Rabu, 24 Juni 2009

Sakit Pembersih Dosa?

Tanya:
Saya seorang  ibu rumah tangga, mempunyai anak tiga orang yang semuanya sudah bekerja. Setahun lebih, saya menderita sakit yang tak kunjung sembuh. Ketika anak-anak masih sekolah, saya bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, karena saya  seorang  janda.

Kini saya tinggal bersama anak bungsu yang belum menikah. Kalau dia pergi ke kantor, tinggallah saya sendiri di rumah. Terkadang saya putus asa dengan usaha saya untuk berobat. Dalam kesendirian itu, sering timbul pikiran apakah sakit saya itu karena dosa saya banyak. Sewaktu muda, saya termasuk perempuan nakal dan pernah menyakiti hati orang tua. Dan saya sering menangis kalau ingat dosa-dosa di masa lalu.
(Ny Tanti)

Jawab:
Ibu Tanti, setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan yang disengaja maupun tidak. Setiap manusia pasti pernah merasakan sakit. Adakalanya ringan dan hanya beberapa hari, tetapi ada pula yang berat. Timbulnya penyakit tentu ada sebabnya. Terkadang  berkaitan dengan  pikiran yang cemas, gelisah, sedih, lalu berpengaruh pada kesehatan jasmaniahnya.

Ibu merasakan kecemasan yang terus-menerus, ketika mengingat dosa yang dilakukan waktu dulu. Cobalah Ibu berserah diri kepada Allah, dan mohon ampunanNya. Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Apabila ibu bertobat dan tidak melakukan dosa-dosa itu lagi, insya Allah akan mendapat ampunanNya.

Kalau orang tua masih hidup, mohonlah maaf kepadaya. Tunjukkan bakti ibu kepada mereka, melalui perbuatan dan perkataan yang  menyenangkan. Manakala keduanya sudah meninggal, bakti itu dapat dilakukan dengan selalu mendoakan dan memintakan ampun atas segala dosanya.

Dengan demikian, Ibu Tanti telah membersihkan dosa-dosa yang telah lalu. Isilah kehidupan selanjutnya dengan sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi diri sendiri maupun anak-anak. Jangan putus asa dalam berobat, dan iringilah dengan doa mohon kesembuhan dari Allah.

Memang, sakit itu ujian kesabaran dari Allah. Maka jalanilah dengan ikhlas dan sabar dalam menunggu hasil usaha/pengobatannya.  Bagi yang bersabar atas ujian itu, kiranya Allah akan memberikan pahala dan pengampunan atas kesalahan yang pernah diperbuat.

Rasulullah SAW pernah menengok orang yang sakit dan mengucapkan, ’’La ba’sa thahurun, insya Allah’’. Tak apa-apa, insya Allah menjadi pembersih (dosa). Semoga ibu sabar dalam menjalani ujian ini, dan jangan putus asa dalam berobat dan berdoa. (32)

(Suara Merdeka 24 Juni 2009)

Rabu, 17 Juni 2009

Ingin Bertobat dan Menjadi Lebih Baik

Tanya:
Saya ibu rumah tangga, mempunyai enam anak yang sudah dewasa. Suami sudah meninggal lima tahun lalu. Sewaktu suami sakit dan tidak dapat mencari nafkah, saya telah menempuh jalan yang dilarang oleh agama, seperti menipu, mencuri, bahkan saya pernah menjual diri karena terpaksa.

Semua itu saya lakukan untuk mencukupi kebutuhan anak-anak, serta untuk membeli obat bagi suami yang sakit. Setelah suami meninggal, saya bertambah bingung, karena tidak ada yang bisa diajak bicara untuk mengatasi kesulitan rumah tangga.

Pada waktu sulit seperti itu, saya mendapat nasihat dari seorang ustad agar berubah menjadi baik, sehingga kami sekeluarga diberi jalan keluar dari kesulitan oleh Allah. Apa yang harus saya lakukan agar bisa menjadi orang yang lebih baik dari kemarin?  
(Ny Narti)

Jawab:
Ibu Narti, semua manusia tidak bisa lepas dari berbuat salah dan lupa. Namun Allah sangat menyayangi manusia, sehingga selalu memberi petunjuk agar orang yang bersalah dapat kembali ke jalan yang benar. Kiranya Ibu termasuk yang diberi petunjuk Allah, sehingga mempunyai keinginan untuk menjadi lebih baik dari kemarin.

Untuk menghilangkan dosa-dosa yang pernah dilakukan, Ibu perlu bertobat kepada Allah. Caranya, memohon ampunanNya (baca istighfar). Selanjutnya, ungkapkan penyesalan atas dosa-dosa masa lalu di hadapan Allah, setelah shalat. Berjanjilah kepada Allah, tidak akan mengulangi lagi perbuatan dosa itu.
Niatkan dalam hati Ibu Narti agar menjadi orang yang lebih baik. Wujudkan niat itu dalam perilaku sehari-hari. Untuk menyempurnakan pertobatan itu, Ibu bisa mengikuti petunjuk Rasulullah SAW, bahwa orang Islam yang sempurna adalah yang tidak menyakiti orang lain dengan perkataan maupun perbuatannya (HR Imam Abu Daud).

