ceraikan sebelum menikahi R.

N adalah istri pilihan Ibuku menurut Ibu. N adalah istri yang baik dan berbakti pada orang tua. Maka sesungguhnya ibu tidak setuju kalau saya bercerai dengan N. Karena saya tetap menceraikan N, maka ibu marah dan tidak mau tinggal bersamaku.

Sebulan yang lalu saya dan R meminta maaf kepada ibu namun beliau tidak mau menemui kami. Ibu juga menuduh R adalah penggoda yang menyebabkan rusaknya rumah tanggaku dengan N.

Meskipun hati saya kecewa dengan R dan sedih mendengar tuduhan tersebut, namun tidak dapat berbuat banyak. Bagaimana sebaiknya kami bersikap kepada Ibu agar beliau mau memaafkan kesalahan kami. (Arya)

Jawab:
Pak  Arya, meskipun N adalah pilihan Ibu, namun Bapak telah menerima sebagai istri. Bahkan Bapak sudah mempunyai dua anak. Semua itu kiranya menjadi alasan bagi Pak Arya untuk menolak R sebagai penggoda dan penyebab rusaknya rumah tangga bapak bersama N. Mengenai benar atau tidaknya tuduhan itu, kiranya Bapak dan R yang lebih tahu.

Pada beberapa kasus  perceraian yang disebabkan munculnya orang ketiga, jarang yang mempunyai kesadaran seperti R, yang merasa bersalah dan menganjurkan Pak Arya rujuk kembali dengan N.

Kalau Pak Arya memandang bahwa rujuk kembali itu membawa manfaat, seperti membahagiakan ibu dan menjaga dampak positif, maka Bapak bisa membicarakan dengan N. Kalau ia tidak menolak untuk dimadu, bersedia dinikahi kembali, selanjutnya bapak dapat menemui Ibu. (80)

(Suara Merdeka 11 Februari 2009)

Rabu, 04 Februari 2009

Akibat Menonton Film Porno

Tanya: 
Saya seorang pelajar SLTA, tinggal di Kota K. Saya mempunyai kelompok yang memunyai minat di bidang seni. Biasanya kami latihan tanpa pelatih, hanya menggunakan CD. Beberapa waktu yang lalu di rumah L setelah latihan ada yang membaca CD film porno.Karena pengaruh film itu, kami terangsang dan saya melakukan tindakan asusila dengan teman yang berlainan etnis, meskipun tidak sampai pada hubungan seksual yang sesungguhnya. Tetapi ada yang berhubungan seksual sungguhan dan mengkibatkan R hamil,. 

Peristiwa itu menyebabkan saya takut dan merasa ternoda. Berhari-hari saya bingung, terbayang di hadapan saya orang tua, dikeluarkan dari sekolah, malu bertemu orang, dan masa depan saya suram kalau sata sampai hamil seperti R. Ia stress dan sekarang tidak sekolah lagi. Saya sekarang menyadari kejadian itu dapat diketahui oleh suami (kelak kala saya menikah). Sekarang saya menyadari. Bagaimana cara menghindarkan diri dari pengaruh teman yang dapat merusak? Apakah dosa yang telah saya lakukan itu bisa diampuni Allah. (Evi). 

Jawab: 
Ananda Evi. Nafsu seks merupakan naluri manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup di dunia ini. Di samping diperlukan, nafsu seks sering mendatangkan kesengsaraan hidup jika tidak terkendali, sebagaimana yang dialami Evi dan R. Oleh karena itu, agama memberikan tuntutan agar nafsu seks itu dapat tumbuh dan berkembang dengan sehat dan benar, yakni melalui perkawinan yang sah. 

Allah menciptakan pria dan wanita sebagai pasangannya. Kedua jenis kelamin ini dilengkapi dengan organ-organ tubuh yang berfungsi sebagai alat kontrasepsi agar dapat melahirkan keturunan. Untuk memeroleh keturunan yang sehat jasmani dan rohani maka laki-laki maupun perempuan perlu menjaga kesehatan organ reproduksinya. Pemeliharaan itu dimulai semenjak remaja (pra-produksi) ketika produksi (hamil dan menyusui) dan setelah masa produksi (menapouse).

Masa remaja merupakan masa yang rawan terhadap rangsangan seksual yang menyesatkan sebagaimana dialami Evi. Dan termasuk yang dapat menimbulkan rangsangan seksual adalah melihat gambar atau film porno. 
Pengaruh teman memang cukup besar dalam melakukan tindakan yang terpuji atau tercela. Maka perlu berhati-hati dalam memilih teman. Pilihlah teman yang rajin ibadah dan akhlaknya baik. Dengan begitu bisa saling mengingatkan untuk berbuat kebaikan dan mencegah perbuatan dosa. 

Evi juga harus mempunyai keberanian untuk menolak ajakan yang dapat menjerumuskan kepada perbuatan dosa. Meskipun akibat dari keberanian itu mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan, misalnya tidak diperbolehkan ikut kegiatan kelompok. Hal ini lebih baik ketimbang tetap di kelompok tersebut, tetapi terseret ke dalam perbuatan yang merusak masa depan. 

Apabila Evi telah menyesali perbuatan dosa itu, segeralah diikuti taubat. Allah akan mengampuni dosa bagi yang mau bertaubat sebagiamana ditegaskan dalam firman-Nya: ‘’Hari orang-orang yang beriman, bertubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kami ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai (QS: a-Tahrin: 8).’’ (80)
(Suara Merdeka 4 Februari 2009)