Rabu, 28 Desember 2011

Saudaraku Iri Hati*

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, mempunyai lima saudara kandung dan dua saudara seayah, yaitu K dan D. Ayah menikah dengan ibu R setelah ibu meninggal. Perkawinan yang kedua ini melahirkan K dan D. Saudara kami yang seayah-ibu selalu rukun, sedangkan saudara seayah, D, sering bertengkar dengan kami karena salah paham ataupun iri hati. Karena kami telah tahu sifatnya, maka kami banyak mengalah dengannya agar tidak terjadi perselisihan.
Beberapa bulan yang lalu, G (adik kandung kami) mendapat hadiah sepeda motor dari Bank tempat ia menabung. Mengetahui G naik sepeda motor baru, maka D meminta ayah untuk membelikan sepeda motor seperti punya G. Ayah sudah menjelaskan kalau sepeda motor itu hadiah, bukan ayah yang membelikan. Tetapi ia tidak percaya dan menuduh ayah tidak adil. Setelah itu, D memusuhi ayah dan G. Ia tidak mau bertegur sapa dengan kami dan juga ayah.
Sekarang ini ayah sakit karena memikirkan D yang hampir setiap hari menuntut ayah untuk membelikan sepeda motor. Padahal ayah hanya pensiunan pegawai kecil, jadi tidak mungkin bisa membelikannya.
Bagaimana cara mengingatkan D agar tidak membuat ayah sedih dan bisa bergaul baik dengan saudara-saudara. (Ruly)

Jawab:
Ibu Ruly, berbahagialah karena mempunyai saudara banyak. Keberadaan saudara kandung ataupun seayah akan menambah semaraknya keluarga. Sewaktu keluarga ada kerepotan, tentu banyak saudara yang terpanggil untuk membantu. Apalagi saudara Bu Ruly sebagian besar selalu menjaga kerukunan. Meskipun saudara sekandung, terkadang banyak yang berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.
Sesungguhnya berbeda atau bertentangan pendapat itu merupakan hal yang wajar, karena setiap orang mempunyai perbedaan sudut padang yang menghasilkan perbedaan pemikiran. Manakala perbedaan itu diterima sebagai suatu yang manusiawi, maka tidak akan memunculkan pertengkaran. Karena pihak-pihak yang berbeda pendapat, akan mencari titik temu yang bisa dipahami dan diterima oleh mereka.
Mengenai D, saudara seayah Bu Ruly, agar ia percaya pada penjelasan ayah ataupun G tentang asal sepeda motor itu dari hadiah tabungan, maka G perlu menunjukkan surat-surat dari Bank yang dapat memperkuat penjelasan tersebut. Selain itu, Bu Ruly dapat menjelaskan bahwa ayah tidak membelikan sepeda motor itu, karena uangnya memang belum cukup. Tidak ada orang tua yang tidak ingin menuruti keinginan anak, oleh karena itu, D perlu meminta maaf pada ayah dan tidak boleh membuatnya sedih.
Di samping itu, kalau memungkinkan, Bu Ruly bisa membuat acara keluarga yang bisa mempertemukan D dengan anggota keluarga lainnya. Dalam acara itu, dapat digunakan untuk mempererat tali persaudaraan serta menjembatani adanya perbedaan antarsaudara yang bisa memecah-belah keluarga. Islam mengajarkan agar pemeluknya menjaga persaudaraan serta ada yang menjadi juru damai bagi yang sedang bertikai, sebagaimana firman Allah yang artinya, ”Sungguh, orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah kedua saudaramu, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (Alquran, Surat Al-Hujurat :10). Semoga dapat membantu. (24) (Suara Merdeka 28 Desember 2011 h. 7)

Rabu, 21 Desember 2011

Belajar Mengaji sebelum Menikah*

Tanya:
Saya seorang karyawati sebuah kantor swasta, belum menikah. Saat ini sedang menjalin hubungan serius dengan teman laki-laki bernama M. Ia salah satu pimpinan kantor cabang dari perusahaan tempat saya bekerja.
Orang tua kami masing-masing sudah mengetahui hubungan kami. Keluargaku tidak ada yang keberatan apabila aku menikah dengan M. Namun dari keluarga M ada permintaan agar aku belajar mengaji sampai bisa membaca dengan lancar.
Kalau memang jodoh, maka pada waktu menikah kelak, pengantin yang akan membaca Alquran sebelum acara akad nikah. Maka saya harus bisa membaca Alquran.
Sampai saat ini, saya memang belum bisa mengaji. Saya berasal dari keluarga muslim, tetapi tidak bisa membaca Alquran. Ayah dan ibuku juga tidak bisa membaca Alquran. Maka menghadapi permintaan calon mertua itu, saya cukup bingung. Ketika hal itu saya sampaikan kepada orang tuaku, mereka menyerahkan kepadaku.
Sebaiknya belajar membaca Alquran itu cukup dengan bisa membaca hurufnya saja, ataukah harus dengan terjemahannya.(Ratih)

Jawab:
Ananda Ratih, berbahagialah karena sudah menemukan tambatan hati. Meskipun belum sampai lamaran, tampaknya orang tua dan calon mertua sudah menyetujui hubungan Ratih dengan M.
Sebagai orang tua yang ingin anaknya bisa hidup bahagia dalam rumah tangganya, maka calon mertua ingin agar Ratih bisa membaca Alquran.
Hal itu untuk mempersiapkan diri menghadapi acara pernikahan yang diawali dengan pembacaan Alquran oleh kedua mempelai.
Pembacaan Alquran di awal acara itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah mempertemukan kedua mempelai dalam ikatan pernikahan. Di samping itu, sebagai muslim/muslimah, membaca dan mengetahui isi Alquran itu merupakan keharusan.
Karena Alquran itu berisi petunjuk dari Allah bagi manusia agar dapat menjadi muttaqin (orang yang bertakwa). Petunjuk Allah dalam Alquran itu perlu diketahui oleh setiap muslim, agar hidupnya berada di jalan yang lurus untuk mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. Karena itu, orang Islam harus bisa membaca hurufnya dan mengetahui arti/maksudnya.
Bagi yang ingin rumah tangganya harmonis, Allah memberikan petunjuk-Nya dalam Alquran. Misalnya Allah
memerintahkan agar suami bergaul secara patut dengan istrinya (Alquran, Surat An Nisa: 19).
Rasulullah mempertegas bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik perilakunya. Dan sebaik-baik manusia adalah yang memperlakukan istrinya dengan baik (hadits riwayat At-Turmudzi).
Masih banyak tuntunan dalam Alquran yang bisa dijadikan bekal dalam membina rumah tangga agar tercipta
kebahagiaan. Karena itu, calon mertua Ratih menginginkan agar sebelum menikah, Ratih belajar membaca Alquran agar lancar bacaannya serta mengetahui isinya. Membaca Alquran, tidak terbatas pada waktu mau menikah saja, tetapi untuk selamanya. Karena banyak petunjuk yang akan membimbing pemeluk Islam memperoleh kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat kelak. (24) (Suara Merdeka 21 Desember 2011 h. 7)

Rabu, 14 Desember 2011

Sepupu Memutus Tali Persaudaraan*

Tanya:
Saya ibu rumah tangga, punya tiga anak yang sudah bekerja semua. Suami saya sudah meninggal lima tahun yang lalu. Anak saya yang besar, L, ramah dan pandai bergaul, termasuk dengan orang-orang tua.
Karena itu, banyak yang ingin mengambil sebagai menantu termasuk, sepupu saya T. Sepupu dari suami ini, punya dua anak, perempuan dan laki-laki. Yang perempuan, K, usianya terpaut dua tahun lebih tua dibanding anak saya L.
Anak saya tampaknya sudah punya pilihan sendiri, kebetulan teman kerja K. Namun sepupu dan anaknya tidak mengetahui kalau anak saya naksir pada teman K. Anak saya memang selalu bersikap baik kepada semua temannya, dan sering diminta mengantar atau menemani K ke kantornya atau jalan-jalan.
Karena itu, sepupu menganggap anak saya menanggapi cinta anaknya. Beberapa waktu lalu, sepupu berkunjung ke rumahku dan membicarakan hubungan anak saya dengan anaknya. Belum selesai kami bicara, tiba-tiba datang anak saya bersama dengan pacarnya, dan ia memperkenalkan pula kepada saudara sepupu. Alangkah terkejutnya dia, mendengar bahwa L sudah punya pilihan. Tanpa pamit, ia langsung keluar dari rumah saya. Dan sorenya ia marah-marah lewat telepon, dan mengancam tidak mau bersaudara lagi dengan kami, kalau L tidak mau menikah dengan anaknya.
Bagaimana cara mempertahankan persaudaraan kami agar tidak putus. (Ny. Artini)

Jawab:
Ibu Artini, berbahagialah ibu mempunyai putra yang pandai bergaul dan suka membantu sehingga disukai teman ataupun saudara. Hubungan dengan teman maupun kerabat memang perlu dijalin agar kehidupan ini berjalan dengan harmonis dan menyenangkan.
Untuk menjaga keharmonisan itu, ada tata krama yang perlu diperhatikan. Antara lain saling menghormati dan menjaga batas-batas pergaulan agar tidak terjadi salah penafsiran yang berujung pada pertikaian.
Selama ini, bagaimana sikap putra ibu kepada K. Apakah sebatas bersaudara ataukah hubungan yang lebih khusus, sehingga sepupu ataupun anaknya punya anggapan bahwa L mencintai K.
Mungkin karena L, anak ibu, mau mengantar K ke kantor ataupun jalan-jalan, itu ditafsirkan sebagai salah satu tanda adanya perhatian dan rasa cinta.
Agar tidak salah duga, sebaiknya bu Artini menanyakan kepada L mengenai hal tersebut. Kalau memang tidak ada perasaan selain persaudaraan, maka mintalah L menjelaskannya kepada K dan ibunya. Berikanlah dukungan agar L mau meminta maaf kalau sikapnya suka membantu itu menimbulkan salah pengertian.
Bu Artini bisa ikut menjelaskan bahwa jodoh sudah merupakan anugerah Allah, sehingga ibu beserta keluarga juga tidak bisa memaksa L untuk menikah dengan K. Sampaikan pula doa ibu bagi K agar diberikan jodoh yang lebih baik dari L.
Ajaklah L dan putra ibu lainnya untuk terus menjaga tali persaudaraan dengan sepupu ibu dan keluarganya. Pereratlah kekerabatan itu dengan silaturahmi, mengirim makanan/hadiah atau lainnya yang bisa menumbuhkan kembali keakraban dan saling menyayangi antarkeluarga. Menjaga tali persaudaraan itu melapangkan jalan menuju kebaikan, namun membutuhkan kesabaran.
Karena itu, Allah akan melapangkan rezeki orang yang suka memelihara silaturahmi (hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim) Sementara orang yang memutus tali persaudaraan termasuk dalam golongan orang yang terancam tidak masuk surga (hadits riwayat Ibnu Hibban). (24) (Suara Merdeka 14 Desember 2011 h. 7)

Rabu, 07 Desember 2011

Ayahku Suka Dugem*

Tanya:
Saya mahasiswa sebuah perguruan tinggi, punya adik tiga orang. Satu cowok dan dua cewek, dua di antaranya sekolah di SMA dan yang bungsu masih di SMP.
Ibu dan ayah kami sibuk, masing-masing punya pekerjaan di kantor dan sering pulang sampai malam. Untung di rumah ada nenek, yang selalu menyayangi dan memperhatikan kami, sehingga kami tidak merasa kesepian
karena ditinggal ayah dan ibu dari pagi sampai malam.
Setahun yang lalu, nenek meninggal dunia. Sepeninggal nenek, saya merasa sangat kehilangan, dan merasakan kesepian sewaktu adik-adik belum pulang, karena kegiatan di sekolah masing-masing.
Suatu malam, setelah mengerjakan tugas bersama teman- teman, saya diajak G ke suatu tempat, katanya untuk menghilangkan kejenuhan. Ternyata di sebuah klub malam tempat dugem.
Saya hanya duduk sebentar dan pulang duluan. Tetapi sebelum saya pulang, saya melihat ayah saya lagi menari dengan seorang perempuan.
Semenjak itu, pikiran saya risau karena ternyata ayah pulang malam bukan karena kesibukan di tempat kerjanya, melainkan di tempat dugem.
Kalau bertanya langsung, saya tidak berani. Mau bicara dengan ibu, juga takut menyebabkan pertengkaran antarmereka. Tetapi kalau dipendam saja, pikiran saya tidak tenang dan mempengaruhi belajar saya.
Bagaimana sebaiknya Bu? (Sony).

