Rabu, 24 Februari 2010

Merasa Paling Sengsara

Tanya: Saya seorang ibu rumah tangga, baru saja kehilangan suami karena meninggal. Suami saya adalah teman sekerja di sebuah pabrik. Karena peraturan pabrik tidak membolehkan suami-istri bekerja di satu tempat, maka atas kesepakatan dengan suami, saya yang keluar dari pekerjaan.

Enam bulan dari perkawinan, saya hamil, kami pun merasa bahagia. Tetapi, belum lama kami merasakan kebahagiaan itu, ibu mertua yang selama ini berjualan di pasar dan bisa mencukupi kebutuhan  keluarga, meninggal karena sakit. Saya yang kemudian menggantikan pekerjaan ibu di rumah. Sebulan dari meninggalnya ibu mertua, saya mengalami keguguran.

Kami sedih dengan musibah yang berturut-turut ini. Meskipun suami sering menghibur, saya belum dapat menghilangkan kesedihan itu. Selang tujuh bulan dari keguguran, saya hamil lagi.

Kami berbahagia dan sering bersama suami menyiapkan nama anak sampai di mana  ia sekolah nanti. Menginjak kandungan enam bulan, suami sakit dan akhirnya meninggal. Saya merasakan hidup ini penuh dengan penderitaan. Terkadang saya memohon kepada Tuhan agar  mengizinkan saya segera menyusul suami. Apakah permohonan seperti ini dibolehkan dalam agama? (Ranti)

Jawab: Ibu Ranti, kami ikut berbela sungkawa atas meninggalnya suami tercinta. Sebagai orang yang beriman, kita percaya bahwa  kematian itu akan dialami setiap orang sesuai dengan ketentuan masing-masing. Seseorang tidak akan mati kecuali atas izin Allah, sebagaimana ditegaskan dalam  Surat Ali Imran: 145. “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya”

Sesuai dengan  firman Allah ini, bisa diketahui bahwa keguguran kandungan, meninggalnya mertua dan suami bu Ranti memang sudah kehendak Allah. Karena itu, ibu perlu menerima ujian ini dengan ikhlas dan sabar. Buanglah perasaan dan pikiran, bahwa itu semua kesialan yang bersumber dari weton (tanggal lahir ) ibu yang membawa sial.

Semua itu sudah menjadi kehendak Allah yang berkuasa mematikan dan menghidupkan manusia (QS Qaf: 43). Bagi yang bersabar menerima cobaan Allah, Allah akan memberikan ampunan atas dosa-dosanya dan memberikan petunjuk dan rahmatNya (Al Baqarah: 157).

Di balik cobaan itu, tentu ada hikmah yang akan diberikan Allah bagi bu Ranti. Mohonlah kekuatan kepada Allah untuk melanjutkan hidup. Sekarang ini ibu tidak sendirian, karena sebentar lagi Allah akan memberikan seorang anak yang menjadi teman dalam suka dan duka. Semoga Allah memberikan anak yang sehat, cerdas, dan shaleh, yang dapat membahagiakan ibu di dunia dan akherat

Untuk mendidik anak agar menjadi anak yang shaleh, ibu sudah dapat memulai sejak ia masih dalam kandungan, di antaranya  dengan memperbanyak membaca AlQuran, dzikir, dan amal kebaikan lainnya. Cobalah untuk berkomunikasi dengan bayi yang masih dalam kandungan melalui bisikan dan gerakan lembut. Setelah lahir ibu dapat membimbing untuk mengenal dan menjalankan aturan aturan agama,

sesuai dengan tingkat perkembangan jasmani dan rohaninya. Dari upaya pendidikan itu yang tidak kalah pentingnya  adalah tugas ibu memberikan suri teladan bagi anak. Hal ini merupakan contoh langsung yang mudah dilihat dan diikuti oleh anak.
 Semoga ibu selalu diberi kekuatan oleh Allah, sehingga dapat membesarkan dan mendidik anak menjadi shaleh dan bermanfaat di dunia maupun akherat. (37)
(Suara Merdeka 24 Februari 2010)

Rabu, 17 Februari 2010

Suami Punya WIL

Tanya: Saya seorang ibu rumah tangga, punya dua anak yang masih remaja. Suami saya PNS di luar kota. Ia tidak setiap hari pulang. Di tempat kerjanya, ia punya usaha sampingan setelah pulang kantor, yakni memberikan bimbingan belajar bagi yang membutuhkan tambahan pelajaran.

Di antara siswanya ada anak seorang janda. Dengan alasan mengantar anaknya les, janda itu sering menemui suami saya, katanya untuk konsultasi.

Ketika saya ikut menghadiri acara di kantor suami, ada yang memberitahu mengenai hubungan suami dengan R, janda itu. Sewaktu saya tanyakan, suami mengatakan ibu R mengajak kerja sama untuk membuka tempat bimbingan belajar di rumahnya. Dia menawari suami untuk tinggal di paviliun samping rumah agar dapat menunggui usaha mereka.

