Rabu, 27 Mei 2009

Tergoda Tetangga

Tanya:
Saya seorang ibu dari dua anak balita. Suami seorang wiraswata yang sering ke luar kota untuk keperluan usahanya. Rumah tangga kami dulu tenteram, tetapi akhir-akhir ini goncang karena suami mempunyai hubungan cinta dengan salah seorang tetangga yang bekerja di kota P.

Wanita itu bernama W, janda kembang yang dicerai suaminya karena selingkuh dengan laki laki lain. Saya tak tahu, bagaimana awal kedekatan W dengan suami saya. Beberapa kali saya membaca SMS yang masuk ke HP suami, yang isinya janjian di suatu tempat. Ketika saya tanyakan kepada suami, katanya SMS itu dari teman bisnisnya.

Awalnya, saya percaya dengan penjelasan itu. Tetapi lama-lama kecurigaan saya makin kuat, karena ada teman yang sering melihat suami bersama W. Persoalan ini menyebabkan kami sering bertengkar. Suasana rumah tangga semakin kacau, bahkan kami pun kini saling tidak bertegur sapa.

W pernah mengancam saya melalui telepon. Katanya, dia akan mengadukan saya ke polisi,karena telah menuduhnya berselingkuh dengan suamiku. Saya merasa ketakutan terhadap ancaman itu. Apakah yang harus saya lakukan untuk menghadapi W? Apakah mendiamkan suami diperbolehkan dalam agama? (Rina)

Jawab:
Ibu Rina yang sedang gelisah, kami bisa memahami perasaan ibu, karena SMS yang bikin kacau rumah tangga dan rencana W akan mengadukan ibu ke polisi. Ibu berada di pihak yang benar, jadi tak perlu risau dengan ancaman itu. Apalagi ada bukti perselingkuhan W dengan suami, baik berupa SMS maupun kesaksian teman ibu yang melihat keduanya sering berduaan.

Dengan mengancam ibu melalui telpon, sesungguhnya W telah melakukan kekerasan psikologis terhadap ibu, karena telah membuat ibu takut dan gelisah.

Kalau  W masih mengancam, Ibu Rina dapat melaporkan W ke pihak yang berwajib (polisi). Namun kalau tidak mau memperpanjang urusan, ibu bisa mengajaknya bicara atau lewat surat untuk menyelesaikan masalah itu secara damai.

Mintalah ia menjauhi suami ibu, dan jangan menggoda lagi. Jika yang menggoda justru suami ibu, mintalah ia untuk tak melayaninya. Selanjutnya, bicarakan masalah perselingkuhan itu dengan suami. Kalau suami ingin menjaga kelangsungan hidup berumah tangga, mintalah dia mengakhiri hubungannya dengan W.

Sadarkan dia bahwa anak-anak membutuhkan kasih sayang dan teladan yang baik. Kalau rumah tangga tidak harmonis atau hancur di tengah jalan, maka akibatnya tidak hanya dirasakan suami-istri, tetapi juga anak-anak.

Mengingat masa depan anak-anak sangat membutuhkan bimbingan ayah dan ibunya, maka hubungan harmonis dalam keluarga yang sempat terganggu perlu dibina kembali.
Untuk itu, diperlukan kesabaran dan tenggang rasa antara ibu dan suami. Akhirilah perang dingin atau saling mendiamkan itu.

Karena mendiamkan suami atau orang lain lebih dari tiga hari dilarang oleh agama, sebagaimana sabda Rasulullah:

‘’Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan (tidak mengajak bicara) saudaranya sesama muslim, lebih dari tiga hari, keduanya bertemu lalu yang satu memalingkan mukanya, demikian pula yang lainnya. Dan yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai lebih dulu mengucap salam (mengajak bicara)’’ (HR Bukhari dan Muslim).

Merujuk ajaran Rasulullah itu, maka segeralah ibu mengajak bicara suami untuk menyelesaikan kemelut rumah tangga ini. Jangan lupa berdoa kepada Allah agar diberi kekuatan dan jalan keluar dari godaan ini. (32)

(Suara Merdeka 27 Mei 2009)

Rabu, 20 Mei 2009

Fitnah Itu Kejam

Tanya:
Saya seorang pegawai di salah satu kantor swasta. Punya teman H yang suka buat gosip. Beberapa waktu lalu, saya pernah difitnah oleh H. Akibat fitnah itu, hubungan saya dengan calon suami berakhir.

Sampai sekarang saya masih sendiri, sedangkan mantan tunangan sudah berumah tangga. Jika teringat fitnah itu, hati ini masih terasa pedih. Lebaran tahun lalu, teman saya itu meminta maaf, katanya menyesali perbuatannya.
Karena saya masih teringat dengan akibat fitnah itu, maka saya tidak menjawab permintaan maafnya. Bahkan sampai hari ini saya belum bisa memaafkan perbuatannya. Apakah saya berdosa kalau tidak mau memaafkan H? (Arum)

Jawab:
Mbak Arum, setiap orang sudah ditentukan jodohnya oleh Allah. Apabila belum berjodoh, maka ada saja jalan untuk berpisah. Sebaliknya, jika memang berjodoh, meski banyak rintangan akan ketemu juga.

