Rabu, 30 April 2008

Istri Meninggalkan Rumah

Tanya: 
Saya menikah dengan D, karena kehendak orang tua. Ayah saya teman dari ayah D. Sejak muda mereka bersahabat dan sepakat untuk besanan. Keinginan itu terwujud dengan dinikahkannya saya dengan D. Meski di awal pernikahan saya belum bisa mencintai D, setelah anak kami lahir, perasaan sayang itu mulai tumbuh dalam hati. 

Kebahagiaan semakin saya rasakan ketika anak kedua lahir. Setelah anak-anak agak besar, istri ingin kerja lagi di kantornya dulu. Saya mengizinkan, karena di rumah ada saudara yang membantu menjaga anak-anak. Tanpa saya ketahui, ternyata istri selingkuh dengan teman sekerjanya. Sekarang ia meninggalkan kami dan pergi dengan K, teman laki-lakinya itu.

Karena sudah enam bulan pergi dan saya tidak tahu ke mana perginya, apakah saya bisa menceraikannya? Apakah saya bisa membesarkan anak-anak seorang diri?

Radit-di kota K

Jawab:
 Pak Radit, kami dapat memahami keinginan bapak untuk menceraikan D, karena ia tega meninggalkan anak-anak dan menghianati bapak. Karena perkawinan itu kehendak orang tua, mungkin D menjalaninya dengan terpaksa, sama dengan yang bapak rasakan. 

Meninggalkan rumah dan pergi bersama laki-laki lain adalah perbuatan terlarang. Jika salah satu pihak (suami/ istri) meninggalkan pasangannya tanpa izin selama dua tahun berturut-turut dan tanpa alasan apa pun, dapat menjadi sebab terjadinya perceraian. 

Karena kepergian D belum sampai dua tahun, apabila bapak ingin menceraikan D, bisa menanyakan hal itu ke pengadilan agama. 

Jangan lupa membicarakan rencana itu dengan orang tua D. Meskipun hak untuk menceraikan ada di tangan bapak, pertimbangan mertua juga perlu, karena terkait pula dengan masa depan cucu-cucunya. Pak Radit dapat pula membicarakan dengan mertua mengenai pengasuhan anak-anak sepeninggal istri bapak. Dengan dukungan banyak pihak termasuk mertua, bapak akan lebih siap menjalankan peran ganda sebagai bapak sekaligus ibu bagi anak-anak. 
Banyak suami yang berhasil membesarkan dan mendidik anak ketika istrinya karena sesuatu hal, tidak ada di dekatnya. 

Mohonlah selalu kekuatan dan petunjuk Allah, agar anak-anak tumbuh menjadi anak saleh dan bapak diberikan lagi kebahagiaan berkeluarga. (37)
(Suara Merdeka 30 April 2008)

Rabu, 16 April 2008

Kehilangan Suami

Tanya: Saya menikah dua tahun lalu. Kami hidup bahagia. Suami penuh pengertian dan kami saling membantu dalam pekerjaan rumah tangga maupun kantor. Meskipun berbeda tempat kerja, bidang yang menjadi tugas kami sama, sehingga bisa saling mendukung. 

Kebahagiaan kami bertambah ketika saya mulai mengandung anak pertama. Tetapi, hal itu tidak berlangsung lama, karena suami lima bulan yang lalu meninggal, karena kecelakaan. Dunia ini serasa kiamat saat saya menghadapi kenyataan itu. Sampai sekarang saya belum bisa menghilangkan kesedihan, karena ditinggal suami. Saya sering mengunjungi makamnya dan mengungkapkan perasaan kepadanya. Dengan demikian beban pikiran menjadi ringan. 

Karena sebentar lagi anak saya lahir, saya tidak bisa lagi sering ke makam suami. Bagaimana caranya agar saya mendapatkan ketenangan hati, tanpa harus meninggalkan anak?

Fia-di kota P

Jawab: Ananda Fia, kami bisa memahami perasaan Fia yang masih sering merasakan kesedihan jika teringat suami yang telah tiada. Namun, Fia tentu tidak ingin larut dalam kesedihan yang berkepanjangan, karena semua manusia akan mengalami kematian. Maka, sikap yang terbaik untuk menghadapi masalah itu adalah menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan di akherat. Di antaranya dengan mendidik anak yang dilahirkan agar menjadi anak yang saleh.

Pendidikan anak sudah bisa dimulai sejak masih dalam kandungan. Misalnya, dengan membaca dan memahami kitab suci Alquran, agar hati menjadi tenang. Karena di dalamnya terdapat pedoman dan petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan (QS Al Jasiyah: 20). 

Jangan lupa ajak anak dalam kegiatan tersebut, meski hanya lewat belaian lembut di perut dan bisikan hati. Ketenangan hati dan pikiran Fia berpengaruh positif pada perkembangan janin. Maka, tabahkan hati dan kuatkan tekad untuk membesarkan dan mendidiknya menjadi anak saleh yang dapat mendoakan dan memintakan ampun kedua orang tuanya. 

Melalui cara inilah, Fia bisa mewujudkan keinginan untuk mengenang almarhum, tidak terbatas melalui kunjungan ke makam. Menurut tuntutan Islam, ziarah kubur adalah untuk mengingatkan yang masih hidup akan datangnya kematian dan memohonkan ampun bagi yang telah meninggal. Dengan demikian, ziarah kubur dapat menjadi pendorong bagi manusia untuk menggunakan sisa hidupnya guna beribadah dan beramal, termasuk mempersiapkan keturunannya menjadi generasi yang saleh/salihah. Berbahagialah Fia, karena sebentar lagi ananda akan menjadi ibu dari anak saleh tersebut. (37)
(Suara Merdeka 16 April 2008)

Rabu, 09 April 2008

Cemas Hendak Menikah

Tanya: Saya bekerja di perusahaan swasta. Dalam waktu dekat akan menikah. Saya sering tugas luar mendampingi tamu yang ingin memilih langsung barang dagangan di gudang. Di antara pelanggan kami ada Pak H yang akrab dengan saya. Dari sekadar sahabat, akhirnya kami sepakat menikah tahun ini. 