Jawab:
Ananda Sony, kerisauan itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak diharapkan. Antara lain perilaku ayah yang suka dugem dan itu tidak terbayangkan sebelumnya. Ayah dan ibu dalam pandangan anak-anaknya adalah pribadi yang baik dan bisa dijadikan idola. Sony serta adik-adik selama ini melihat bapak dan ibu adalah pekerja keras dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Sony juga punya nenek yang bisa menjadi teladan dan disayangi oleh cucu-cucunya. Setelah nenek meninggal, terjadi kekosongan figur yang bisa memberikan kehangatan, nasihat dan contoh yang diharapkan oleh Sony dan adik-adik, karena ayah ternyata tidak seperti yang dibayangkan selama ini.
Masa remaja, merupakan waktu pencarian jati diri. Maka Sony merasakan kegelisahan sewaktu ayah yang selama ini menjadi idola ternyata membuat kecewa. Namun semua itu masih sebatas prasangka, karena itu sebaiknya Sony menanyakan mengenai hal-hal yang terkait dengan peristiwa yang Sony lihat di tempat dugem itu kepada ayah. Kalau tidak berani berhadapan dengan ayah, maka bisa melalui surat. Kalau jawabannya memang sesuai prasangka Sony, maka mohonlah ayah untuk menghentikan kebiasaan itu. Karena ayah adalah contoh bagi anak-anaknya, bagaimana jadinya apabila Sony dan adik-adik juga mengikuti kebiasaan ayah itu? Apakah ayah rela, apabila anak-anak yang seharusnya tekun belajar untuk mempersiapkan masa depan, justru terlena untuk menghabiskan waktunya untuk hura-hura.
Kalau ayah bisa memperbaiki diri dan meninggalkan kebiasaan dugemnya itu, maka Sony bisa menyimpan peristiwa itu agar tidak menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Namun kalau tidak berhenti, maka perlu bicara dengan ibu agar dicari jalan keluar untuk menyelamatkan keluarga dari dampak yang merusak masa depan anak-anak. Jangan lupa, selalu berdoa kepada Allah memohonkan ampun atas kesalahan orang tua, dan mohonkan petunjuk serta bimbingan-Nya ke jalan menuju kebahagiaan di dunia sampai akhirat kelak. (24) (Suara Merdeka 7 Desember 2011 h. 7)

Rabu, 30 November 2011

Belum Lama Melahirkan, Sudah Ingin Kerja Lagi*

Tanya:
Saya seorang PNS, sudah menikah. Sebulan yang lalu, istri saya melahirkan anak pertama. Keluarga saya dan mertua sangat bahagia dengan kelahiran anak kami ini. Setiap pulang dari kantor, yang saya cari pertama adalah anak.
Demikian pula di waktu pagi sebelum ke kantor, saya selalu ikut menyiapkan keperluan untuk mandi anak kami.
Selama ini yang memandikan adalah ibu mertua, bahkan beliau juga yang mengurus sehari-harinya. Kami memang masih tinggal bersama mertua dan saya sudah meminta istri untuk menyiapkan sendiri keperluan anak kami. Namun sampai sekarang, ia lebih senang melakukan pekerjaan untuk dirinya sendiri daripada untuk melayani keperluan anaknya. Bahkan sejak beberapa hari yang lalu, ia ingin cari pekerjaan, karena ia merasa bosan di rumah sejak sebelum melahirkan.
Istri memang dulu bekerja di kantor swasta, dan sejak hamil lima bulan sudah mengundurkan diri. Saya ingin istri mengasuh anak kami dulu, dan bisa mendidiknya sesuai yang kami cita-citakan. Tetapi ia tetap bersikeras mau kerja. Apakah saya salah apabila melarang istri saya bekerja karena ia punya tanggung jawab merawat anak kami, dan penghasilan saya juga cukup untuk kebutuhan sehari-hari. (Ardy)

Jawab:
Pak Ardy, kebahagiaan yang ditunggu pasangan suami istri adalah hadirnya buah hati sebagaimana dirasakan oleh Pak Ardy beserta keluarga. Kelahiran anak yang menjadi penerus keluarga, adalah amanah dari Allah yang harus dirawat, dibesarkan dan dididik agar menjadi insan yang bertakwa, saleh, cerdas dan harapan lain yang selalu dipanjatkan oleh keluarganya.
Untuk mewujudkan harapan itu, orang tua punya kewajiban mendidik serta mencukupi kebutuhan jasmani dan rohaninya. Minimal sampai usia enam bulan, anak perlu diberi air susu ibu (ASI) untuk mendukung perkembangannya.
Karena itu, sebaiknya istri Pak Ardy perlu memperhatikan hal ini, agar tidak kehilangan kesempatan dalam mengupayakan perkembangan anaknya secara maksimal.
Menyusui anak tidak hanya diperlukan untuk mencukupi kebutuhan jasmaninya, tetapi juga kebutuhan psikis dan emosionalnya. Karena melalui dekapan dan belaian sewaktu ibu menyusui, anak akan merasakan kasih sayang serta rasa aman.
Demikian pentingnya kedekatan ibu dengan anaknya pada masa-masa pertumbuhannya, maka Pak Ardy perlu bicara dari hati ke hati dengan istri mengenai apa yang perlu dilakukan bersama agar anak bisa tumbuh sehat.
Sebagai suami, Pak Ardy punya hak untuk meminta pengertian istri akan kewajibannya sebagai ibu dari anak yang dilahirkannya. Kemukakan pula tentang keberatan Pak Ardy bila istri bekerja di luar rumah yang bisa mengganggu kedekatan ibu dan anak.
Apabila ia tetap ingin bekerja, maka Pak Ardy bisa memberikan tawaran untuk membuat usaha yang dilakukan di rumah, misalnya buka toko kelontong, salon atau usaha lainnya. Namun dengan catatan, kesibukan itu tidak akan mengganggu tugasnya sebagai ibu. Dengan cara semacam ini, maka keinginan istri tersalurkan untuk bisa bekerja, namun tetap dekat dengan anak.
Jangan lupa memohon pertolongan Allah agar Pak Ardy beserta istri diberi petunjuk dan kekuatan dalam mendidik anak sehingga tumbuh menjadi anak yang saleh. (24) (Suara Merdeka 30 November 2011 h. 7)

Rabu, 23 November 2011

Anakku Tertarik Pria Lain*

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, mempunyai anak tiga. Yang paling besar sudah berumah tangga dan punya dua anak, sedangkan dua anak lainnya masih kuliah. Anak yang sudah berumah tangga tersebut sekarang ini sedang tergoda laki-laki lain yang sudah punya istri dan anak. Saya tidak tahu apa penyebabnya ia tertarik pada M, laki-laki yang menggodanya. Padahal menantu saya, lebih baik dalam segalanya dibanding dengan M. Yang saya risaukan, sekarang ini anak saya ingin cerai dari suaminya dan akan menikah dengan M.
Sebagai orang tua, saya dan suami sudah berusaha menasihati anak kami, tetapi tidak membuat ia berubah keinginan. Kami juga sudah bicarakan masalah itu dengan menantu, ia juga mengaku masih mencintai anak saya, dan tidak akan menceraikannya. Saya lihat, menantu saya memang masih berusaha untuk tetap mempertahankan pernikahannya. Tetapi anak saya jarang bicara dengan suaminya, karena menantu saya memang sibuk dengan pekerjaannya di perusahaan swasta. Bagaimana cara memperbaiki rumah tangga anak kami yang seperti itu, karena saya dan suami menginginkan rumah tangga mereka kembali rukun dan damai. (Ny. Rustini)

Jawab:
Ibu Rustini, rumah tangga putri ibu sedang mengalami goncangan. Kalau dilihat hubungan putri ibu dengan suaminya, tampaknya ada persoalan yang membuat hubungan mereka tidak harmonis.
Mungkin kesibukan menantu ibu menyebabkan ia kurang memberikan perhatian pada istrinya, sehingga komunikasi suami dengan istrinya jarang dilakukan dan menyebabkan mereka enggan bicara satu sama lain. Meski suami sibuk, seharusnya komunikasi tetap dipelihara. Di sela kesibukan, tentu ada waktu sejenak untuk menjalin komunikasi dengan istri dan anaknya.
Hari-hari libur perlu dimanfaatkan untuk menciptakan kebersamaan dengan istri dan anak-anak. Ini merupakan salah satu jalan untuk memperbaiki hubungan yang kurang harmonis antara mereka.
Sebagai ibunya, Bu Rusti bisa bicara dari hati ke hati dengan putri ibu tentang situasi rumah tangganya yang tampak tidak harmonis dan keinginanannya untuk bercerai. Ibu bisa mengingatkan putri ibu akan kedudukannya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Sebagai isteri, ia perlu memahami tugas suami, dan menjaga hubungannya agar tetap baik sama suaminya. Apabila ada persoalan rumah tangga, sebaiknya segera dicari solusinya bersama suami. Kalau suami tidak pernah menyinggung tentang masalah rumah tangga atau persoalan suami istri, maka istri perlu proakif (berinisiatif) untuk mengajak bicara suami tentang persoalan yang dihadapi. Karena persoalan yang menumpuk, akan membuat istri jenuh dan akhirnya enggan berbicara. Di saat krisis seperti ini, putri Ibu akan mudah tergoda oleh laki-laki yang bisa memahami dirinya sebagaimana yang terjadi sekarang.
Untuk memperbaiki rumah tangga ananda, maka Ibu perlu bekerja sama dengan suami. Bapak juga perlu mendekati menantunya, dan bicara dari hati ke hati tentang problem rumah tangganya. Kalau memang ada persoalan menantu dengan istrinya, pertemukan keduanya dan mintalah mereka mencari solusi dari persoalan yang dihadapinya. Sadarkanlah mereka tentang pentingnya menjaga keutuhan rumah tangga, dan kepentingannya bagi masa depan anak-anak mereka.
Jangan lupa memohon pertolongan Allah agar rumah tangga putri Ibu bisa utuh kembali dan mendapatkan kebahagiaan berkeluarga. (24) (Suara Merdeka 23 November 2011 h. 7)