Selain harus menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang dapat meyakiti hati orang lain Ibu Narti perlu juga memperbaiki  ekonomi keluarga dengan jalan usaha. Cobalah memulainya dengan usaha yang diminati dan dapat menghasilkan uang. Misalnya jual makanan atau buka jahitan/salon, sesuai dengan minat dan kemampuan yang dimiliki Ibu sekeluarga.

Usaha itu akan mendukung keinginan Ibu untuk tidak melakukan lagi perbuatan dosa seperti dulu, yang terjadi karena kesulitan ekonomi. Jangan lupa terus mohon pertolongan Allah, agar selalu diberi jalan yang mudah untuk mendapatkan rezki yang halal dan bermanfaat. (32)

(Suara Merdeka 17 Juni 2009)

Rabu, 10 Juni 2009

Anak Sakit, Suami Genit

Tanya:
Saya ibu rumah tangga dengan seorang anak yang menderita hidrocephallus (kepala membesar—Red). Suami saya pegawai negeri. Saat menunggui anak dioperasi di rumah sakit, ternyata suami selingkuh dengan istri temannya. Awalnya dia mengelak punya hubungan cinta dengan wanita itu, bahkan marah saat saya tanyakan hal tersebut. Tetapi akhirnya ia tak membantah, karena secara kebetulan saya sering melihat keduanya bertemu di luar rumah.

Kasus ini pernah saya laporkan kepada atasan suami di kantor, juga kepada suami wanita tersebut. Namun suami wanita itu tidak mengambil tindakan, bahkan berkesan membiarkan. Suami sudah dipanggil pimpinan kantor dan mengakui, bahkan minta izin untuk menceraikan saya. Atasannya menolak, karena tidak ada alasan yang tepat untuk menceraikan saya.

Kini tindakan suami sudah di luar batas, karena pernah memukul wajah dan kepala saya sampai memar. Saya pun melaporkan kasus ini kepada atasannya, dan suami mendapat sanksi masuk tahanan selama tiga hari. Sejak itulah saya pulang ke rumah orang tua, dan suami tak pernah menengok maupun memberi nafkah. Saat sakit anak saya makin parah, ia juga tidak menengok.

Akhirnya anak saya meninggal, dan suami datang dengan memberikan uang duka. Tapi sesudah itu tidak pernah datang lagi dan tidak memberi nafkah. Hubungan suami dan WIL-nya masih jalan terus. Melihat semua itu, saya berpikir mengajukan gugatan cerai karena sudah tidak tahan menderita lebih lama. Namun ada beberapa hal yang mengganggu pikiran.

Apakah hukum Islam membolehkan suami menikah dengan wanita yang masih bersuami itu. Bagaimana status saya? Apakah saya dapat menuntut hak untuk mendapatkan bagian dari gaji suami, meski sudah tidak serumah? Saya  bingung, karena masih harus melunasi utang untuk biaya pengobatan anak saat sakit. Beban itu makin berat, jika saya harus mengeluarkan biaya untuk mengurus perceraian.
(Ny Susi, Magelang)

Jawab:
Ibu Susi, kami dapat memahami kepedihan Ibu dengan meninggalnya putra yang dikasihi, sementara suami justru bersenang-senang dengan wanita lain. Menurut hukum Islam, perselingkuhan termasuk perbuatan mendekati perzinaan yang  dilarang agama (Surat al-Israa’: 32).

Suami Ibu juga tidak bisa menikah dengan WIL itu, karena masih terikat perkawinan dengan pria lain (Kompilasi Hukum Islam Pasal 40).
Adapun status Ibu masih istri yang sah, meski sudah tak tinggal serumah.

Karena itu, Ibu masih berhak memeroleh sebagian dari gaji suami. Karena suami pegawai negeri, maka perkawinannya terikat dengan PP Nomor 10/1983 .

Menurut aturan ini, kalau perceraian terjadi atas kehendak suami, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk bekas isteri dan anak-anaknya (PP 10/1983 Pasal 8 Ayat 1).

Disebutkan juga, jika dari perkawinan itu tidak ada anak, bekas istri memperoleh separo gaji suami (Pasal 8 Ayat 3). Jika ada anak, bekas istri mendapat sepertiga, dan anak-anak mendapat bagian sepertiga pula (Pasal 8 Ayat 2). Untuk memeroleh hak atas gaji suami, Ibu dapat berkonsultasi dengan pimpinan kantor tempat suami bekerja.

Soal kelanjutan pernikahan, bicarakanlah baik-baik dengan suami. Jika suami berniat menceraikan, dan Ibu juga telah memikirkannya, mintalah suami untuk menceraikan secara baik-baik. Termasuk memberikan sebagian gajinya untuk bekas istri sesuai peraturan, dan membiayai urusan perceraian itu.

