Rabu, 23 Februari 2011

Ibu Tak Restui Pernikahan*

Tanya:
Saya gadis berumur 25 tahun, punya pacar, K,
yang berusia hampir sebaya. Dia sudah bekerja sebagai
kontraktor. Kami sudah berpacaran tiga tahun dan
sepakat membina rumah tangga. Namun ibu angkat
saya tak merestui karena menilai pekerjaannya belum
mapan. Mungkin penilaian berdasar kondisi Ibu yang
cukup kaya.
Saya bingung karena Ibu telah merawat dan
membesarkan saya seperti anak sendiri. Ibu tak punya
anak dan mengadopsi saya sejak bayi. Sewaktu H,
kakak kandung saya, tahu persoalan kami, dia mendukung
rencana pernikahan kami. Dia juga bersedia
jadi wali nikah.
Jika sampai waktunya kami menikah, tetapi Ibu
tetap tak merestui, apa yang harus saya lakukan?
Misalnya kami menikah tanpa sepengetahuan Ibu,
bagaimana hukum pernikahan itu? (Ratih)

Jawab:
Ananda Ratih, semua orang tua menginginkan
anaknya bahagia. Begitu pula ibu Anda, yang telah
merawat dan membesarkan sejak bayi. Ibu telah
melewati masa suka dan duka membesarkan anak.
Sewaktu anak sehat dan gembira, ibu senang. sebaliknya
waktu anak sakit, ibu cemas dan sedih.
Begitu pula kasih sayang dan perhatian ibu
angkat Anda. Karena itu, dia ingin Anda mendapat
jodoh orang yang mapan sehingga dapat membahagiakan.
Karena itu, Ratih jangan berprasangka kurang
baik pada Ibu yang belum merestui.
Cobalah bicara dari hati ke hati dengan Ibu.
Jelaskan mengenai pekerjaan K sebagai kontraktor,
yang penghasilannya mungkin belum memenuhi
harapan Itu. Namun materi bukan satu-satunya
penentu kebahagiaan rumah tangga. Jadi semestinya
Ibu tak perlu mengkhawatirkan masa depan Ratih.
Mohonlah doa restu Ibu dan hindarkan kata-kata atau
perbuatan yang melukai perasaan.
Sebaiknya Anda menikah dengan sepengetahuan
dan restu Ibu agar mendapat kebahagiaan.
Anda memang bisa menikah diam-diam, tanpa
sepengetahuan Ibu. Namun itu bisa mendatangkan
ketidaktenangan dalam rumah tangga. Mohonlah
pertolongan Allah agar diberi kemudahan untuk
menikah dan mendapat doa restu dari keluarga, termasuk
Ibu. (51)

(Suara Merdeka 23 Februari 2011 h. 19)

Rabu, 16 Februari 2011

Suami Mau Nikah Lagi*

Tanya:
Saya ibu rumah tangga beranak dua sudah remaja. Suami bekerja di luar kota sejak dua tahun lalu.
Untuk mengisi kesibukan, saya buka warung makan. Warung itu cukup ramai. Pelanggan dari dalam dan luar kota. Sebab, berada di pinggir jalan raya.
Suatu hari ada pelanggan membicarakan pekerjaan dan kasus seorang temannya yang jadi simpanan lelaki bernama P. Karena waktu itu jam makan sudah lewat, jadi tak banyak pengunjung.
Saya pun mendengar pembicaraan itu dengan jelas. Saya terkejut ketika mereka menyebut ciri P sama dengan suami saya.
Berdasar pelacakan saya, suami saya memang punya WIL bernama K. Bahkan suami mengaku K mengajak dia segera menikah.
Apakah mereka bisa menikah jika saya tak mengizinkan? Anak-anak sekarang membenci ayah mereka. Bagaimana caranya agar anak-anak tetap menghornati sang ayah? (Ny. Ruly)