Rabu, 16 November 2011

Mengangkat Anak Saudara*

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, menikah tujuh tahun lalu, tetapi belum mempunyai anak. Suami bekerja sebagai konsultan di perusahaan swasta. Kami sudah periksa ke dokter dan berbagai jalan sudah kami tempuh agar bisa mendapatkan anak. Namun sampai sekarang belum berhasil. Orang tua kami juga sudah ingin menimang cucu, karena kebetulan saya dan suami adalah anak pertama dari keluarga kami masing-masing.
Beberapa bulan yang lalu, saya dan suami menengok R, saudara sepupu saya yang melahirkan anak kelima dan tinggal di kota P. Mereka semua menjadi anak yatim, karena ayahnya telah meninggal dunia lima bulan yang lalu.
Sepeninggal suaminya, R membuka warung kelontong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Entah kenapa, saya dan suami sama-sama merasa tertarik dan sayang dengan bayi yang baru lahir itu, sehingga kalau hari libur, kami pasti menjenguknya. Kami punya keinginan untuk mengangkat anak itu, dan tampaknya R juga tidak keberatan seandainya anaknya kami asuh.
Yang menjadi kendala adalah keraguan suami saya tentang masa depan anak itu apabila tahu bahwa kami bukan orang tua kandungnya. Kalau kami sudah telanjur sayang kepadanya, kemudian ia meninggalkan kami, tentu kami akan kesepian. Apakah kita boleh menutupi asal-usul anak itu, agar tidak terjadi hal yang tidak kami inginkan itu? (Lita)

Jawab:
Ibu Lita, keinginan ibu bersama suami untuk mengangkat anak R adalah perbuatan terpuji kalau dilandasi dengan niat untuk menolong R dan anak tersebut. Mengambil anak saudara atau orang lain, untuk diasuh dan dididik dengan kasih sayang, tentu akan menumbuhkan ikatan emosional anak dengan orang tua angkatnya. Kalau Bu Lita bersama suami memperlakukan anak angkat seperti anaknya sendiri, tentu anak juga akan merasakan kehangatan dan kasih sayang dari orang tua angkatnya. Anak juga akan merasakan kehilangan ketika berada jauh atau berpisah dengan Bu Lita dan suami. Maka kekhawatiran akan kesepian kalau ditinggal anak itu, tidak perlu dirisaukan, kalau ibu dan suami mencurahkan perhatian serta kasih sayang kepadanya.
Sebelum mengambil anak itu, Bu Lita dan suami perlu menata hati dan pikiran untuk menerima kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan, seandainya anak tahu siapa orang tua kandungnya. Menurut ajaran Islam, orang tua angkat tidak boleh menutupi asal-usul nasab atau silsilah keturunannya. Suatu saat kelak, sewaktu anak secara psikologis sudah siap menerima kenyataan bahwa ternyata yang selama ini mengasuh dan membesarkan bukan orang tua kandungnya. Maka Bu Lita dan suami perlu memberitahukan siapa ibu kandungnya. Untuk menjaga jangan sampai anak merasa dibuang oleh orang tuanya, dan mengakibatkan ia membenci ibu kandungnya sendiri, maka perlu hati-hati dalam menyampaikannya dan harus memilih waktu yang tepat.
Kalau Bu Lita bersama suami sudah mempertimbangkan segala sesuatunya, dan memutuskan untuk mengangkat anak R, maka luruskanlah niat dalam mengangkat anak itu, untuk menolong saudara yang ditimpa musibah dan mendidik anak itu menjadi saleh dan bermanfaat. Dengan demikian, apa pun yang terjadi kelak, tidak akan menimbulkan penyesalan ataupun kesedihan. Jangan lupa, mohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah, agar ibu dan suami diberikan kebahagiaan dalam berkeluarga. (24) (Suara Merdeka 16 November 2011 h. 7)

Rabu, 09 November 2011

Menjelang Pensiun, Suami Tergoda PSK*

Tanya:
Saya seorang PNS, demikian pula suami saya. Kami punya empat anak, sudah berumah tangga semua. Kami juga sudah punya cucu. Kehidupan kami semula tenteram.
Di samping sebagai pegawai, suami saya juga paranormal. Banyak orang yang datang ke rumah dan minta tolong berbagai urusan. Saya tidak pernah curiga maupun campur tangan pekerjaan suami. Karena saya percaya bahwa suami saya tidak akan berbuat yang menyimpang dari norma agama ataupun norma masyarakat.
Tetapi, di luar pengetahuan saya, ternyata suami saya tergoda seorang pekerja seksual komersial (PSK) yang sering datang dan minta pertolongan suami.
PSK itu mengaku, atas petunjuk paranormal lain, ia telah menemukan orang yang akan menjadi jodohnya. Ciri-ciri jodoh itu, katanya, ada pada diri suami saya.
Sejak PSK itu sering datang, suami saya telah lupa sama anak istri. Ia tergila-gila sama perempuan itu, dan saya sudah bosan untuk mengingatkan suami agar sadar dan kembali menjadi suami dan ayah yang baik.
Sekarang ini, kami sering bertengkar, bahkan ia pernah memukul saya. Sebenarnya saya malu dengan anak-anak kami, tetapi kalau dibiarkan saja, suami juga semakin jauh dari keluarga, dan terjerumus ke jalan yang dilarang agama.
Sebaiknya bagaimana menghadapi semua itu, apakah saya harus berdiam diri untuk mempertahankan rumah tangga atau saya perlu melaporkan hal itu ke pimpinan kantor suami? (Tuty)

Jawab:
Ibu Tuty, ibarat berlayar, perjalanan biduk rumah tangga ibu bersama suami itu sudah hampir mencapai pulau tujuan.
Namun, sebelum sampai, datanglah godaan yang mengancam keutuhan rumah tangga ibu. Sebagai istri yang sudah sekian lama mendampingi suami, Bu Tuty tentu tahu sifat-sifat suami.
Sebelum PSK datang, suami Ibu bisa menjaga diri dan Ibu mempercayai suami, kepercayaan yang Ibu berikan, sehingga tidak terjadi kasus yang meresahkan Bu Tuty. Namun dengan datangnya PSK, suami ibu berubah menjadi lupa pada istri dan anak-anak. Ia berubah seperti pemuda yang sedang jatuh cinta, dan lupa diri bahwa ia sudah beranak cucu.
Menghadapi semua ini, ibu tidak boleh berdiam diri. Bu Tuty bersama anak-anak perlu mengingatkan suami yang sedang salah jalan. Suami istri diperintahkan oleh Allah saling mengajak kepada kebaikan (amar ma'ruf) dan mencegah dari kemungkaran (nahi munkar) sebagaimana tersebut dalam Alquran yang artinya "Dan orang-orang yang beriman, laki laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya." (Alquran, Surat At-Taubah:71).
Jangan biarkan suami ibu terperosok ke jurang dosa yang lebih dalam, segeralah mengambil tindakan dengan menyadarkannya. Ibu perlu sabar dan kuat, jangan putus asa, lakukan terus-menerus bersama anak-anak. Kalau tidak ada perubahan, Ibu bisa minta bantuan pimpinan kantor suami untuk memberikan peringatan dan kalau diperlukan juga sanksi. 
Selain itu, Ibu juga perlu mengingatkan PSK agar tidak menggoda suami Ibu dan menjauhinya. Jangan lupa selalu mohon pertolongan Allah, agar badai yang mengancam keutuhan rumah tangga ibu segera berlalu serta berganti dengan kebahagiaan. (24) (Suara Merdeka 9 November 2011 h. 7)

Rabu, 02 November 2011

Terjebak Lagi*

Tanya:
Saya seorang karyawati sebuah instansi. Mempunyai seorang anak berusia 3 tahun. Saya menikah dengan G, yang bekerja sebagai PNS. Waktu itu, ia mengaku masih bujang, dan disebutkan pula dalam surat keterangan yang digunakan sebagai syarat pernikahan.
Setelah saya hamil, baru mengetahui bahwa G sudah punya istri dan anak. Bahkan istrinya pernah datang ke rumah kontrakan kami, dan memaki-maki saya dan G. Akhirnya G pulang ke rumah istri pertamanya itu dan saya ditelantarkan. 
Saya pernah mendatangi kantor G, awalnya saya bisa ketemu, dan ia memberi uang untuk keperluan anak kami. Namun hanya beberapa bulan, dan setelah itu ia sengaja menghindar.
Meskipun hati saya sakit, tetapi saya tidak mau mengejar dia. Setelah lama tidak dengar kabarnya, tiba-tiba ia datang ke tempat saya dan bersikap baik kepada saya dan anak saya. Karena itu, hati saya menjadi lunak dan ia saya biarkan tinggal bersama dengan kami. 
Sekitar tiga bulan yang lalu, ia pamit pergi ke rumah saudaranya. Ternyata ia bohong, karena sesungguhnya ia kembali ke rumah istri pertamanya. Apakah saya bisa meminta pertanggungjawabannya tentang nafkah untuk anak saya, termasuk yang sekarang ini masih dalam kandungan. (Lita) 

Jawab:
Ibu Lita, sebelum ibu memutuskan untuk menerima G sebagai suami, perlu mengetahui asal-usul dan kepribadiannya.
Namun karena Bu Lita selalu berprasangka baik, maka sampai beberapa kali G berbohong, ibu masih tetap berharap ia akan berubah menjadi baik.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur, maka yang perlu dilakukan sekarang adalah memikirkan masa depan anak-anak. Tampaknya G telah memilih untuk hidup bersama istri pertamanya. Maka Bu Lita perlu mengambil sikap yang tegas, agar tidak terjebak lagi dalam permainan G yang ujungnya hanya menambah beban Bu Lita.
Sebagai suami, G mempunyai kewajiban antara lain memberi nafkah, biaya rumah tangga, biaya perawatan kesehatan bagi istri dan anak (termasuk yang masih dalam kandungan) serta biaya pendidikan anak-anak.
Kalau selama meninggalkan Bu Lita, G tidak memberikan nafkah, maka ibu bisa mengingatkan agar kewajiban itu dipenuhi. Apabila ia tidak melaksanakannya, maka ibu bisa melaporkannya kepada pimpinan instansi tempat G bekerja.
Atau mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, jika jalan yang sudah ditempuh itu tidak berhasil. Jangan lupa memohon pertolongan Allah agar diberi petunjuk dan kekuatan dalam menyelesaikan masalah rumah tangga yang ibu hadapi. (24) (Suara Merdeka 2 November 2011 h. 7)