Karena itu, sebaiknya Arum tidak perlu menyalahkan H. Mungkin secara lahiriah, penyebab kegagalan itu adalah H. Tetapi jika direnungkan lebih dalam, maka fitnah itu tidak akan menjadi halangan bagi dua orang yang memang ditakdirkan berjodoh. Karena, bagi orang yang saling mencintai, tentu tidak akan percaya begitu saja terhadap perkataan atau berita yang dibawa orang lain.

Menyesali masa lalu akan menyebabkan kemunduran, kalau tidak diikuti dengan usaha untuk memerbaiki kesalahan tersebut. Karena itu, sebaiknya segera lupakan masa lalu dan songsonglah hari depan yang lebih baik.
Jika teman itu sudah meminta maaf, maafkanlah kesalahannya. Apalagi sudah menyatakan penyesalannya.

Namun untuk memaafkan orang yang telah memfitnah tentu bukan hal yang mudah. Karena harus menahan marah, jengkel, dan ketidakpuasan lainnya.
Bagi orang yang dapat mengendalikan marahnya, berarti ia telah berhasil melampaui ujian yang berat. Maka Allah akan memberikan pahala bagi orang yang mau memberi maaf pada orang lain yang pernah berbuat jahat kepadanya (QS Asy-Syura: 40).

Memaafkan kesalahan orang lain akan mendatangkan kebaikan bagi kedua belah pihak. Selain mengakrabkan lagi, Arum akan mendapatkan kembali kehidupan yang lebih tenang. Sebab sakit hati dan menyesali masa lalu dapat menyebabkan stres dan timbulnya penyakit lainnya.

Maka Islam mengajarkan agar seseorang bisa menahan marah, dan mau memberi maaf kepada orang lain. Karena manusia tidak lepas dari berbuat salah. Karenanya, maafkanlah H. Siapa tahu ia benar-benar bertaubat dan akan memperbaiki kesalahannya. (32)

(Suara Merdeka 20 Mei 2009)

Rabu, 06 Mei 2009

Istri Menjadi Kepala Keluarga

Tanya:
Sejak lima tahun lalu, suami saya menderita sakit sehingga tak dapat mencari nafkah. Dengan bekal ijazah SMA, saya berusaha mencari pekerjaan dan mendapat penghasilan tetap. Karena tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya mencari tambahan penghasilan dengan mencuci dan seterika.

Karena suami adalah anak tertua di keluarganya, banyak pula urusan keluarga yang semula ditangani suami kini beralih ke saya. Dalam beberapa hal, saya sering membuat keputusan tanpa sepengetahuan suami. Saya khawatir kalau setiap masalah diberitahukan kepada suami, justru akan menambah beban pikiran dan membuat penyakitnya makin berat.

Yang mengganggu pikiran, saudara ipar mengatakan saya tidak lagi menghormati suami sebagai kepala keluarga. Bahkan saya dikatakan merebut kedudukan suami dalam keluarga. Pertanyaan saya, apakah istri diperbolehkan menjadi kepala keluarga ketika suami sakit? Adakah keharusan memberitahu segala urusan rumah tangga kepada suami? (Tina).

Jawab:
Ibu Tina, kami dapat memahami kegelisahan Ibu atas tuduhan saudara ipar tersebut. Selama ini, dengan penuh tanggung jawab, Ibu melaksanakan tugas sebagai istri sekaligus pencari nafkah. Bahkan tanggung jawab terhadap saudara suami juga Ibu lakukan. Semua itu bertujuan untuk meringankan beban suami yang sakit. Apabila ada yang menuduh Ibu telah merebut kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga, perlu diajak bicara dari hati ke hati agar tidak terjadi salah faham.

Kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga tidak perlu diperebutkan. Pembagian tugas antara suami dan istri adalah hasil kesepakatan bersama. Ketika suami sakit dan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai kepala keluarga, boleh saja digantikan istri atau anaknya.

Pada dasarnya, istri adalah penolong bagi suami dan suami sebagai penolong istri. Karena itulah, Allah menyuruh para suami untuk memperlakukan istrinya dengan cara yang baik (QS An Nur: 19), demikian pula sebaliknya. Jadi tidak ada istilah ’’berebut kedudukan sebagai kepala keluarga’’, karena peran itu tidak menyebabkan seseorang lebih tinggi dan dapat merendahkan pasangannya.

Sekarang banyak perempuan yang menjalankan tugas sebagai ibu sekaligus kepala keluarga, ketika suaminya tak dapat menjalankan tugas karena berbagai sebab. Ini beban berat bagi perempuan, sehingga anggota keluarga yang lainnya perlu memahami dan membantu meringankan bebannya.

Langkah Ibu untuk tidak melaporkan setiap urusan keluarga kepada suami sudah tepat, mengingat suami masih sakit dan perlu istirahat. Bersabarlah dan jangan lupa mohon pertolongan Allah, agar suami diberikan kesembuhan dan Ibu bisa mendapatkan kembali kebahagiaan dalam keluarga. (32)

(Suara Merdeka 6 Mei 2009)