Bicarakan pula kesulitan Ibu dalam melunasi utang untuk perawatan anak saat sakit. Karena biaya perawatan itu termasuk tanggung jawab suami terhadap anaknya.

Jika suami mengelak dari tanggung jawab itu, mintalah bantuan pimpinan kantor untuk menyelesaikan persoalan itu, misalnya melalui pemotongan gaji suami setiap bulan.

Agar hati tenang dan pikiran jernih dalam mengambil keputusan, mohonlah petunjuk kepada Allah dengan melakukan salat istikharah.
Jika sudah mantap, ambillah keputusan yang terbaik. Ibu tidak perlu khawatir soal masa depan, termasuk dalam mengatasi kesulitan ekonomi.

Yakinlah, Allah akan memberi pertolongan bagi hamba-Nya yang  mau bekerja keras, dan berada di jalan yang  benar. (32)

(Suara Merdeka 10 Juni 2009)

Rabu, 03 Juni 2009

Pilih Ortu atau Pacar?

Tanya:
Saya gadis  berumur 21 tahun, sedang menjalin cinta dengan cowok berusia 25 tahun. Hubungan kami sudah cukup lama, dan kami saling mencintai serta menghargai satu sama lain. Kami bersepakat melanjutkan hubungan ini sampai jenjang pernikahan. Tapi orang tua saya melarang hubungan kami dengan alasan berbeda suku. Saya Jawa, pacar Sunda.

Menurut ortu, orang Jawa tidak boleh menikah dengan orang Sunda, dan saya harus mematuhinya. Ortu pernah mengancam, jika tak mengikuti perintahnya, saya tidak akan dianggap anaknya lagi. Saya bingung, haruskah meninggalkan pacar dan mematuhi perintah ortu?

Di satu sisi, saya merasa berat untuk memutuskan hubungan cinta ini, apalagi sudah merasa cocok dengan pacar. Tetapi di sisi lain, saya tidak ingin kehilangan atau melukai hati ortu yang telah merawat dan membesarkan saya dengan segala kasih sayang dan pengorbanannya. Mohon nasihatnya, Ibu...
(Yeni- Semarang)

Jawab:
Ananda Yeni, kami dapat memahami kesulitanmu. Sebagai anak yang berbakti, ananda ingin mematuhi perintah ortu. Tetapi itu berarti harus rela melepaskan pemuda yang ananda cintai.

Mematuhi ortu merupakan sikap terpuji. Islam dengan tegas memerintah pemeluknya agar berbuat baik kepada orang tua (QS Luqman:14-15). Karena orang tua telah bersusah payah membesarkan dan mendidiknya. Seorang anak dilarang berkata/berlaku  kasar atau membentak orang tuanya.

Mengingat hal tersebut, sebaiknya ananda tetap bersikap baik dan menghormati pendapat ortu, meski berbeda dengan keinginanmu. Secara halus dan sopan, perlu ditanyakan mengapa mereka melarangmu berhubungan dengan pemuda tersebut. Mungkin ortu punya kenangan buruk dengan orang yang kebetulan dari Sunda.

Islam tidak melarang perkawinan antarsuku maupun antarbangsa. Kriteria yang diajarkan Islam untuk memilih jodoh adalah yang baik pengamalan agamanya dan berakhlak mulia. Dengan dasar ketakwaan kepada Allah dan budi pekerti mulia, diharapkan lelaki itu akan bergaul dengan isterinya dengan cara yang baik, tidak kasar, atau kejam, sehingga tercipta ketenangan berkeluarga.

Pertimbangan selain itu barulah rupa, kekayaan, keturunan, suku, dan sebagainya, terkait dengan keinginan dan pertimbangan setiap orang. Karena itu, cobalah ananda bicarakan kriteria memilih suami yang diajarkan agama ini dengan kedua ortu. Dengan komunikasi yang baik, diharapkan Yeni dapat memahami alasan ortu melarang hubungan dengan pemuda pilihan itu. Sebaliknya ortu diharapkan mengetahui pula dasar pertimbangan Yeni memilih pemuda tersebut.

Selanjutnya akan terjalin saling pengertian, yang akan membawa kebaikan bagi Yeni. Jika alasan ortu bahwa pengamalan agama si pacar kurang baik, sebaiknya Yeni memikirkan kembali kelanjutan hubungan itu. Namun jika alasan mereka tidak terkait dengan hal itu, Yeni dapat menjelaskan kebaikan pribadi pemuda tersebut, di samping kekurangannya.

Dengan demikian, ortu dapat mempertimbangkan keputusannya terdahulu. Percayalah, setiap ortu ingin anaknya bahagia. Mereka akan berbuat sesuatu yang mendatangkan kebahagiaan bagi anaknya, dan menjauhkan hal-hal yang akan menyengsarakannya. Agar hati makin mantap-tenang, mohonlah petunjuk kepada Allah dengan melakukan salat istikharah. Semoga Yeni mendapat jalan menuju kebahagiaan yang direstui ortu dan diridhoi Allah. (32)

(Suara Merdeka 3 Juni 2009)