Rabu, 24 November 2010

Ingin Bantu Ortu

Tanya:
Saya pelajar kelas II SMA. Punya adik tiga. Ayah sudah lama sakit, sehingga Ibu harus mencari nafkah sendirian sebagai pekerja serabutan. Terkadang mencuci dan menyeterika di rumah tetangga, terkadang membantu  tetangga yang punya warung makan.

Sebagai anak sulung, saya tak tega melihat Ibu setiap hari membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan kami. Saya berniat keluar sekolah dan cari pekerjaan untuk membantu Ibu. Namun mencari pekerjaan ternyata tak mudah. Sampai berhari-hari, saya tak menemu lowongan.

Akhirnya saya mendapat pekerjaan bersih-bersih rumah seorang nenek yang tinggal bersama cucu. Ketika cucu itu tahu saya terpaksa meninggalkan sekolah karena ingin membantu orang tua, dia menyuruh saya tetap sekolah. Saya bisa melakukan pekerjaan setelah pulang sekolah.

Yang jadi masalah, kini cucu dan nenek yang baik itu pindah ke S. Saya menganggur lagi, tetapi sadar tak boleh meninggalkan sekolah. Namun bagaimana saya bisa membantu orang tua (ortu), tanpa meninggalkan sekolah? (Bagas)

Jawab:
Ananda  Bagas, meski baru kelas II SMA, pikiran dan perilaku Anda sudah dewasa. Berbahagialah ibu yang punya anak seperti Bagas, yang tulus menolong orang tua. Perbuatan itu bukti kecintaan dan bakti anak pada  orang tua.

Selain berbakti pada orang tua, Bagas juga wajib menuntut ilmu. Dengan bekal ilmu pengetahuan, Bagas akan dapat meraih masa depan lebih cerah.

Dalam  ajaran Islam, menuntut ilmu merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap muslim atau muslimah.

Dan, menuntut ilmu tak ada batasan. Bahkan digambarkan sejak dalam ayunan (masih kecil) sampai liang lahat (tua).

Karena itu Bagas tak boleh meninggalkan jam pelajaran sekolah, apalagi keluar dari sekolah. Jika ingin membantu orang tua, carilah pekerjaan yang bisa dilakukan sepulang sekolah. Misalnya, memberi les/membantu belajar matemaika atau bahasa Inggris/pelajaran lain bagi anak SMP atau SD.

Bagas juga perlu mengatur waktu agar tetap bisa  belajar sehingga tak ketinggalan pelajaran. Jangan lupa, selalu mohon petunjuk dan bimbingan Allah agar orang tua Bagas mudah memperoleh rezeki dan cita-cita Bagas tercapai. (51)

(Suara Merdeka 24 November 2010)

Rabu, 10 November 2010

Ibu Tak Merestui

Tanya:
Saya duda dengan dua anak yang masih sekolah
di SLTA. Dulu, Ibu tak setuju saya dan istri
bercerai. Memang M, istri saya, dekat dengan Ibu.
Jika kami bertengkar dan Ibu tahu, pasti beliau
membela istri saya. Menurut pendapat Ibu, M istri
yang baik dan pandai mendidik anak.
Kini, saya berkenalan dengan L, yang bekerja di
tempat hiburan malam. Dia janda cerai, tanpa anak.
Setelah saling kenal, kami sepakat hendak
menikah.
Lebaran lalu, saya minta restu Ibu untuk
menikahi L. Namun Ibu tak mau merestui. Beliau
bahkan menyuruh saya rujuk dengan M.
Sampai di rumah, saya merasa sedih, bahkan
sampai meneteskan air mata. Beberapa hari pikiran
saya tak tenang. Suatu hari saya kembali mengunjungi
Ibu untuk menjelaskan kebaikan L.
Namun Ibu baru tidur dan sampai saya pulang
belum bangun.
Mungkin Ibu tak mau menemui saya, yang beliau
nilai telah berani membantah perintah orang tua.
Apakah sebaiknya saya membatalkan pernikahan
dengan L? Dan, rujuk lagi dengan M sesuai dengan
keinginan Ibu? (Nano)

