Rabu, 27 Oktober 2010

Suami Tidak Peduli

Tanya:
Saya karyawati beranak dua. Si kecil dua tahun. Suami saya di-PHK dan kini dia yang mengasuh anak. Keputusan itu hasil musyawarah kami.

Beberapa waktu lalu, anak saya kena DB dan diopname di RS. Karena masih kecil, dia tak mau ditinggal. Saya kecewa karena suami jarang menengok anak kami yang sakit. Dia mengaku capek setelah seharian mencari pekerjaan, kemudian melayani kebutuhan ibu mertua yang sudah tak bisa jalan.

Saya memahami kondisi suami saya. Namun anak kami juga sering menanyakan sang ayah. Ketika itu saya sampaikan, suami saya diam saja. Sikap itu membuat saya sering merasa  sendirian karena tak ada lagi yang mau meringankan beban saya.

Terkadang timbul pikiran untuk bercerai karena suami tak sayang pada anak lagi. Namun bagaimana jika anak saya tak mau berpisah dari sang ayah? (Ny Ratri)

Jawab:
Ibu Ratri, suami Ibu kini bingung karena di-PHK. Jadi Ibu perlu sabar menghadapinya. Tampaknya suami Ibu termasuk bisa ngemong orang tua. Dia mau mendampingi orang tuanya yang sakit. Jika kemudian jadi kurang perhatian terhadap anak, mungkin dia tak bisa membagi waktu.

Mungkin jarak rumah dan RS jauh sehingga tak bisa menjangkau kedua orang yang sakit, yakni anak dan ibu.

Karena bekerja, Ibu perlu mencari waktu longgar untuk bicara dari hati ke hati tentang kepedulian suami pada anak. Dalam kondisi suami belum dapat pekerjaan, Ibu perlu mempertimbangkan beberapa hal untuk membuat keputusan. Mungkin suami merasa sudah berbagi tugas dengan Ibu.

Agar suami mengerti kesulitan Ibu selama mendampingi anak di RS, sebaiknya Ibu kemukakan pada suami. Jadi dia dapat mengerti harapan Ibu untuk meringankan beban pikiran dan perasaan. Mungkin suami Ibu juga merasakan beban berat karena belum mendapat pekerjaan. Itu ditambah ibu dan anaknya sakit.

Karena itu Ibu perlu mendengarkan keluhan suami sehingga tercipta saling memahami dan saling bantu untuk mengatasi kesulitan. Jadi Ibu tak perlu bercerai karena perceraian justru menambah masalah dan berakibat buruk terhadap perkembangan anak.

Ibu dapat membantu suami menciptakan lapangan kerja, misalnya membuka bengkel atau  usaha lain yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Jangan lupa mohon pertolongan Allah agar diberi kemudahan memperoleh rezeki dan kebahagiaan rumah tangga. (51)

(Suara Merdeka 27 Oktober 2010)

Rabu, 20 Oktober 2010

Dicurigai Selingkuh

Tanya:
Saya karyawati beranak dua. Suami bekerja di
kantor swasta. Karena anak-anak sudah besar, saya
ikut kursus guru senam. Pelatihnya cowok, teman
sahabatku bernama R. Selesai senam, kami bertiga
sering pergi bersama. Terkadang kami belanja keperluan
sehari-hari di toko swalayan.
Suatu hari, ketika jalan-jalan di toko, kami bertemu
H, teman suami saya. H melaporkan kejadian di
toko itu ke suami saya. Suami saya marah dan setelah
itu selalu memata-matai saya.
Selain membuka kursus senam, saya ikut
kegiatan sosial yang terkadang menyita waktu.
Karena di lembaga sosial itu banyak teman lelaki dan
sering kontak lewat SMS, suami curiga dan menuduh
saya selingkuh. Jika marah, dia menuntut saya minta
maaf dan mengakui perbuatan yang dituduhkan.
Semua itu membuat hati saya sakit karena saya tak
pernah selingkuh.
Sekarang hubungan kami tak harmonis. Karena
tak bersalah, saya tak mau minta maaf. Namun
suami saya tetap pada pendiriannya. Terkadang timbul
dalam pikiran saya untuk bercerai. Namun anakanak
mencegah. Mereka ingin kami rukun kembali.
Bagamana cara meyakinkan suami bahwa saya
tak selingkuh? Saya juga tidak suka dituduh selingkuh.
(Ny Ratna)