Rabu, 26 Oktober 2011

Pilih Pembantu Jujur atau Pintar*

Tanya:
Saya seorang karyawati kantor swasta. Suami berwiraswasta dan kerjanya banyak di luar kota. Kami punya dua anak, yang besar sudah kelas empat di sekolah dasar dan yang kecil masih TK.
Kami sekarang ini repot, karena tidak ada yang mengasuh anak-anak. Sebelumnya ada bibi, yang masih ada ikatan saudara dengan suami. Ia membantu mengasuh anak-anak sejak mereka kecil. Tetapi empat bulan yang lalu, ia pulang kampung dan menikah. Selama ditinggal bibi, saya menitipkan anak-anak ke tetangga terdekat. Tetapi saya merasa tidak enak,karena merepotkan mereka. Maka anak-anak kemudian saya titipkan di tempat penitipan anak, yang dekat dengan kantor saya. Pada waktu istirahat siang, saya bisa menengok mereka. Beberapa waktu yang lalu, saya pesan kenalan yang bisa mencarikan pembantu, dan kemarin ia punya pandangan dua orang yang mau kerja, dan saya disuruh memilih. F anaknya jujur, tetapi sekolahnya SD tidak tamat, sehingga tidak bisa kalau disuruh mengajari anak saya yang SD. Sementara K, sekolahnya sampai SMP, ia mungkin bisa mendampingi belajar anak saya, tetapi anaknya kurang jujur.
Sebaiknya saya milih F atau K, karena saya ingin anak-anak menjadi pandai dan jujur? (Rina)

Jawab:
Semua orang tua, tentu punya keinginan agar anak-anaknya pandai dan berbudi luhur, di antaranya mempunyai kejujuran. Keinginan itu perlu disertai usaha, maka orang tua punya kewajiban untuk mendidik anak-anaknya sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya: Muliakanlah anak anakmu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik (Hadits, riwayat Ibnu Majah).
Untuk memperoleh anak yang jujur, maka orang tua perlu memberikan contoh dan membiasakan anak melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Keteladanan dari orang-orang di sekitarnya akan memudahkan anak untuk menirunya. Maka bu Rina perlu membina keluarga, termasuk pembantunya ikut mendukung usaha penanaman nilai-nilai kejujuran itu melalui kebiasaan yang terus-menerus. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua, maka ibu beserta suami perlu mengupayakan terciptanya situasi dan kondisi yang memungkinkan tumbuhnya kepribadian anak yang cerdas dan jujur. Tugas ini tidak bisa dilimpahkan pada pembantu. Maka sesibuk apa pun, Bu Rina dan suami perlu meluangkan waktu untuk mendidik anak, agar tidak kehilangan kesempatan untuk mengukir kepribadian anak yang ibu harapkan.
Tidak dapat dimungkiri, bahwa pembantu ikut memengaruhi proses penanaman nilai-nilai luhur ke dalam diri anak. Apalagi pembantu yang dalam kesehariannya berada lebih lama di samping anak, dimungkinkan punya pengaruh yang lebih besar pada anak. Oleh karena itu, lebih baik bu Rina memilih pembantu seperti F yang dikatakan jujur oleh teman ibu. Kalau untuk meningkatkan pengetahuan anak, di samping ibu bisa melakukannya, maka bisa pula mendatangkan guru les. Jangan lupa, mohon petunjuk dan pertolongan Allah agar anak-anak tumbuh menjadi saleh dan cerdas. (24) (Suara Merdeka 26 Oktober 2011 h. 7)

Rabu, 19 Oktober 2011

Suami Mengancamku*

Tanya:
Saya seorang karyawati, memiliki dua orang anak yang masih duduk di sekolah dasar. Suami saya dulu bekerja di sebuah kantor swasta, tetapi sudah dua tahun menganggur karena terkena PHK. Setelah tidak bekerja, ia suka keluar malam bahkan pulang pagi atau siang. Dia tidak memberi tahu ke mana perginya, dan kalau saya tanya, ia marah, sehingga saya menjadi bosan untuk bertanya.
Sekarang ini, suami saya jarang pulang dan kalau pulang, ia hanya meminta uang pada saya. Ketika saya tanya untuk apa, terkadang ia diam, tetapi sering pula marah-marah.
Saya merasa tertekan dengan kondisi rumah tangga yang seperti ini, dan saya ingin bercerai. Saat saya kemukakan rencana tersebut, suami mengancam akan menyakiti atau membunuh saya kalau berani meminta cerai. Apakah saya harus diam saja atau tetap mengajukan gugatan cerai? (Ratih)

Jawab:
Ibu Ratih, sebagian besar orang yang terkena PHK mengalami perubahan perilaku. Termasuk suami ibu yang semula penuh perhatian kepada keluarga, menjadi tidak peduli dengan istri dan anak, bahkan telah melontarkan ancaman kepada bu Ratih.
Ibu selama ini sudah cukup sabar dan berusaha untuk mengatasi sendiri persoalan yang timbul dalam keluarga. Namun,ternyata sikap suami tidak berubah ke arah yang baik, bahkan semakin meresahkan.
Situasi ini tidak dapat didiamkan, maka Bu Ratih perlu bersikap tegas. Kalau suami masih bisa diajak bicara dari hati ke hati untuk memperbaiki dirinya, maka ibu bisa membantu suami bangkit dari keterpurukan akibat PHK.
Bantulah ia menemukan jati dirinya, antara lain dengan membangun kepercayaan diri melalui usaha yang mendatangkan keuntungan materi ataupun mengangkat harkatnya sebagai seorang kepala rumah tangga. Kalau upaya itu tidak menghasilkan perubahan pada perilaku suami, maka ibu dapat melaporkan suami ke pihak yang berwajib, karena telah melakukan kekerasan psikis yang menimbulkan ketakutan bagi Bu Ratih.
Menurut UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), ibu berhak mendapatkan perlindungan dari pihak yang berwajib atau lembaga sosial, agar terhindar dari tekanan psikis serta dampak lainnya akibat dari kekerasan yang dilakukan suami.
Apabila Ibu sudah mantap untuk berpisah dari suami, ibu bisa mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Jangan lupa, mohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah, agar dimudahkan jalan bagi ibu dan anak-anak memperoleh kedamaian dan kebahagiaan dalam keluarga. (24) (Suara Merdeka 19 Oktober 2011 h. 7)

Rabu, 12 Oktober 2011

Istri Minta Cerai*

Tanya:
Saya seorang PNS, mempunyai dua anak yang sudah besar. Rumah tangga kami semula diliputi ketenangan dan anak-anak tumbuh dalam suasana rumah yang damai. Karena anak-anak sudah besar, dan banyak waktu luang, istri saya yang hanya tamatan sekolah dasar kemudian saya dorong ikut kejar paket C. Setelah lulus dari program paket C, ia ingin bekerja dan saya perbolehkan.
Selama bekerja itu, rupanya ia punya kenalan laki-laki yang kemudian menjadi PIL-nya (pria idaman lain). Sewaktu berangkat dari rumah, istri saya pamit bekerja, tetapi ternyata ia tinggal serumah dengan laki-laki tersebut. Ada rumah kontrakan yang digunakan mereka hidup bersama, dan sore harinya istri saya tetap pulang ke rumah. Saya menyaksikan sendiri, pergaulan mereka yang layaknya suami istri.
Sewaktu ketahuan, maka sebagai suami, saya telah mengingatkan dia bahwa perbuatan itu dosa. Tetapi ia tidak menyesal, bahkan ia minta cerai.
Saya ingin mempertahankan rumah tangga, mengingat masa depan anak-anak dan kedudukan saya di masyarakat termasuk menjadi panutan.
Tetapi usaha saya untuk memperbaiki perilaku istri sepertinya sia-sia. Nasihat dari beberapa pihak tidak ada yang didengarnya, dan ia tetap pada pendiriannya untuk bercerai. (Rudy)

Jawab:
Pak Rudy, rumah tangga yang bahagia ditopang oleh beberapa hal, antara lain kesepakatan suami istri untuk saling mendukung dalam mengupayakan terciptanya ketenangan dan kasih sayang dalam keluarga. Maka, masing-masing pihak harus menjalankan kewajibannya dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa merusak kebahagiaan keluarga. Kebohongan merupakan salah satu hal yang merusak sendi-sendi rumah tangga. Apalagi, kalau terkait dengan kesetiaan yang menjadi pilar tegaknya rumah tangga.
Sebagai suami yang telah hidup bersama istri sekian lama, pak Rudy tentu sudah tahu sifat-sifat istri. Pak Rudy juga telah mendorong istri untuk belajar dan mengizinkan istri untuk bekerja. Hal ini tidak lepas dari adanya kepercayaan kepada istri bahwa ia akan bisa menjaga diri dari perbuatan yang menyimpang dari norma agama maupun masyarakat. Namun ternyata istri tidak dapat menjaga amanah itu, bahkan sudah tidak mengindahkan nasihat suami ataupun orang lain. Kalau Pak Rudy masih menginginkan rumah tangga utuh, maka perlu bicara dari hati ke hati dengan istri, antara lain mengenai akibat perceraian bagi anak dan masa depannya, serta kesediaan istri untuk bertaubat dan memutuskan hubungan dengan PIL.
Untuk memberi pelajaran bagi pasangan selingkuh itu, Pak Rudy bisa melaporkan kasusnya ke pihak yang berwajib. Atau Pengadilan Agama, kalau Pak Rudy memilih bercerai. Karena anak anak sudah besar, Pak Rudy bisa membicarakan dengan mereka agar siap mental dan mengetahui problem rumah tangga yang menyebabkan perceraian. Dengan demikian,diharapkan mereka kelak tidak akan melakukan hal-hal yang menyebabkan kebahagiaan rumah tangga terputus di tengah jalan.
Jangan lupa mohon petunjuk Allah, dan dimudahkan jalan yang terbaik bagi Pak Rudy beserta anak-anak untuk mendapatkan kebahagiaan berkeluarga. (24) (Suara Merdeka 12 Oktober 2011 h. 7)

Rabu, 05 Oktober 2011

Calon Suami Lebih Muda*

Tanya:
Saya karyawati sebuah perusahaan di kota M. Saya anak pertama dari lima bersaudara. Adik saya semua sudah menikah. Sebelum bekerja di perusahaan ini, saya pernah kerja di kota P, dan hampir menikah dengan teman sekantor.
Tetapi ada masalah yang terkait dengan sikap calon mertua yang tidak menyetujui hubungan kami. Akhirnya kami berpisah dan untuk menghilangkan kenangan yang pahit itu, saya pindah kerja di kota M. Di kota ini, saya punya sahabat R yang punya adik laki-laki bernama G. Selain bersahabat dengan kakaknya, saya juga bersahabat dengan G. Ia banyak membantu saya, dan kami sering bertukar pikiran mengenai berbagai hal.
Banyak kecocokan di antara kami, dan ia pernah mengatakan kalau merasa tenang dan bahagia apabila bertemu saya.
Semula saya menganggapnya sebagai gurauan saja. Ternyata beberapa bulan yang lalu, ia menyatakan keinginannya untuk menikah denganku. Sampai sekarang saya belum memberikan jawaban, dan ia selalu menanyakannya.
Di antara hal yang perlu saya pertimbangkan adalah usianya lebih muda empat tahun dari saya. Hal itu pernah saya kemukakan, tetapi ia tidak mempersoalkan. Apakah pernikahan bisa bahagia, kalau umur istri lebih tua dari suami? (Tuty)

