Rabu, 26 Oktober 2011

Pilih Pembantu Jujur atau Pintar*

Tanya:
Saya seorang karyawati kantor swasta. Suami berwiraswasta dan kerjanya banyak di luar kota. Kami punya dua anak, yang besar sudah kelas empat di sekolah dasar dan yang kecil masih TK.
Kami sekarang ini repot, karena tidak ada yang mengasuh anak-anak. Sebelumnya ada bibi, yang masih ada ikatan saudara dengan suami. Ia membantu mengasuh anak-anak sejak mereka kecil. Tetapi empat bulan yang lalu, ia pulang kampung dan menikah. Selama ditinggal bibi, saya menitipkan anak-anak ke tetangga terdekat. Tetapi saya merasa tidak enak,karena merepotkan mereka. Maka anak-anak kemudian saya titipkan di tempat penitipan anak, yang dekat dengan kantor saya. Pada waktu istirahat siang, saya bisa menengok mereka. Beberapa waktu yang lalu, saya pesan kenalan yang bisa mencarikan pembantu, dan kemarin ia punya pandangan dua orang yang mau kerja, dan saya disuruh memilih. F anaknya jujur, tetapi sekolahnya SD tidak tamat, sehingga tidak bisa kalau disuruh mengajari anak saya yang SD. Sementara K, sekolahnya sampai SMP, ia mungkin bisa mendampingi belajar anak saya, tetapi anaknya kurang jujur.
Sebaiknya saya milih F atau K, karena saya ingin anak-anak menjadi pandai dan jujur? (Rina)

Jawab:
Semua orang tua, tentu punya keinginan agar anak-anaknya pandai dan berbudi luhur, di antaranya mempunyai kejujuran. Keinginan itu perlu disertai usaha, maka orang tua punya kewajiban untuk mendidik anak-anaknya sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: Muliakanlah anak anakmu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik (Hadits, riwayat Ibnu Majah).
Untuk memperoleh anak yang jujur, maka orang tua perlu memberikan contoh dan membiasakan anak melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan dari orang-orang di sekitarnya akan memudahkan anak untuk menirunya. Maka bu Rina perlu membina keluarga, termasuk pembantunya ikut mendukung usaha penanaman nilai-nilai kejujuran itu melalui kebiasaan yang terus-menerus. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua, maka ibu beserta suami perlu mengupayakan terciptanya situasi dan kondisi yang memungkinkan tumbuhnya kepribadian anak yang cerdas dan jujur. Tugas ini tidak bisa dilimpahkan pada pembantu. Maka sesibuk apa pun, Bu Rina dan suami perlu meluangkan waktu untuk mendidik anak, agar tidak kehilangan kesempatan untuk mengukir kepribadian anak yang ibu harapkan.
Tidak dapat dimungkiri, bahwa pembantu ikut memengaruhi proses penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri anak. Apalagi pembantu yang dalam kesehariannya berada lebih lama di samping anak, dimungkinkan punya pengaruh yang lebih besar pada anak. Oleh karena itu, lebih baik bu Rina memilih pembantu seperti F yang dikatakan jujur oleh teman ibu. Kalau untuk meningkatkan pengetahuan anak, di samping ibu bisa melakukannya, maka bisa pula mendatangkan guru les. Jangan lupa, mohon petunjuk dan pertolongan Allah agar anak-anak tumbuh menjadi saleh dan cerdas. (24) (Suara Merdeka 26 Oktober 2011 h. 7)

Rabu, 19 Oktober 2011

Suami Mengancamku*

Tanya:
Saya seorang karyawati, memiliki dua orang anak yang masih duduk di sekolah dasar. Suami saya dulu bekerja di sebuah kantor swasta, tetapi sudah dua tahun menganggur karena terkena PHK. Setelah tidak bekerja, ia suka keluar malam bahkan pulang pagi atau siang. Dia tidak memberi tahu ke mana perginya, dan kalau saya tanya, ia marah, sehingga saya menjadi bosan untuk bertanya.
Sekarang ini, suami saya jarang pulang dan kalau pulang, ia hanya meminta uang pada saya. Ketika saya tanya untuk apa, terkadang ia diam, tetapi sering pula marah-marah.
Saya merasa tertekan dengan kondisi rumah tangga yang seperti ini, dan saya ingin bercerai. Saat saya kemukakan rencana tersebut, suami mengancam akan menyakiti atau membunuh saya kalau berani meminta cerai. Apakah saya harus diam saja atau tetap mengajukan gugatan cerai? (Ratih)