Jawab:
Usaha Ibu Ratna mencari kesibukan dengan kursus
senam dan membuka kursus adalah baik.
Karena itu sebaiknya tempuh melalui cara yang baik
dan menghindarkan kecurigaan suami. Misalnya, tak
bepergian bersama cowok, meski tak melakukan hal
tercela. Sebagai istri, Ibu tentu sudah mengenal sifat
suami. Tuduhan selingkuh sesungguhnya merupakan
bentuk perhatian suami. Dia tak rela sang istri
jadi bahan gunjingan karena sering jalan bersama
guru senam yang cowok.
Untuk meyakinkan suami bahwa Ibu tak selingkuh,
ajaklah suami dalam kegiatan Ibu dan perkenalkan
pada teman-teman Ibu. Ibu bisa mempersilakan
suami memantau kegiatan Ibu di luar rumah.
Meski Ibu risi, jika cara itu membuat suami percaya,
biarkan saja.
Jika suami sudah yakin Ibu tak selingkuh, kepercayaan
suami akan pulih. Ibu perlu bersabar menghadapi
suami karena reaksi suami untuk mengawasi
tindakan Ibu muncul karena Ibu jalan bersama cowok
guru senam itu.
Ibu dan suami perlu saling memaafkan agar
keharmonisan rumah tangga tercipta kembali, sebagaimana
diinginkan anak-anak Ibu. Mohonlah petunjuk
dan bimbingan Allah agar Ibu dan suami rukun
kembali dan mendapat kebahagiaan dalam berkeluarga.
(51)

(Suara Merdeka 20 Oktober 2010 h. 19)

Rabu, 13 Oktober 2010

Putus Tunangan

Tanya:
Saya karyawati berusia 25 tahun. Sejak
lulus SMA saya langsung bekerja di kantor
swasta. Di kantor saya bertemu R. Kami
kemudian berpacaran. Setelah dua tahun,
kami sepakat bertunangan sambil menunggu
kakaknya menikah.
Selama masa menunggu itu, kami terpaksa
pisah tempat kerja. R dipindah ke kota K. Di
kota itu datanglah godaan dari J. Mereka
bertemu di kantor R. Tanpa sepengetahuan
saya, mereka menjalin cinta. Saya baru tahu
mereka berhubungan ketika saya berkunjung
ke kantor R dan mendapat berita dari teman
kantor R.
Pada waktu saya berkunjung itu, R dan J
baru makan siang bersama di luar kantor. Jadi
mereka tidak tahu saya berada di kantornya.
Ketika mereka tiba di kantor dan bertemu
saya, R terkejut dan J lari untuk bersembunyi.
Setelah saya tanyakan pada R tentang
hubungan dengan J, dia semula menolak
disebut pacaran. Namun akhirnya dia mengakui
dan minta maaf.
Akhirnya kami putus hubungan. Pertunangan
pun berakhir. Namun R tak mau.
Katanya, pertunangan itu seperti pernikahan.
Jadi untuk memutuskan hubungan harus ke
KUA.
Apakah hukum pertunangan sama seperti
menikah? Apakah jika kami putus pertunangan,
status saya sama dengan janda?
(Wiwin)

Jawab:
Mbak Wiwin, dalam Islam tak ada ajaran
tentang pertunangan. Jika lelaki dan perempuan
sepakat menikah, langsung melaksanakan
pernikahan tanpa melewati pertunangan.
Banyak orang berpandangan pertunangan
sama dengan pernikahan sehingga mereka
melakukan hal-hal selayaknya suami-istri.
Jika pertunangan putus, muncul sebutan
janda atau duda.
Karena Islam tak mengajarkan pertunangan
dan melarang orang yang belum menikah
hidup bersama, tak ada istilah perceraian
sebelum menikah.
Jadi Mbak Wiwin tak perlu ke KUA untuk
berpisah dari R karena belum pernah menikah
dengan dia.
Status Mbak Wiwin pun bukan janda karena
belum pernah menikah atau bercerai.
Semoga Mbak Wiwin mendapat petunjuk dari
Allah dan menemukan jodoh yang dapat
membimbing ke jalan yang benar. (51)
(Suara Merdeka 13 Oktober 2010 h. 19)