Jawab:
Ibu Ruly, hakikatnya pernikahan menurut tuntunan Islam adalah monogami (satu istri). Poligami diperbolehkan bila ada hal-hal yang menghalangi keharmonisan hubungan suami-istri.
Hal itu antara lain istri tak menjalankan kewajiban sebagai istri, istri punya cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan, atau istri tak dapat melahirkan anak.
Selain itu, suami harus mendapat izin pengadilan agama. Untuk memperoleh izin itu, harus ada persetujuan istri dan kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak. Karena itu, jika Ibu tak mengizinkan, suami tak bisa menikah dengan K.
Tujuan pernikahan untuk mendapat ketenangan dalam keluarga. Apakah suami Ibu tahu, anak-anak tak suka sang ayah mau menikah lagi? Bahkan sekarang mereka membenci sang ayah. Bila demikian, pernikahan suami dan K tidak akan mendatangkan ketenangan.
Agar suami menyadari respons anak-anak terhadap rencana pernikahan sang ayah, Ibu perlu menyampaikan pada suami.
Banyak suami menikah lagi ternyata karena tak mendapat kebahagiaan, sebagaimana tergambar dalam benaknya. Tak sedikit yang mendapat reaksi keras dari anak-anak dan istri, sehingga terjadi permusuhan ayah dan anak.
Hal itu tak diinginkan orang tua mana pun. Karena, anak adalah generasi penerus yang diharapkan dapat melanjutkan cita-cita orang tua serta dapat mendoakan jika mereka meninggal kelak.
Bila anak membenci ayah, lantas tak mau mendoakan, apakah orang tua tak akan menyesal? Karena itu, sebelum terjadi pernikahan, sebaiknya Ibu bicara dari hati ke hati dengan suami dan anak-anak.
Semoga tercipta saling pengertian, sehingga suami cukup berbahagia memiliki Ibu yang ikhlas membantu suami dan anak-anak yang ingin menyaksikan kerukunan orang tua dalam berkeluarga.
Keharmonisan hubungan ayah dan ibu akan jadi contoh bagi anak-anak sewaktu mereka membina rumah tangga. (51)
(Suara Merdeka 16 Februari 2011 h. 19)

Rabu, 09 Februari 2011

Ingin Anak Saleh*

Tanya:
Saya ibu rumah tangga,
saat ini hamil tiga bulan.
Keluarga saya punya banyak
larangan yang tak boleh
dilanggar oleh perempuan
hamil. Nenek hampir setiap
minggu slametan. Katanya,
agar anak saya tak diganggu
makhluk lain.
Pengetahuan agama
keluarga saya memang sedikit
dan lebih banyak mengikuti
tradisi. Suami berasal dari keluarga
taat beragama. Dia meminta
saat hamil ini banyak
berzikir agar anak kami kelak
saleh.
Namun, apa sih pengertian
anak saleh? Apa dan
bagaimana cirinya?
Bagaimana cara mengajari
anak agar saleh?(Ny. Ety)

Jawab:
Saleh berarti baik,
mematuhi perintah agama,
hidup bermanfaat bagi keluarga
dan masyarakat. Orang
saleh selalu menjaga diri agar
tak terjerumus perbuatan dosa
yang dilarang Allah. Bila
bersalah atau berdosa, akan
segera sadar dan bertobat.
Ciri lain dapat dilihat dari
sifat terpuji, seperti jujur, menghornati
orang tua, dan selalu
mendoakan mereka. Untuk
membentuk kepribadian anak
saleh seperti itu, orang tua
perlu memberikan contoh dan
sejak kecil diperkenalkan pada
tuntunan agama.
Pendidikan anak dimulai
sejak janin di dalam kandungan.
Ibu sudah bisa menjalin
hubungan emosional dengan
janin, setelah usia kandungan
melewati empat bulan. Karena
pada usia empat bulan, roh
sudah ditiupkan serta usia dan
kehidupannya sudah ditentukan.
Jadi Ibu dan suami perlu
mohon pada Allah agar janin
itu kelak tumbuh jadi anak
saleh.
Agar terwujud, doa perlu
disertai pendidikan untuk
membentuk kepribadian yang
baik. Waktu janin dalam kandungan,
orang tua perlu memperbanyak
amal kebaikan dan
melibatkan anak melalui sentuhan
lembut dan ajakan
melakukan ibadah dan amal
saleh. Meski belum bisa
berbuat, janin sudah bisa
merespons dengan gerakan.
Banyak ibu sudah mempraktikkan
dan mengemukakan
hasil positif dari
komunikasi dengan anak
sejak dalam kandungan. Ibu
bisa memperkenalkan bacaan
Alquran dan memperkenalkan
Allah melalui bacaan takbir
(Allahu Akbar), tahmid
(Alhamdulillah), dan tasbih
(Subhanallah). Pengenalan
nama Allah dan Rasul dilanjutkan
setelah bayi lahir dan
masa pertumbuhan seterusnya,
dengan metode yang
sesuai dengan usianya.
Keteladanan dari Ibu dan
suami sangat perlu sebagai
contoh yang mudah diikuti
anak. Karena itu, orang tua
perlu memperbaiki diri agar
bisa jadi teladan bagi anak.
Orang tua yang bisa mendidik
anak jadi saleh akan
diberi pahala terus-menerus
oleh Allah, meski telah meninggal.
Karena itu, Ibu jangan lupa
berdoa agar dianugerahi anak
saleh, bertakwa pada Allah,
dan berbakti pada orang tua.
(51)