Jawab:
Ananda Tuty, kebahagiaan berkeluarga didukung banyak hal. Antara lain adanya rasa saling menyayangi, dan bisa menerima pasangannya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tampaknya Tuty merasakan adanya kecocokan dengan G, begitu sebaliknya.
Kedewasaan seseorang ikut menentukan keharmonisan hubungan suami dan istri. Di antara ciri kedewasaan itu adalah mau menerima kekurangan orang lain, di samping kelebihannya.
Hal ini dimiliki oleh G, yang dari segi umur lebih muda dari Tuty, namun cukup dewasa dalam berpikir dan berperilaku. Dengan demikian, ia punya kemampuan untuk bekerja sama dan saling pengertian dalam mengatasi persoalan rumah tangga.
Tuty sudah berterus terang kepada G tentang perbedaan usia, dan tidak menjadi hambatan baginya untuk tetap melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan.
Maka Tuty tidak perlu ragu untuk memberikan jawaban, kalau memang Tuty juga menyayangi G. Banyak pasangan yang berbeda usia dapat membina kebahagiaan keluarga, dan tidak sedikit pasangan yang istrinya lebih tua tetap harmonis sampai beranak cucu.
Kiranya Tuty telah mengetahui kelebihan dan kekurangan G, karena telah mengenal cukup lama. Semua itu perlu dijadikan bahan pertimbangan untuk membuat keputusan yang terbaik.
Mengingat G sudah cukup sabar dalam menunggu jawaban, sebaiknya Tuty segera memberikan jawaban agar dapat direncanakan langkah selanjutnya. Jangan lupa mohon petunjuk Allah dan jalan yang mudah menuju pernikahan yang membawa kebahagiaan di dunia sampai akhirat. (24) (Suara Merdeka 5 Oktober 2011 h. 7)

Rabu, 28 September 2011

Kemenakan yang Nakal*

TANYA:

Saya seorang ibu rumah tangga, punya dua anak yang masih balita. Sebelum punya anak, saya dititipi anak oleh K, adik dari suami. Istri K merantau keluar daerah untuk mencari pekerjaan, karena suaminya kena PHK dan tidak dapat pekerjaan dalam waktu yang cukup lama.

Setelah ditinggal istrinya selang lima bulan, K pergi dari rumah dengan niat mau cari pekerjaan. Sebelum  pergi, ia menitipkan anaknya, B, kepada kami, dan berjanji akan menjemputnya bila sudah dapat pekerjaan. Namun sudah dua tahun lebih, K tidak memberi kabar tentang keberadaannya.

Kami semua menerima B seperti anak sendiri, meskipun ia sering membuat keributan di rumah. Anak anak kami takut terhadap B, karena ia sering marah dan melemparkan mainan atau barang yang ada di dekatnya. Saya kasihan dengan anak-anak saya yang tidak tenang di rumah, dan tidak bebas bermain karena takut dimarahi B. Apakah saya harus bicara dengan suami tentang hal ini, dan bagaimana kalau B kami titipkan  kepada keluarga istri K yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari tempat kami. (Ny Anik)

Jawab:

Ibu Anik, kemenakan suami yang dititipkan kepada ibu sudah dianggap seperti anak sendiri. Maka ibu tidak perlu segan untuk mendidiknya seperti meluruskan ucapan atau perilakunya yang kurang baik. Kemenakan yang nakal itu, bisa jadi karena masa kecilnya tidak mendapat kasih sayang atau perhatian dari ibu dan ayahnya.

Ibu dan ayahnya sudah meninggalkannya, dan anak berada dalam asuhan Bu Anik. Meskipun ibu dan suami sudah menganggap sebagai anak sendiri, tetapi anak yang sudah tahu berada dalam lingkungan bukan orang tuanya, manakala ia mengalami kekecewaan karena sesuatu hal, dampaknya lebih berat. Ia akan merasa terasing atau tidak dipedulikan, karena bukan anak kandung. Untuk melampiaskan kekecewaan itu, di antaranya ia suka marah dan melemparkan benda-benda yang ada di dekatnya.

Situasi demikian ini, tidak baik bagi perkembangan B maupun anak-anak ibu. Karena itu, sebaiknya Bu Anik segera membicarakannya dengan suami. Apabila ibu dan suami sepakat untuk tetap membesarkan B, perlu dicari jalan untuk mengatasi kegundahan B. Misalnya dengan menciptakan kebersamaan antar anak-anak, ibu dan suami. Ajaklah mereka jalan-jalan atau makan bersama, dan perlakukan B sama dengan anak-anak ibu, agar ia merasa diperhatikan dan mendapat ketenangan.

Apabila Ibu dan suami sepakat untuk menyerahkan B kepada keluarga istri K, bicarakan rencana itu dengan mereka agar dicapai kesepakatan dan kerja sama untuk membesarkan anak itu beserta dana yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhannya. Jangan lupa, B juga diajak bicara, agar ia tidak merasa dibuang atau disingkirkan. Karena rumah Ibu berdekatan dengan keluarga istri K, maka Bu Anik dan suami serta anak-anak bisa mengunjungi B atau sebaliknya ia bisa berkunjung ke rumah Ibu, kapan ia mau.
Semoga dengan demikian, B akan merasakan kehangatan, karena berada di dalam limgkungan yang menyayangi dan mempedulikannya. Jangan lupa, mohonkan bimbingan Allah, agar B tumbuh menjadi anak yang saleh dan bermanfaat. (24) (Suara Merdeka 28 September 2011 h. 7)

Rabu, 21 September 2011

Lelah Berbantah dengan Istri*

Tanya: Saya  ibu rumah tangga, mempunyai  lima anak dan seorang menantu bernama  G. Ia istri dari anak saya yang  ketiga.  Dari pernikahan G dan anak saya  R, telah dikaruniai dua orang anak. Sejak kelahiran anak kedua, hubungan anak saya dengan G kelihatan tidak harmonis.
Mereka sering bertengkar,dan anak saya pernah mengeluh kalau sekarang memilih diam daripada berbantah dengan istri. Bukan berarti ia menerima situasi itu, namun karena ia  lelah, setiap ia mau menjelaskan persoalan yang menjadi sebab pertengkaran, istrinya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk bicara. Istri lebih banyak bicara dan menyalahkan suami.
Sebagai orang tua, saya prihatin melihat rumah tangga anak saya, tetapi mau ikut bicara, khawatir dapat memperkeruh suasana, karena menantu saya akan marah pada suaminya kalau ada orang lain yang tahu persoalan  rumah tangganya. Bagaimana cara menyadarkan menantu saya tentang sifatnya yang kurang menghargai suami dan mengembalikan perhatian anak saya kepada istrinya, karena sekarang bersikap acuh, bahkan berniat akan menceraikannya. (Ny Utari)

Jawab: Ibu Utari, beda pendapat suami dan istri adalah hal yang wajar, karena dua orang yang berlainan  sifat, latar belakang budaya ataupun keluarga menyebabkan terjadinya perbedaan dalam memandang atau menyikapi suatu persoalan. Karena dalam rumah tangga ada tujuan yang akan dicapai oleh suami isteri, maka masing masing perlu menyelaraskan dengan tujuan bersama yang telah disepakati.
Menurut ajaran Islam, suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, selama ia dapat menjadi pelindung bagi istri dan anak-anaknya dan membimbing ke arah jalan yang benar, maka istri dan anak-anak perlu mematuhinya.
Tujuan berumah tangga adalah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, maka seluruh anggota keluarga perlu saling menolong atau mengingatkan satu sama lain agar tidak menyimpang dari tujuan. Andaikata ada perbedaan pendapat, maka perlu dicari jalan keluarnya, dengan musyawarah dan cara yang santun.
Selama ini, putra ibu berdiam diri tetapi memendam kekecewaan atas sikap istrinya yang cenderung tidak mau mendengar perkataan suami. Kondisi ini sebaiknya jangan dibiarkan berlarut-larut, apalagi putra ibu sudah punya niat akan menceraikan istrinya. Artinya, ia sudah tidak mau mencari jalan keluar atas kemelut rumah tangganya selain perceraian.
Dalam situasi ini, Ibu harus ambil peran untuk menyelamatkan pernikahan mereka. Ajaklah anak maupun menantu bicara tentang situasi rumah tangga dan masa depan anak anak. Sadarkan mereka akan perlunya  keterbukaan, saling menghargai dan kerja sama untuk menyelesaikan masalah keluarga. Suami, istri, ataupun anak- anak, tentu menginginkan rumah yang dapat memberikan ketenangan dan kegembiraan bagi seluruh anggota keluarga. Kebahagiaan rumah tangga anak juga kebahagiaan bagi orang tua, sebaliknya putusnya perkawinan mereka akan membawa pula kesedihan bagi orang tua. Oleh karena itu, anak dan menantu diharapkan dapat mengendalikan diri dan berusaha memperbaiki tali pernikahan yang terancam putus. Jangan lupa mohonkan pertolongan Allah agar mereka diberi petunjuk dan jalan keluar yang membawa pada kebahagiaan keluarga. (24)  (Suara Merdeka 21 September 2011 h. 7)

Rabu, 14 September 2011

Suami Diamkan Ibu Tiri*

Tanya:

Sejak dua bulan lalu, suami saya tidak bertegur sapa dengan ibu tirinya. Saya tidak tahu sebabnya. Ibu tiri tinggal bersebelahan rumah dengan kami, namun kami tidak mesti ketemu. Hari Raya kemarin, saya baru tahu mereka saling berdiam diri, bahkan suami menolak untuk saya ajak sungkeman kepada ibu. Bapak mertua sudah meninggal.
Saya menanyakan sebab suami bersikap demikian. Ternyata suami juga merasa didiamkan oleh ibu mertua. Dan ia juga merasa tidak bersalah, karena jarang bertemu. Bagaimana mungkin berbuat kesalahan, kalau bertemu saja jarang.

Tahun lalu, menjelang Ramadan, saya dan suami mengunjungi ibu mertua untuk mengantarkan makanan atau keperluan lebaran. Tetapi puasa kemarin, hanya saya yang mengunjunginya. Dan waktu itu, ibu menyampaikan kepada saya bahwa ia merasakan ada kebencian dalam diri suami saya. Bagaimana sebaiknya mendamaikan suami dengan ibu tiriya? (Nina)

Jawab:
Ibu Nina, meskipun ibu tiri, namun banyak di antara mereka yang  menginginkan anak-anak suaminya menaruh hormat dan menyayanginya. Banyak ibu tiri yang menganggap anak tiri sebagai anak kandungnya, apalagi kalau suaminya sudah meninggal. Karena merasa diberi tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anak itu. Banyak ibu tiri yang secara tulus ikhlas mendampingi anak-anak tirinya sampai besar dan mandiri.