Jawab:
Ibu Ratih, sebagian besar orang yang terkena PHK mengalami perubahan perilaku. Termasuk suami ibu yang semula penuh perhatian kepada keluarga, menjadi tidak peduli dengan istri dan anak, bahkan telah melontarkan ancaman kepada bu Ratih.
Ibu selama ini sudah cukup sabar dan berusaha untuk mengatasi sendiri persoalan yang timbul dalam keluarga. Namun,ternyata sikap suami tidak berubah ke arah yang baik, bahkan semakin meresahkan.
Situasi ini tidak dapat didiamkan, maka Bu Ratih perlu bersikap tegas. Kalau suami masih bisa diajak bicara dari hati ke hati untuk memperbaiki dirinya, maka ibu bisa membantu suami bangkit dari keterpurukan akibat PHK.
Bantulah ia menemukan jati dirinya, antara lain dengan membangun kepercayaan diri melalui usaha yang mendatangkan keuntungan materi ataupun mengangkat harkatnya sebagai seorang kepala rumah tangga. Kalau upaya itu tidak menghasilkan perubahan pada perilaku suami, maka ibu dapat melaporkan suami ke pihak yang berwajib, karena telah melakukan kekerasan psikis yang menimbulkan ketakutan bagi Bu Ratih.
Menurut UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), ibu berhak mendapatkan perlindungan dari pihak yang berwajib atau lembaga sosial, agar terhindar dari tekanan psikis serta dampak lainnya akibat dari kekerasan yang dilakukan suami.
Apabila Ibu sudah mantap untuk berpisah dari suami, ibu bisa mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Jangan lupa, mohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah, agar dimudahkan jalan bagi ibu dan anak-anak memperoleh kedamaian dan kebahagiaan dalam keluarga. (24) (Suara Merdeka 19 Oktober 2011 h. 7)

Rabu, 12 Oktober 2011

Istri Minta Cerai*

Tanya:
Saya seorang PNS, mempunyai dua anak yang sudah besar. Rumah tangga kami semula diliputi ketenangan dan anak-anak tumbuh dalam suasana rumah yang damai. Karena anak-anak sudah besar, dan banyak waktu luang, istri saya yang hanya tamatan sekolah dasar kemudian saya dorong ikut kejar paket C. Setelah lulus dari program paket C, ia ingin bekerja dan saya perbolehkan.
Selama bekerja itu, rupanya ia punya kenalan laki-laki yang kemudian menjadi PIL-nya (pria idaman lain). Sewaktu berangkat dari rumah, istri saya pamit bekerja, tetapi ternyata ia tinggal serumah dengan laki-laki tersebut. Ada rumah kontrakan yang digunakan mereka hidup bersama, dan sore harinya istri saya tetap pulang ke rumah. Saya menyaksikan sendiri, pergaulan mereka yang layaknya suami istri.
Sewaktu ketahuan, maka sebagai suami, saya telah mengingatkan dia bahwa perbuatan itu dosa. Tetapi ia tidak menyesal, bahkan ia minta cerai.
Saya ingin mempertahankan rumah tangga, mengingat masa depan anak-anak dan kedudukan saya di masyarakat termasuk menjadi panutan.
Tetapi usaha saya untuk memperbaiki perilaku istri sepertinya sia-sia. Nasihat dari beberapa pihak tidak ada yang didengarnya, dan ia tetap pada pendiriannya untuk bercerai. (Rudy)