Saya percaya apa yang dikatakan suami, tapi belakangan saya sadar bahwa kepercayaan saya itu salah. Suami sekarang sudah pindah ke rumah R dan mereka kabarnya sebentar lagi mau menikah. Apakah suami saya dapat menikah dengan R kalau saya tidak mengizinkan?  (Ary)   

Jawab: Ibu Ary, pernikahan merupakan ikatan antara suami-istri yang tidak hanya disaksikan oleh manusia, tetapi juga oleh Allah. Tali pernikahan itu  amat kokoh dan suami maupun istri perlu menjaga ikatan itu. Namun demikian, suami Bu Ary tampaknya melupakan kewajiban untuk menjaga ikatan pernikahan. Tanpa disadari ia telah masuk dalam perangkap R

Suami ibu tidak memperhitungkan akibat dari kedekatannya dengan R akan membawa kekacauan dalam rumah tangga, sehingga tanpa sepengetahuan Bu Ary, ia menuruti bujukan R dan melupakan ibu.

Selagi rencana pernikahan suami dengan R belum terjadi, Bu Ary perlu ketemu suami dan membicarakan dari hati ke hati tentang persoalan dengan R dan masa depan anak-anak.

Apakah suami rela mengorbankan kebahagiaan keluarga dan masa depan anak-anak untuk menuruti kehendak R yang  akan merusak rumah tangga Bu Ary. Cobalah untuk menyadarkan suami akan akibat dari godaan yang tengah dilancarkan R.

Mungkin suami menilai R seorang yang berjasa memberikan keuntungan materi dengan adanya kerja sama untuk mengelola usaha pendidikan. Jasa itu tidak perlu dibalas dengan mengorbankan kebahagiaan keluarga. Sebagai PNS, suami ibu tidak dapat menikahi R tanpa izin Bu Ary sebagai istri pertama.

Di samping itu, juga izin dari pimpinan/pejabat di instansinya. Izin menikah lagi bisa diberikan kalau memenuhi salah satu alternatif yang membolehkan PNS poligami, yaitu:

(1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

(2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

(3) istri tidak dapat melahirkan keturunan (PP No 10 Tahun 1983, Pasal 10)   
   
Agar suami ingat akan kebahagiaan bersama ibu dan anak-anak, cobalah dibuat acara yang dapat mendekatkan hati suami dengan ibu dan anak- anak.

Misalnya, rekreasi atau makan bersama untuk mengenang kembali masa-masa yang penuh kebahagiaan yang sudah lama hilang, karena kesibukan suami.

Jangan lupa mohon pertolongan Allah agar ibu beserta suami dan anak-anak mendapatkan kembali kebahagiaan berkeluarga. (37)
(Suara Merdeka 17 Februari 2010)

Rabu, 10 Februari 2010

Anak Ikut Siapa?

Tanya: Saya  seorang pelajar SMP, punya dua kakak yang duduk di bangku SMA. Ayah kami bekerja di kantor swasta, sedang ibu mengelola toko kelontong; Akhir-akhir ini kami bertiga bingung mengingat keadaan di rumah yang tidak tenang, karena ayah sering bertengkar dengan ibu. Saya pernah mendengar,ayah menuduh ibu tidak mengikuti perintah ayah. Ibu pernah menjelaskan bahwa ibu berjualan di toko juga untuk membantu ayah, karena tanpa ibu bekerja kebutuhan kami tidak tercukupi. Tak jarang kami mendapati ibu menangis di kamar setelah pertengkaran dan ayah biasanya terus pergi nggak tahu ke mana.

Beberapa hari yang lalu, ibu mengumpulkan kami bertiga dan menanyakan apabila terjadi perpisahan antara ayah dan ibu, kami akan memilih ikut ibu atau ayah? Mendengar pertanyaan itu saya bingung dan tidak bisa menjawab. Kakak yang paling besar mengatakan akan ikut ibu, karena ibu selama ini selalu mendampingi kami dan ia telah bersusah payah ikut mencari uang untuk memenuhi kebutuhan kami. Saya dan kakak belum menjawab. Saya benar-benar bingung dan sedih, harus ikut siapa? Karena kami ingin dekat dengan ibu dan ayah. (Dony)

Jawab: Ananda Dony, setiap anak tentu ingin ayah dan ibunya selalu rukun. Ketenteraman akan membawa pula pada ketenangan belajar dan prestasi. Ayah dan ibu Dony sebagai orang tua, tentu ingin mempunyai anak-anak yang pandai dan berbudi luhur. Sebagai suami-istri, berbeda pendapat merupakan hal yang wajar. Terkadang semua merasa pendapatnya yang benar, dan kalau tidak ada yang mengalah maka akan terjadi pertengkaran. Karena itu, Dony tidak perlu risau dengan pertengkaran orang tua. Kalau ibu pernah bicara tentang perceraian, itu mungkin karena masih belum bisa melupakan pertengkarannya dengan ayah.

Karena Dony dan kakak-kakak usianya sudah lebih dari 12 tahun, sudah dapat menentukan sendiri mau ikut siapa andai kata terjadi perpisahan. Untuk sekarang ini, cobalah jangan berpikir tentang perpisahan dulu. Cobalah tanyakan kepada ibu dan ayah, apakah mereka tidak ingin melihat anak-anaknya hidup tenang dan bahagia. Kalau Dony dan kakak-kakak tidak berani bicara, tulislah surat dan kemukakan apa yang kalian rasa dan pikirkan tentang buruknya akibat perceraian bagi anak-anak. Jangan lupa,  bangun tengah malam untuk shalat tahajut dan mohonlah kepada Allah agar ayah dan ibu dipertemukan lagi hatinya untuk melanjutkan tugas dan perjuangan dalam membina keluarga yang bahagia di dunia sampai akherat kelak. (37)
(Suara Merdeka 10 Februari 2010)