Kebaikan ibu tiri banyak yang sering tertutup oleh citra buruk yang disebarkan melalui ceritera atau kisah-kisah yang mengekspos sisi buruknya. Hal ini bisa berpengaruh pada munculnya sikap antipati terhadap sosok ibu tiri. Padahal semua manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan, termasuk ibu kandung ataupun ibu tiri. Kalau selama hidup berdampingan rumah, ada hal-hal yang membuat suami tersinggung, itu sesuatu yang manusiawi. Tetapi perlu dilihat pula bagaimana ibu tiri selama ini sudah memberikan perhatian kepada suami ibu dan saudara-saudaranya. Kalau sampai sekarang ibu tiri masih tinggal bersebelahan dengan Ibu Nina dan suami, itu menunjukkan kesediaannya untuk tetap bersama dalam suka maupun duka.

Cobalah ibu ajak suami mengingat kembali kebaikan-kebaikan ibu tiri, dan timbulkan kesadarannya tentang perlunya anak menghormati dan berbakti kepada orang yang telah membesarkannya, siapa pun itu orangnya. Ajaklah bersilaturahmi ke rumah ibu tiri, dan jagalah tali kekeluargaan. Keluarga itu akan menjadi lebih tenang, kalau ada sesepuh (orang tua) yang mau mendampinginya. Kepadanya, anak bisa mengadu dan minta nasihat dan serta doa untuk memudahkan jalannya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jangan lupa mohon kepada Allah  agar diberikan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan berkeluarga. (24) (Suara Merdeka 14 September 2011 h. 7)

Rabu, 07 September 2011

Belum Bisa Memaafkan Menantu*

Tanya: Saya ibu rumah tangga, mempunyai lima anak, yang semuanya sudah berumah tangga. Sejak kecil, kami mendidik anak-anak untuk saling menyayangi dan tolong menolong. Sampai dewasa, kedekatan mereka satu sama lain masih terpelihara. Tetapi dua tahun terakhir ini, hubungan antaranak-anak menjadi jauh, bahkan  cenderung  memusuhi anak saya yang paling  besar, H. Semua itu, karena ulah menantu saya, L (istri H) yang suka menyulut pertengkaran.

Berawal dari pembagian harta peninggalan orang tua, yang kami berikan kepada masing masing  anak. Semua menerima dengan senang, kecuali H. Istrinya menilai pembagian itu tidak adil, karena H sebagai anak pertama justru mendapat lokasi yang belakang. Akibat dari ulah istrinya itu, maka H mempersoalkan tentang pembagian warisan itu.
Menghadapi masalah itu, anak-anak yang lain memperlihatkan sikap yang sama, dengan menerima pembagian itu apa adanya tanpa mempersoalkan perbedaan letak atau luasnya. Mereka menyayangkan sikap L yang tidak bisa mensyukuri pemberian itu, dan mengadu domba H dengan saudara-saudaranya.
Meski pada Lebaran ini H dan istriya sudah minta maaf, tetapi saya belum bisa memaafkan menantu saya itu. Karena ulah dia, anak-anak jadi tidak rukun. Apakah  sikap saya itu  salah, karena sampai sekarang L tetap meminta pembagian  untuk H sesuai yang dikehendaki. (Ny Susi)

Jawab: Ibu Susi, pada Hari Raya (Idul) Fitri semua orang ingin bersih dari dosa terhadap Allah dan sesama manusia. Dosa terhadap Allah akan diampuni manakala orang mukmin menjalankan puasa Ramadan dengan ikhlas, semata-mata mengikuti perintah Allah. Namun kesalahan dengan sesama manusia, akan diampuni oleh  Allah apabila sudah meminta maaf kepada sesamanya.
Ada persoalan dalam keluarga ibu, yang disebabkan oleh ulah L yang memprovokasi H agar menolak pembagian warisan dan meminta ganti sesuai yang diinginkan. Sebagai orang tua, ibu tentu mengenal sifat  masing-masing anak. Cobalah ibu ajak bicara anak-anak itu, tanpa melibatkan para menantu. Karena warisan itu diberikan untuk anak-anak ibu, maka lebih dulu mintalah pendapat mereka untuk memecahkan persoalan keluarga  ini. Siapa tahu setelah bertemu dan bicara dari hati ke hati, ada yang merelakan haknya untuk ditukar lokasinya dengan bagian H yang punya keinginan untuk mendapatkan lokasi tertentu.

Sebagai orang tua, ibu bisa meminta kesadaran mereka untuk menerima pemberian kakek/nenek itu dan mensyukurinya sebagai  suatu anugerah yang harus dijaga pemanfaatannya, salah satunya untuk mempererat tali kekeluargaan. Mereka yang meninggalkan harta itu, ingin agar anak cucu dapat berbahagia dan saling membantu.
Pembagian itu, tentu secara matematik tidak bisa sama persis. Maka diperlukan sikap menerima apa adanya, kalau ada perbedaan sedikit, itu suatu yang wajar, dan semua akan kembali untuk mereka bersaudara. Nilai persaudaraan lebih penting daripada harta. Setip orang selalu membutuhkan bantuan orang lain, dan itu akan diperoleh dari orang-orang  terdekat, seperti saudara ataupun tetangga.

Meskipun masih ada rasa kurang suka, tetapi ibu perlu memaafkan menantu dan putra ibu. Setiap orang  pernah khilaf, siapa tahu setelah ibu bicara dari hati ke hati, mereka akan terbuka, dan kemelut dalam keluarga  akan berakhir karena kesabaran  dan  kelapangan  ibu  dalam memaafkan kesalahan anak ataupun menantu. Semoga Idul Fitri ini membawa keluarga ibu semakin rukun dan bertambah kokoh tali persaudaraannya. (24) (Suara Merdeka 7 September 2011 h.7)

Rabu, 24 Agustus 2011

Marah pada Saat Puasa*

Tanya: Saya  ibu rumah tangga, mempunyai lima anak. Suami bekerja di perusahaan  swasta, namun sebulan yang lalu kena PHK. Sejak kehilangan pekerjaannya itu, suami sering marah-marah pada anak-anak.
Memang di antara anak kami ada yang keras kepala dan sering membantah bila disuruh mengerjakan sesuatu. Pada bulan Ramadan ini, suami lebih sabar mengadapi  anak, tetapi  terkadang masih marah kalau perintahnya tidak dilaksanakan. Kalau saya ingatkan bahwa orang puasa dilarang marah, maka ia  mengatakan bahwa marah pada anaknya yang nakal kan boleh. Karena tujuannya untuk memberi pelajaran, agar anak tidak melakukan  hal yang  tidak baik. Apakah sikap suami saya itu tidak membatalkan puasanya, dan bagaimana sebaiknya menyikapi anak yang bandel tanpa harus marah. (Ny. Rina)

Jawab: Di antara hikmah puasa adalah membuat orang lebih sabar dalam menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan. Karena hakikat puasa adalah pengendalian diri untuk tidak menuruti hawa nafsu, termasuk nafsu amarah.  
Anak yang bandel perlu dihadapi dengan sabar, sambil melihat sebab-sebab yang membuat anak tidak mau melaksakan perintah orang tuanya. Pada umumnya, orang tua yang menginginkan anaknya mematuhi orang  tuanya, lupa bahwa anak juga punya alasan mengapa ia tidak melaksanakan perintah itu. Mungkin ia sedang  mengerjakan tugas sekolah, atau ada masalah yang menyebabkan ia tidak melaksanakan perintah orang tuanya. Apabila orang tua ingin anaknya menjadi orang yang sabar, maka Ibu Rina dan suami perlu memberi contoh dengan membantu anak memecahkan persoalan yang membuat ia kesal dan menolak untuk mematuhi orang tuanya. Mungkin anak tidak suka diperintah dengan suara yang keras atau dengan kata-kata/panggilan yang tidak disukainya. Maka orang tua perlu mengetahui sifat masing masing anaknya agar lebih mudah dalam berkomunikasi sesuai sifat dan karakter masing masing. Orang puasa yang marah, menunjukkan bahwa pengendalian dirinya masih lemah. Selama marah itu tidak menimbulkan kerusakan, seperti melukai atau sejenisnya, maka yang berkurang adalah pahala puasanya. Dan pengendalian diri itu perlu dilatih terus, hingga menjadi sifat sabar. Maka perintah untuk mengendalikan diri itu tidak berlaku hanya selama puasa/siang hari, tetapi juga berlaku di luar bulan Ramadan. Semoga dengan puasa, suami ibu dapat melatih kesabarannya.
Mungkin ia sering marah karena bingung memikirkan pekerjaannya yang hilang. Maka Ibu perlu memberikan dukungan moral agar suami bisa lebih sabar menerima keadaan itu, dan semakin sabar menghadapi  anak-anak dengan segala kekurangannya.
Rasulullah menyebutkan orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya ketika marah, dialah orang yang kuat, bukan orang yang kuat dalam perkelahian (hadits riwayat Bukhari dan Muslim). (24)
(Suara Merdeka 24 Agustus 2011 h.7)

Rabu, 10 Agustus 2011

Rajin Shalat Hanya di Bulan Ramadan*

Tanya: Saya punya  seorang anak perempuan dan dua cucu. Menantu saya, di luar bulan Ramadan, sering meninggalkan shalat wajib, dengan alasan tidak ada waktu atau sibuk dengan pekerjaannya. Namun pada bulan Ramadan ini, ia rajin shalat tarawih yang diselenggarakan oleh pihak kantor. Memang tidak setiap hari, tetapi ia mesti berangkat bila ada tarawih bersama. Anak saya pernah mengeluh perihal suaminya yang shalatnya hanya menuruti kata hatinya, dan sering meninggalkan shalat di luar Ramadan. Bagaimana caranya mengingatkan menantu agar ia mengerjakan shalat tidak hanya pada bulan Ramadan. Bagaimana pula mendidik cucu saya agar mau shalat, jangan sampai seperti ayahnya. (Ny  Fira)

Jawab: Ibu Fira, kegelisahan terhadap menantu dalam hal menjalankan shalat, menunjukkan bahwa ibu sudah menganggap menantu sebagai anak sendiri. Shalat wajib adalah perintah Allah yang harus dijalankan setiap muslim. Maka Islam memberikan tuntunan tentang waktu shalat yang longgar, cara-cara shalat yang semuanya memudahkan orang untuk melaksanakannya.

Misalnya, dalam waktu shalat, ada jarak yang cukup antara shalat lima kali yang diwajibkan. Karena itu, sesungguhnya tidak ada alasan untuk tidak shalat karena kesibukan kerja. Kalau kantor tempat bekerja menantu, pada bulan Ramadan ini menyelenggarakan tarawih, artinya pimpinan kantor itu memikirkan agar karyawannya bisa melaksanakan shalat yang sunah di bulan suci ini. Kalau yang sunah saja, disediakan waktu dan sarana untuk menjalankan ibadah, apalagi yang wajib, tentu diberikan kesempatan. Maka, kalau menantu sekarang ini belum melaksanakan kewajiban shalatnya, cobalah ibu ajak bicara dari hati ke hati  mengenai  sebab ia meninggalkan shalatnya.