Menghadapi semakin dekatnya waktu pernikahan, ada rasa cemas, karena saya pernah mengalami pelecehan seksual oleh L, pimpinan di tempat kerja sebelumnya. Selama ini saya merahasiakan hal itu. Apakah saya harus mengatakan sejujurnya tentang peristiwa terkutuk itu kepada H, atau lebih baik merahasiakannya. Saya khawatir dia kecewa jika mengetahui hal itu, dan menggagalkan perkawinan kami. Saya juga ingin memohon ampun kepada Tuhan, tetapi belum bisa berbahasa Arab. Apakah boleh diucapkan dalam bahasa Indonesia.

Erna-Slawi

Jawab: Ananda yang sedang gelisah, kami ikut prihatin dengan pelecehan yang menimpa Erna di masa lalu. Sebentar lagi Erna akan menikah dengan H, maka sebelum berlangsungnya pernikahan itu, sebaiknya berterus terang kepadanya tentang peristiwa pelecehan tersebut. Dengan kejujuran itu, akan dapat mengetahui apakah H dapat menerima Erna dengan segala kekurangan maupun kelebihannya,  ataukah akan menolak karena tidak mau menerima kenyataan pahit. 

Kejujuran itu penting untuk menghindari akibat di kemudian hari. Seandainya dengan pengakuan itu H merasa kecewa dan membatalkan niatnya untuk menikah, terimalah dengan lapang dada. Hal ini menandakan bahwa ia tidak siap menerima kekurangan Erna, bahkan tidak dapat memahami kondisi pasangannya. 

Sifat egois semacam itu dapat menghalangi terciptanya keharmonisan dalam rumah tangga. Maka, apa pun keputusan H, Erna tidak perlu takut menghadapi perkawinan pada masa mendatang. Karena dengan keberanian Erna mengungkapkan terjadinya pelecehan itu, maka tidak punya lagi beban psikologis. 

Kebahagiaan rumah tangga di antaranya ditopang kejujuran dan saling pengertian suami-istri. Adapun keinginan Erna untuk segera bertaubat kepada Allah, sesuai dengan perintahNya ’’Dan, bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang yang bertaqwa’’ (QS Ali Imran:133). 

Permohonan ampun atau doa boleh diucapkan dalam bahasa Indonesia jika Erna belum mampu berdoa dalam bahasa Arab. Sebab, Allah Maha Tahu apa yang diucapkan hambaNya, bahkan yang masih ada dalam benak atau hati manusia, Allah telah mengetahui. (37)
(Suara Merdeka 9 April 2008)

Rabu, 02 April 2008

Dimadu untuk Mendapat Anak Laki-laki

Tanya:
Saya menikah selama delapan tahun. Anak kami tiga perempuan semua. Sesuai dengan kesepakatan dengan suami telah menjalani KB sejak dua tahun lalu. Kehidupan kami selama ini tenteram. Saya dan suami bekerja di pabrik. Tetapi, akhir-akhir ini suami sering pergi malam, dengan alasan cari tambahan penghasilan dengan ikut temannya yang menjadi makelar tanah.

Yang saya risaukan, karena sekarang ia menjalin hubungan dengan seorang janda bernama L. Suami mengakui hal itu, bahkan ia minta izin saya untuk menikahinya. Alasannya, ia ingin anak laki-laki.
Bolehkah berpoligami kalau keadaan ekonomi kurang dan dengan alasan untuk mendapatkan anak laki-laki?
Ny Tini-Semarang

Jawab:
Ibu Tini, tujuan pernikahan di antaranya memang untuk mendapatkan keturunan. Anak perempuan dan laki-laki dalam pandangan Allah mempunyai derajat yang sama, dan yang membedakan tinggi rendahnya status seseorang hanyalah ketakwaannya QS Al Hujarat: 13).

Apabila anak-anak perempuan itu diberikan pendidikan yang baik dan menjadi anak yang salihah/beriman, cerdas, dan bermanfaat, maka orang tuanya akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat akan mendapat perlindungan dari api neraka sebagaimana sabda Rasulullah: ''Barang siapa mempunyai tiga anak perempuan, lalu ia sabar dalam mendidiknya, memberinya makan minum, dan pakaian sesuai dengan kemampuannya, maka mereka akan menjadi perisai yang menjauhkan orang tuanya dari api neraka (HR Ibnu Majah). Rasulullah juga diberikan oleh Allah anak-anak yang tumbuh sampai besar, putri semuanya. Beliau senang dan bangga mempunyai anak- anak yang salihah, dan beliau tidak melakukan poligami hanya untuk mendapatkan anak laki-laki.

Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa di antara syarat untuk mendapat izin poligami dari Pengadilan Agama adalah adanya persetujuan istri dan jaminan bahwa suami mampu memenuhi keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya.

Ajaklah suami bicara dari hati ke hati bahwa rumah tangga yang dibangun selama ini telah memberikan ketenteraman. Haruskah semua itu diakhiri untuk mengejar sesuatu yang belum tentu menjamin terciptanya kebahagiaan hidup. Mohonlah pertolongan Allah. Semoga suami diberikan petunjuk dan ibu bersama keluarga mendapatkan kembali kebahagiaan berumah tangga. (37)

(Suara Merdeka 2 April 2008)