Jawab:
Pak Rudy, rumah tangga yang bahagia ditopang oleh beberapa hal, antara lain kesepakatan suami istri untuk saling mendukung dalam mengupayakan terciptanya ketenangan dan kasih sayang dalam keluarga. Maka, masing-masing pihak harus menjalankan kewajibannya dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa merusak kebahagiaan keluarga. Kebohongan merupakan salah satu hal yang merusak sendi-sendi rumah tangga. Apalagi, kalau terkait dengan kesetiaan yang menjadi pilar tegaknya rumah tangga.
Sebagai suami yang telah hidup bersama istri sekian lama, pak Rudy tentu sudah tahu sifat-sifat istri. Pak Rudy juga telah mendorong istri untuk belajar dan mengizinkan istri untuk bekerja. Hal ini tidak lepas dari adanya kepercayaan kepada istri bahwa ia akan bisa menjaga diri dari perbuatan yang menyimpang dari norma agama maupun masyarakat. Namun ternyata istri tidak dapat menjaga amanah itu, bahkan sudah tidak mengindahkan nasihat suami ataupun orang lain. Kalau Pak Rudy masih menginginkan rumah tangga utuh, maka perlu bicara dari hati ke hati dengan istri, antara lain mengenai akibat perceraian bagi anak dan masa depannya, serta kesediaan istri untuk bertaubat dan memutuskan hubungan dengan PIL.
Untuk memberi pelajaran bagi pasangan selingkuh itu, Pak Rudy bisa melaporkan kasusnya ke pihak yang berwajib. Atau Pengadilan Agama, kalau Pak Rudy memilih bercerai. Karena anak anak sudah besar, Pak Rudy bisa membicarakan dengan mereka agar siap mental dan mengetahui problem rumah tangga yang menyebabkan perceraian. Dengan demikian,diharapkan mereka kelak tidak akan melakukan hal-hal yang menyebabkan kebahagiaan rumah tangga terputus di tengah jalan.
Jangan lupa mohon petunjuk Allah, dan dimudahkan jalan yang terbaik bagi Pak Rudy beserta anak-anak untuk mendapatkan kebahagiaan berkeluarga. (24) (Suara Merdeka 12 Oktober 2011 h. 7)

Rabu, 05 Oktober 2011

Calon Suami Lebih Muda*

Tanya:
Saya karyawati sebuah perusahaan di kota M. Saya anak pertama dari lima bersaudara. Adik saya semua sudah menikah. Sebelum bekerja di perusahaan ini, saya pernah kerja di kota P, dan hampir menikah dengan teman sekantor.
Tetapi ada masalah yang terkait dengan sikap calon mertua yang tidak menyetujui hubungan kami. Akhirnya kami berpisah dan untuk menghilangkan kenangan yang pahit itu, saya pindah kerja di kota M. Di kota ini, saya punya sahabat R yang punya adik laki-laki bernama G. Selain bersahabat dengan kakaknya, saya juga bersahabat dengan G. Ia banyak membantu saya, dan kami sering bertukar pikiran mengenai berbagai hal.
Banyak kecocokan di antara kami, dan ia pernah mengatakan kalau merasa tenang dan bahagia apabila bertemu saya.
Semula saya menganggapnya sebagai gurauan saja. Ternyata beberapa bulan yang lalu, ia menyatakan keinginannya untuk menikah denganku. Sampai sekarang saya belum memberikan jawaban, dan ia selalu menanyakannya.
Di antara hal yang perlu saya pertimbangkan adalah usianya lebih muda empat tahun dari saya. Hal itu pernah saya kemukakan, tetapi ia tidak mempersoalkan. Apakah pernikahan bisa bahagia, kalau umur istri lebih tua dari suami? (Tuty)

Jawab:
Ananda Tuty, kebahagiaan berkeluarga didukung banyak hal. Antara lain adanya rasa saling menyayangi, dan bisa menerima pasangannya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tampaknya Tuty merasakan adanya kecocokan dengan G, begitu sebaliknya.
Kedewasaan seseorang ikut menentukan keharmonisan hubungan suami dan istri. Di antara ciri kedewasaan itu adalah mau menerima kekurangan orang lain, di samping kelebihannya.
Hal ini dimiliki oleh G, yang dari segi umur lebih muda dari Tuty, namun cukup dewasa dalam berpikir dan berperilaku. Dengan demikian, ia punya kemampuan untuk bekerja sama dan saling pengertian dalam mengatasi persoalan rumah tangga.
Tuty sudah berterus terang kepada G tentang perbedaan usia, dan tidak menjadi hambatan baginya untuk tetap melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.
Maka Tuty tidak perlu ragu untuk memberikan jawaban, kalau memang Tuty juga menyayangi G. Banyak pasangan yang berbeda usia dapat membina kebahagiaan keluarga, dan tidak sedikit pasangan yang istrinya lebih tua tetap harmonis sampai beranak cucu.
Kiranya Tuty telah mengetahui kelebihan dan kekurangan G, karena telah mengenal cukup lama. Semua itu perlu dijadikan bahan pertimbangan untuk membuat keputusan yang terbaik.
Mengingat G sudah cukup sabar dalam menunggu jawaban, sebaiknya Tuty segera memberikan jawaban agar dapat direncanakan langkah selanjutnya. Jangan lupa mohon petunjuk Allah dan jalan yang mudah menuju pernikahan yang membawa kebahagiaan di dunia sampai akhirat. (24) (Suara Merdeka 5 Oktober 2011 h. 7)