Lingkungan memberikan dorongan untuk rajin shalat. Maka Ibu bisa menciptakan lingkungan tersebut, misalnya dengan shalat berjamaah untuk keluarga, termasuk bagi menantu dan anak cucu. Kesadaran akan kewajiban dan manfaat shalat, perlu juga dikemukakan agar ia menyadari kelalaiannya selama ini. Shalat merupakan jalan agar seorang manusia mengenal dan dekat dengan Tuhannya.

Di saat  itulah, ia bisa menyampaikan permohonan, harapan ataupun kesulitan dalam kehidupan sehari-harinya. Maka shalat yang dilakukan secara benar, akan berdampak pada ketenangan hati dan kekuatan dalam menghadapi masalah dalam kehidupan ini.

Cucu ibu akan mudah mendapatkan contoh, apabila lingkungan rajin shalat. Rasulullah memberikan contoh pendidikan sejak dini, mulai usia tujuh tahun anak dilatih menghafal dan mengerti arti bacaan shalat kemudian membiasakannya, sehingga pada usia sepuluh tahun, diharapkan anak sudah terbiasa melakukannya, dan perlu diingatkan dengan tegas kalau anak melupakan shalatnya. (Hadis riwayat Abu Dawud). (24)
(Suara Merdeka 10 Agustus 2011 h.7)

Rabu, 03 Agustus 2011

Bagaimana Melatih Anak Berpuasa?*


Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, mempunyai  dua anak balita. Tinggal di daerah,yang jauh dari masjid.  Saya dan suami ingin agar anak-anak tumbuh menjadi  saleh dan salihah. Karena itu, meskipun jauh, tetapi  kami sering mengajak anak-anak untuk ikut shalat di masjid. Namun  karena jaraknya yang jauh itu, hanya kadang-kadang kami ajak ke masjid. Pada Ramadan ini, saya ingin melatih anak saya yang besar untuk berpuasa. Bagimana caranya agar anak  bisa ikut berpuasa, meskipun tidak sampai sore. (Ny  Iwan)

Jawab:
Langkah ibu  dan suami memperkenalkan ibadah shalat kepada anak sudah tepat. Bagi anak, contoh dari orang tua  merupakan pelajaran yang paling diingat dan mudah  diikuti. Ayah dan ibu adalah  orang terdekat yang mudah diketahui apa yang dilakukan dan mereka kelak akan  menirunya. Termasuk dalam  melaksanakan ibadah.
Melatih puasa  bagi anak-anak memang perlu disesuaikan dengan usia dan kemampuan mereka. Bagi dunia anak, bermain adalah masa yang menyenangkan. Maka  sewaktu puasa, berikan hak mereka untuk bermain, hal ini sekaligus mengajarkan kepada anak bahwa puasa tidak harus mengurung diri di rumah atau  meninggalkan pekerjaan yang seharusnya dilakukan.
Pada masa Rasulullah, ada seorang ibu  yang  punya anak masih kecil-kecil. Agar anak-anak itu lupa pada rasa lapar yang dirasakan ketika berpuasa, maka diajaklah anak-anak bermain. Kalau ada anak yang menangis karena lapar, maka akan diberikan mainan dan di antara mereka sesuai dengan umurnya ada yang bisa menahan lapar tanpa terasa sampai sore hari (hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim).
Ibu Iwan bersama suami bisa melatih anak berpuasa sebagaimana kisah sahabat Nabi tersebut. Semoga Allah menunjukkan jalan bagi ibu dan suami untuk mendidik mereka, hingga  kelak mereka menjadi saleh/salihah. (24)
(Suara Merdeka 3 Agustus 2011 h.7)

Rabu, 27 Juli 2011

Aku Belum Punya Anak*

Tanya:

Saya seorang karyawati, sedangkan suami berwiraswasta. Kami sudah menikah selama empat tahun, tapi sampai sekarang belum dikaruniai  anak. Kami sudah periksa ke dokter, tetapi  sampai sekarang belum ada hasilnya. Saya khawatir suami saya akan menikah lagi, karena kakaknya yang istrinya juga belum dikaruniai anak, kemudian atas dorongan keluarga, beristri lagi. Saya tidak mau hal itu terjadi pada saya. Kekhawatiran itu juga berdasar cerita teman suami yang mempunyai problem sama, akhirnya juga menerima tawaran  untuk menikah lagi dengan perempuan yang dipandang oleh keluarganya subur dan bisa memberikan keturunan.

Saya pernah menyinggung kerisauan itu pada suami. Dan kami sepakat untuk menghadapi semua itu bersama-sama dan suami menyuruh saya untuk bersabar menunggu hasil usaha dan doa kami dikabulkan oleh Allah. Apakah yang bisa saya lakukan untuk mengurangi kegelisahan itu. (Ny Ida)

Jawab:

Ibu Ida, usaha bersama suami untuk periksa ke dokter sudah tepat, dan perlu kesabaran untuk menunggu hasil dari usaha tersebut. Agar semangat dalam berusaha  tidak dihinggapi putus asa, maka perlu disertai doa. Karena doa  akan menjadi peneguh untuk tetap tegar dan pantang menyerah, karena percaya bahwa Allah Mahakuasa untuk mengabulkan permohonan hamba-Nya. Kalau selama ini ibu belum melakukan shalat tahajud, cobalah untuk melaksanakannya. Dengan shalat tahajud, hati menjadi tenang dan memperoleh kekuatan batin dalam menghadapi segala kesulitan ataupun kegelisahan.

Rasulullah pernah bersabda, shalat tahajud dapat menghapus dosa, mendatangkan ketenangan, dan menghindarkan diri dari penyakit (hadits riwayat Imam Tirmidzi). Dan penelitian ilmiah yang dilakukan Prof. Sholeh membuktikan bahwa shalat tahajud dapat meningkatkan ketahanan tubuh dan ketenangan jiwa. Karena itu, ibu Ida dan suami  apabila dapat melaksanakan shalat tahajud, akan memperoleh kedekatan dengan Allah. Ketenangan hati bisa berpengaruh pada  kesehatan jasmani dan rohani yang dapat mendukung terwujudnya keinginan untuk memperoleh keturunan.

Ibu bisa mengajak suami untuk shalat tahajud. Rasulullah memuji suami dan istri yang mau membangunkan pasangannya untuk melaksanakan shalat tahajud di malam hari. Semoga ibu bersama suami diberi kemudahan oleh Allah untuk memperoleh keturunan yang saleh. (24)

(Suara Merdeka 27 Juli 2011 h. 7)

Rabu, 20 Juli 2011

Memilih Karier atau Menikah*


Tanya: Saya seorang  karyawati di kantor swasta. Bekerja sejak lulus SMA sampai sekarang, dan sudah mendapat posisi, yang menurutku, sudah cukup bagus.  Untuk mempertahankan kepercayaan pimpinan, saya  perlu meningkatkan pengetahuan saya  melalui  sekolah lagi pada hari libur. Nyaris waktu saya tersita untuk pekerjaan dan karier, dan tidak sempat kumpul-kumpul dengan saudara, apalagi dengan sesama teman sebaya.
Rata-rata teman saya sudah berumah tangga dan punya anak. Ibu dan saudara saudara saya juga sering mengingatkan perlunya segera menikah, karena usia  saya yang semakin bertambah. Di antara kenalan saya, memang ada P yang  pernah simpati pada saya, tetapi belum  pernah menyatakan cinta kepadaku, karena ia juga bekerja dan tinggal di kota yang jauh dari tempat tinggal saya. Kami jarang ketemu, sehingga tidak ada kesempatan untuk bergaul lebih dekat. Sekarang  ini saya dihadapkan pada pilihan yang sulit, karena karier telah menyita perhatian dan waktu saya. Sementara itu, desakan dari keluarga agar saya segera menikah juga semakin gencar. Mana yang harus saya dahulukan, karier atau berumah tangga. (Rina)

Jawab: Ananda Rina, bersyukurlah kepada Allah yang telah memberikan banyak karunia dalam kehidupan ini. Di samping pekerjaan yang ditekuni memberikan kepuasan, Rina juga mempunyai keluarga yang menyayangi dan memperhatikan Rina.  Sebagai orang tua, ibu Rina tentu akan berbahagia kalau anak-anaknya sukses dalam karier dan berbahagia dalam rumah tangganya. Mengingat usia, memang sudah waktunya Rina memikirkan tentang pernikahan. Semua manusia membutuhkan orang lain untuk berbagi rasa, saling menyayangi dan saling memberi semangat di kala hati dilanda resah dan yang paling penting adalah perlunya mempunyai keturunan yang akan menyambung  sejarah hidup keluarga dan bisa untuk sandaran ketika sudah tua.
Semua itu akan diperoleh melalui pernikahan. Maka yang perlu dilkukan oleh Rina adalah memilih pasangan hidup yang mempunyai pengamalan agama yang baik dan akhlak yang mulia. Dua hal itu yang akan mendukung terciptanya kerja sama suami dan istri, serta kedamaian dalam rumah tangga.
Islam memberikan tuntunan agar suami dan istri tolong-menolong dalam kebaikan sebagaimana firman Allah, yang artinya: ”Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang baik dan mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya” (Alquran, Surat At-Taubah: 71). Karier Rina tidak akan terganggu dengan adanya pernikahan, bahkan akan semakin terdukung oleh suami yang mempunyai pengertian dan siap membantu dalam kebaikan sebagaimana yang diajarkan Islam. Mengenai P, Cobalah dibina kembali hubungan dengannya, siapa tahu ia adalah jodoh yang baik bagi Rina. (24)
(Suara Merdeka 20 Juli 2011 h. 7)

Rabu, 13 Juli 2011

Ingin Berbakti pada Almarhumah Ibu*

Tanya: Saya seorang mahasiswi yang sedang  belajar di kota S. Biasanya pada bulan menjelang Puasa, saya bersama kakak dan adik  selalu mengunjungi  makam ibu kami yang telah meninggal lima tahun lalu.  Namun pada bulan ini, saya tidak bisa pulang ke tempat asal, karena baru kerja praktik di kota yang cukup jauh. Ada perasaan bersalah dalam diri saya, karena  tidak dapat mengunjungi makam ibu. Seolah  saya sudah mengabaikan ibu, hanya karena kesibukan sekolah. Apakah saya dapat mendoakan almarhumah ibu, tanpa harus mengunjungi  makamnya. Saya ingin tetap berbakti pada ibu, tapi bagaimana caranya karena beliau sudah tidak ada. (Nanik)

Jawab: Ananda Nanik, mengunjungi makam atau berziarah kubur bisa dilakukan kapan pun  tidak terbatas hari atau bulannya. Jadi Nanik tidak perlu resah, karena menjelang Puasa ini tidak dapat mengunjungi makam ibu. Mendoakan ibu yang sudah meninggal, bisa dilakukan di mana pun, tanpa harus mengunjungi makamnya. Berziarah ke makam, menurut tuntunan Rasulullah adalah untuk mengingatkan orang yang  masih hidup akan datangnya kematian.

Dengan mengunjungi makam, dapat membangkitkan kesadaran bahwa sebagai manusia, dirinya juga akan mati dan dikubur seperti mereka  yang  sedang  diziarahi. Dan orang yang sudah mati, tidak akan bisa berbuat sesuatu.  Maka selagi masih hidup, harus digunakan untuk beribadah yang rajin dan beramal kebaikan.