Rabu, 06 Oktober 2010

Tak Mau Memaafkan

Tanya:
Saya ibu rumah tangga beranak tiga. Si sulung mahasiswa,
sedangkan kedua adiknya SMA dan SMP. Sejak
melahirkan anak pertama, saya berhenti kerja karena tak
pengasuh anak. Setelah anak besar, saya membuka toko
kelontong untuk membantu suami mencukupi kebutuhan
keluarga.
Suami adalah sales perabot rumah tangga. Dia
terkadang bertugas ke luar kota dan tak pulang beberapa
hari. Saya tak pernah mempersoalkan jika dia tak pulang
melebihi hari biasa.
Suatu hari, teman saya berkunjung. Dia memberi tahu
pernah bertemu suami saya di kota M bersama seorang
perempuan. Ketika saat itu dia bertanya, suami saya mengakui
perempuan tersebut adalah saudaranya di kota M.
Padahal, dia tak punya saudara di kota itu.
Hal itu lalu saya tanyakan pada suami. Dia tak mengakui,
tetapi akhirnya minta maaf setelah saya tunjukkan SMS dari
perempuan yang jadi pacar gelapnya itu. Namun kemudian
dia pergi dan hidup bersama perempuan itu.
Lebaran lalu dia datang, minta maaf, dan menyatakan
ingin membina rumah tangga lebih baik dengan saya.
Namun saya belum bisa memaafkan. Bahkan saya menyuruh
dia pergi dan tak pulang lagi.
Apakah boleh tak memaafkan oring yang minta maaf?
Bagaimana saya mesti menggugat cerai suami yang telah
berselingkuh? (Ny Rina)

Jawab:
Ibu Rina, suami Ibu sudah menyia-nyiakan kepercayaan.
Ketika dipercaya bekerja di luar kota, dia punya WIL
dan bahkan hidup serumah. Karena itu saya bisa memahami
betapa Ibu memendam rasa sakit karena telah dikhianati.
Namun, sebagai manusia biasa, suami Ibu yang
bersalah telah meminta maaf. Tampaknya suami Ibu telah
merasakan betapa pahit punya WIL dan menyadari betapa
besar pengorbanan Ibu untuk mendukung dia.
Ibu rela melepaskan pekerjaan demi membesarkan
anak-anak. Ibu membantu mencari nafkah agar kebutuhan
keluarga tercukupi. Semua itu menggugah kesadaran suami
bahwa Ibu lebih baik daripada WIL. Karena itu dia ingin kembali.
Islam mengajarkan agar orang mau memaafkan orang
lain yang meminta maaf. Allah akan memberikan pahala bagi
orang yang memaafkan orang lain yang berbuat jahat
kepadanya (Surah Asy-Syura: 40). Jadi sebaiknya Ibu mau
memaafkan dia.
Untuk mengajukan gugatan cerai, Ibu perlu mempertimbangkan
kebutuhan anak-anak akan figur ayah. Ibu perlu
meminta pendapat anak-anak mengenai ayah mereka. Jika
mereka sudah tak menghargai dan malu atas perbuatan
sang ayah, Ibu dapat meminta pendapat mereka tentang
rencana bercerai.
Bila sudah mantap, Ibu bisa mengajukan permohonan
ke pengadilan agama terdekat. Mohonlah petunjuk Allah
sebelum memutuskan. Semoga Allah memudahkan jalan
Ibu beserta anak-anak untuk memperoleh ketenangan dan
kebahagiaan hidup. (51)

(Suara Merdeka 6 Oktober 2010 h. 19)