Jawab:
Pak Nano, yang tahu persis penyebab perceraian
Anda dan istri adalah Bapak. Jika penyebabnya
emosi sesaat, rujuk merupakan pilihan terbaik.
Sebab, kembalinya M berarti mengutuhkan lagi
keluarga Bapak.
Langkah itu tentu tak sekadar menyenangkan
hati Ibu. Namun anak-anak juga akan memperoleh
kasih sayang utuh dari ayah dan ibu. Itu penting
bagi perkembangan kejiwaan mereka.
Membahagiakan Ibu saat beliau tua adalah perbuatan
terpuji dan merupakan bakti anak pada
orang tua. Alasan Ibu menginginkan Anda rujuk
dengan M juga berkait dengan kepentingan anakanak.
Cobalah hal itu jadikan bahan pertimbangan
dalam menentukan pilihan antara M dan L.
Menikah saat sudah ada anak, perlu
memikirkan pula dampaknya terhadap anak.
Apakah anak-anak bisa menerima L sebagai ibu
atau tidak? Sebaliknya, apakah Ldapat menjadi ibu
yang baik bagi anak-anak atau tidak?
Rida Allah ada dalam rida orang tua, terutama
ibu. Semoga itu jadi bahan pertimbangan Bapak
untuk memutuskan. Jika Bapak rujuk dengan M
tentu menyenangkan hati Ibu serta membuahkan
kebahagiaan bagi anak-anak. Mereka akan menemukan
kembali kehangatan dan kasih sayang ayah
ibu, yang hilang beberapa saat. Semoga Allah
memberikan kembali kebahagiaan berkeluarga
bagi Bapa. (51)

(Suara Merdeka 11 November 2010 h. 19)

Rabu, 03 November 2010

Gantikan Tugas Suami

Tanya:
Setahun lalu suami saya di-PHK. Setelah itu dia
sakit sehingga tak dapat bekerja. Saya yang semula
hanya mengurus anak, kemudian bekerja di kantor
swasta. Karena cuma berijazah SMA, gaji saya tak
mencukupi untuk beli obat suami dan kebutuhan
sehari-hari. Akhirnya saya cari tambahan, membantu
tetangga mencuci dan menggosok pakaian.
Sejak bujangan suami saya sering diberi tanggung
jawab mengurus keluarga. Meski bukan anak
tertua, dia diserahi banyak urusan oleh orang tuanya.
Setelah dia menikahi saya, saudaranya sering minta
bantuan.
Karena kini suami saya sakit, mereka curhat pada
saya. Saya pun sering membantu keluarga suami
tanpa sepengetahuannya. Saya khawatir jika dia
tahu justru menambah beban pikiran dan memperparah
penyakitnya.
Bolehkah saya menyembunyikan persoalan itu di
hadapan suami? Samakah itu dengan berbohong?
Adakah keharusan memberitahukan segala urusan
rumah tangga pada suami? (Ny Titin)

Jawab:
Ibu Titin merahasiakan persoalan saudarasuadara
pada suami karena bermaksud baik. Ibu tak
ingin membebani pikiran suami yang sakit. Itu tak
sama dengan berbohong untuk merugikan pihak lain.
Ibu juga telah bertugas sebagai istri sekaligus
pencari nafkah. Bahkan Ibu bertanggung jawab atas
saudara suami. Semua itu untuk meringankan beban
suami.
Pembagian tugas suami-istri adalah hasil kesepakatan
kedua pihak. Ketika suami sakit dan tak dapat
menjalankan kewajiban sebagai kepala keluarga,
istri dapat menggantikan.
Pada dasarnya istri penolong suami dan suami
penolong istri. Karena itu Allah menyuruh para suami
memperlakukan istri secara baik (Surah An-Nur:19).
Begitu pula sebaliknya.
Jadi tak ada istilah îberebut kedudukan sebagai
kepala keluargaî, karena peran itu tak menyebabkan
seseorang lebih tinggi dari pasangannya. Kini,
banyak perempuan jadi ibu sekaligus kepala keluarga,
ketika suami tak dapat bertugas karena berbagai
sebab.
Langkah Ibu tak melaporkan setiap urusan keluarga
ke suami sudah tepat. Jika berita itu menggembirakan,
tak apa-apa disampaikan agar menambah
semangat segera sembuh. Bersabarlah. Jangan
lupa mohon pertolongan Allah agar suami segera
sembuh dan Ibu mendapat kembali kebahagiaan
berkeluarga. (51)
(Suara Merdeka 3 November 2010 h. 19)