Nanik masih bisa melanjutkan baktinya kepada  almarhumah ibu, dengan mendoakan  serta  memohonkan ampun kepada Allah atas kekhilafannya. Misalnya  setelah  shalat wajib atau waktu  berziarah  ke makamnya. Menurut tuntunan Rasulullah, ziarah kubur adalah untuk mendoakan yang meninggal, bukan untuk meminta sesuatu kepada yang sudah  meninggal.  Karena  yang meninggal sudah tidak mampu berbuat bagi dirinya, apalagi untuk orang lain.

Yang  berhak dimintai sesuatu  hanya Allah yang Mahakuasa. Selain mendoakan, Nanik juga  bisa melakukan bakti itu dengan cara memelihara silaturahmi dengan keluarga, termasuk saudara-saudara  ibu atau sahabat-sahabatnya. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Abdullah ibn Umar bahwa  Rasulullah bersabda yang artinya, ’’ Di antara bakti seseorang yang paling baik kepada orang tuanya adalah menyambung  tali silaturahmi dengan keluarga maupun  teman orang tuanya setelah orang tuanya meninggal.’’ (Hadis riwayat Imam Muslim).

Menjaga tali persaudaraan sangat penting, agar tidak terjadi perpecahan sepeninggal orang tua. Karena  dalam kenyataan, banyak  keluarga yang saling bertikai atau bermusuhan karena berebut harta warisan.
Jangan lupa memohon pertolongan Allah, agar Nanik beserta keluarga dijauhkan dari perpecahan keluarga yang dapat mendatangkan kesedihan bagi ayah. (24)

(Suara Merdeka 13 Juli 2011)

Rabu, 06 Juli 2011

Suami Tak Mau Bertobat*

Tanya :
Saya seorang ibu rumah tangga, mempunyai sahabat bernama F. Ia mengeluh kepadaku tentang perilaku suaminya yang sudah dua tahun ini mempunyai wanita idaman lain. Suami temanku itu bekerja di luar kota, dan hanya sebulan sekali pulang ke rumah. Pada awalnya, F tidak curiga pada suaminya yang sering menerima telepon dari wanita. Karena pekerjaan suami F sebagai konsultan pembangunan, memang banyak berhubungan dengan ibu-ibu yang pada umumnya mengajukan gambar mengenai bentuk bangunan rumah yang mereka inginkan.
Yang mencurigakan F adalah sewaktu suaminya mendapat musibah di jalan dan dirawat di rumah sakit kota M, maka ada N yang selalu menjenguk dan menunggui. Bahkan ketika ia tahu kalau F adalah istri dari G, maka ia mengatakan bahwa terjadinya kecelakaan setelah ia dan G pulang dari rekreasi. Sesudah suaminya sembuh, maka F menanyakan kepada suaminya mengenai hubungannya dengan N. Di hadapan istrinya, G mengaku kalau N adalah teman baik yag selama ini banyak membantu dalam bidang usahanya. Meskipun ada  rasa curiga, tetapi F berusaha mempercayai suaminya.
Namun akhirnya suaminya tidak bisa mengelak lagi, sewaktu F menemukan berkali-kali SMS yang menunjukkan bahwa hubungan mereka tidak sekadar teman.
Sekarang ini suami F sudah sebulan sakit di rumah, namun ia tetap berhubungan lewat SMS atau telepon. Dan G sudah tidak menghiraukan lagi imbauan dari istrinya agar ia bertobat dan mengakhiri perselingkuhannya itu. Sahabatku itu sekarang sedang menunggu kelahiran putra keduanya dengan perasaan sedih karena suaminya masih berhubungan dengan N. Apa yang perlu dilakukan sahabat saya untuk menjauhkan suaminya dari N. (Ny Fira)

Jawab :
Ibu Fira, sebagai seorang yang peduli dengan keluhan sahabat, maka Bu Fira dapat ikut membantu meringankan beban perasaan F. Agar dalam masa melahirkan nanti dapat menghadapi tugas mulia itu dengan tenang dan bahagia. Dari keberanian N yang mengaku di hadapan F sebagai wanita yang dekat dengan suami F, bisa diketahui bahwa wanita tersebut sudah tidak punya rasa segan atau malu mengakui sebagai WIL suami F. Karena itu, F juga perlu bersikap tegas kepada N untuk menjauhi suaminya. Namun sebelumnya, F perlu bicara dari hati ke hati dengan suaminya, tentang pentingnya dukungan dan sikap suami untuk menciptakan ketenangan agar ia dapat melahirkan anak kedua mereka dengan lancar tanpa hambatan apa pun. Suami perlu diingatkan pula, bahwa ia adalah teladan bagi anak-anaknya. Bagaimana jadinya, apabila ia masih tetap melakukan penyimpangan moral, namun sebagai orang tua tentu ia juga punya harapan anak-anaknya kelak menjadi orang yang berbudi luhur. Jalan untuk mempunyai keturunan yang berperilaku baik, termasuk bakti kepada orang tuanya harus dimulai dari pribadi orang tua yang dapat dijadikan teladan bagi anak-anaknya, sehingga anak-anak menaruh hormat kepada orang tuanya. Termasuk hal yang menyakitkan hati orang tua, manakala ia tidak dihormati oleh anak-anaknya. Namun sebagian orang tua sering lupa, bahwa hormat anak pada orang tuanya juga ditentukan oleh perilaku orang tua itu sendiri.
Semoga dengan pembicaraan dari hati ke hati itu, suami F terbuka kesadarannya dan kembali menjadi suami yang baik dan setia bagi F. Jangan lupa F diminta selalu mohon pertolongan Allah agar suaminya diberikan kekuatan dapat mengatasi godaan yang dapat merusak kebahagiaan rumah tangganya. (24)
(Suara Merdeka 6 Juli 2011 h. 7)

Rabu, 22 Juni 2011

Ingin Anak Jujur*

Tanya: Saya seorang karyawati kantor swasta. Suami berwiraswasta di bidang elektronik.
Ia banyak keluar kota, dan salah satu hal yang tidak saya sukai dari suami adalah sifatnya yang suka berbohong.
Kebohongan itu tidak terkait dengan masalah perempuan, tetapi persoalan keuangan.
Suami pernah mendapat peringatan dari pimpinannya, karena suka menggunakan uang setoran. Meskipun ia selalu mengembalikan uang yang telah dipakainya, tetapi sebagai istri, saya merasa khawatir kalau suatu waktu ia tidak bisa mengembalikan lagi uang yang dipakainya.
Sekarang ini saya sedang mengandung anak pertama.
Sebagai calon ibu, tentu saya punya harapan anak saya menjadi anak yang jujur dan saleh, tidak suka berbohong seperti ayahnya. Bagaimana caranya agar suami menyadari kesalahannya, dan sifat suka bohong itu tidak menurun kepada anak kami. (Esti)

Jawab: Ibu Esti, ketenangan pikiran dan hati perlu diciptakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam masa mengandung, agar tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan janin. Oleh karenanya, ibu perlu bicara dari hati ke hati dengan suami tentang kebiasaannya memakai uang yang bukan miliknya dan meresahkan Bu Esti. Meskipun bisa mengembalikan, tetapi perbuatan itu dapat menjerumuskan suami dalam pelanggaran kepercayaan.
Kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa penyimpangan yang besar bermula dari hal-hal yang kecil, dan berakhir dengan dikenakannya hukuman sesuai dengan berat atau ringannya pelanggaran. Sebagai calon orang tua, Bu Esti dan suami punya kewajiban untuk mendidik anak-anaknya dengan budi pekerti yang luhur, termasuk dalam kejujuran. Rasulullah bersabda, yang artinya
"Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik" (Hadits riwayat Ibnu Majah).
Untuk memperoleh anak yang jujur, selain memberikan pengertian tentang makna kejujuran, maka orang tua perlu memberikan contoh dan membiasakan anak melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Keteladanan dari orang orang di sekitarnya, memudahkan anak untuk menirunya.
Maka mulai sekarang, suami dan ibu perlu mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua yang dapat menjadi contoh bagi anak yang sebentar lagi akan lahir. Kebohongan bukan penyakit keturunan, tetapi perilaku yang tidak baik dan bisa diubah menjadi jujur melalui kebiasaan yang terus-menerus.
Jangan lupa selalu mendekatkan diri pada Allah dan memohon agar dikaruniai anak yang saleh dan bermanfaat di dunia dan akhirat. (24)
(Suara Merdeka 22 Juni 2011 h. 7)

Rabu, 15 Juni 2011

Tak Bisa Bicara dan Ingin Tobat*

Tanya: Saya punya tetangga dekat yang sakit lama. Namanya P. Semula ia tidak bisa berjalan dan sekarang bertambah tak bisa bicara.Tetapi masih bisa menulis. Apabila ia ingin sesuatu, maka ia akan menuliskannya di kertas.
Beberapa hari yang lalu, waktu saya menjenguk di rumahnya, melalui tulisan, ia menanyakan cara bertobat dari dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Ia menyesal dulu pernah mengambil hak-hak karyawan yang bekerja di kantornya.
Sebelum sakit, ia pimpinan cabang sebuah kantor swasta.
Ia mengaku dulu sering memotong uang karyawan yang seharusnya diberikan bagi mereka yang bertugas melebihi jam kerja. Ia merasa bahwa sakitnya itu sebagai hukuman dari Allah, karena dosa-dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu.
Apakah ia perlu meminta maaf pada karyawannya dulu dan berterus terang tentang pengambilan hak mereka? (Ny. Lina)

Jawab: Ibu Lina, tetangga ibu yang sedang sakit itu perlu dibantu untuk mendapatkan ketenangan dalam hidupnya.
Selama sakit, P diberikan kesadaran oleh Allah untuk bertobat. Dibukakan ingatan akan dosa-dosanya yang telah lalu, di antaranya telah mengambil hak para karyawannya.
Perbuatan itu sudah melanggar hak manusia. Maka perlu segera bertobat.
Langkah yang perlu ditempuh adalah mohon ampun kepada Allah, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Disamping itu, P perlu menyelesaikan urusannya dengan sesama manusia, karena Allah akan mengampuni dosa yang terkait dengan hak manusia, kalau ia sudah meminta maaf dan mengembalikan apa yang menjadi hak orang lain, maka sebaiknya P segera meminta maaf kepada para karyawan dan mengembalikan hak mereka yang pernah diambil.
Berhubung P sakit, maka keluarganya dapat mewakili untuk menyampaikan permintaan maaf dan menyerahkan uang yang pernah diambil P kepada mereka yan berhak.
Memperoleh harta dengan mengambil hak orang lain itu menimbulkan ketidaktenteraman dalam hati, dan dilarang oleh Allah seperti tersebut dalam Alquran, yang artinya ’’Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang bathil.’’ (QS Al Baqarah :188).
Semoga setelah bertobat kepada Allah dan menyelesaikan urusannya dengan sesama manusia, hati P akan tenang, dan ketenteraman hati dapat membantu kesembuhan penyakit yang dideritanya. (24)
(Suara Merdeka 15 Juni 2011 h. 7)