(Suara Merdeka 9 Februari 2011 h. 19)

Rabu, 02 Februari 2011

Paman Tak Mau Menikahkan

Tanya:
Saya karyawan swasta.
Calon istri, R, dibesarkan
sang nenek karena orang
tuanya meninggal ketika
dia kecil. Beberapa bulan
lalu, kakeknya meninggal.
Saat masih hidup, kakeknya
sudah merestui kami
untuk menikah. Bahkan
sudah ada kesepakatan
soal waktu.
Karena Kakek meninggal,
pernikahan kami diundur.
Kini muncul masalah
soal wali nikah. Rencana
semula, Kakek yang jadi
wali.
Namun kini yang ada
tinggal paman R, G. Namun
G tak mau menjadi
wali. Bahkan hubungan G
dan R merenggang karena
Kakek mewariskan sebagian
hartanya untuk R. G
berpendapat hanya dia
yang berhak atas warisan
Kakek.
Apakah L, adik lelaki R,
bisa menjadi wali nikah?
Sebab, dia masih kelas III
SMA. (Ryan)

Jawab:
Ryan, wali dalam pernikahan
bisa kerabat calon
pengantin perempuan (wali
nasab) atau wali hakim.
Wali nasab adalah ayah,
kakek, saudara lelaki sekandung
atau seayah calon
mempelai perempuan.
Bisa pula paman (saudara
lelaki sekandung/saudara
seayah dari ayah calon
mempelai perempuan).
Bisa pula saudara lelaki
sekandung/seayah dengan
kakek dari pihak
ayah.
Bila wali nasab tak ada,
enggan, atau berhalangan
hadir, bisa dengan wali
hakim. Karena ayah R dan
Kakek sudah meninggal,
wali nikah R bisa saudara
lelaki sekandung, yakni L.
Syarat wali nikah adalah
lelaki muslim, berakal
sehat, dan sudah akil balig.
Tanda akil balig anak lelaki
adalah mimpi basah yang
umumnya sudah dialami
remaja seusia SMA.
Jika persyaratan wali
nikah dimiliki L, dia bisa jadi
wali nikah kakaknya. Jadi
Ryan tak perlu khawatir
soal pelaksanaan pernikahan,
meski G tak bersedia
jadi wali nikah R.
Namun sebelum pernikahan,
Ryan dan R perlu
memperbaiki hubungan
kekeluargaan dengan G.
Jadi keluarga tetap rukun
dan tak terpecah belah
hanya karena soal warisan.
Jika Kakek masih hidup
tentu sedih melihat anakcucunya
bertikai hanya
karena harta warisan.
Jangan lupa berdoa
pada Allah. Mohon pertolongan-
Nya agar diberi
jalan yang mudah menuju
pernikahan yang diridai
Allah dan mendapat restu
semua keluarga, termasuk
Paman G. (51)

(Suara Merdeka 2 Februari 2011 h. 19)