Rabu, 26 Maret 2008

Antara Istri dan Ibu

Tanya :  Saya menikah dua tahun yang lalu dengan gadis tetangga kampung. Karena saya pegawai kecil, sampai sekarang belum bisa beli rumah dan masih numpang di rumah ibu. Setelah ayah tiada, saya jarang meninggalkan ibu sendirian di rumah. Sebelum saya menikah, ada keponakan yang menemani ibu. Setelah ada R, istri saya, keponakan pulang ke rumahnya. 

Pada tahun pertama, istri tidak pernah mengeluh tentang hubungannya dengan ibu saya. Tetapi menginjak tahun kedua dari pernikahan kami, istri mulai menceritakan betapa susahnya melayani ibu. Begitu pula sebaliknya. Ibu juga mengeluhkan beberapa hal yang menyebabkan ia tidak menyukai istri saya. Sekarang ini istri minta pindah dari rumah ibu. Saya bingung, karena tidak punya uang untuk kontrak rumah, dan saya tidak tega meninggalkan ibu yang semakin tua dan sering sakit.
Tono-Boyolali

Jawab: 

Pak Tono, sebagai anak yang baik, tentu Bapak ingin menyenangkan orang tua. Apalagi ibu sudah tua dan sering sakit, maka sudah seharusnya Pak Tono bersama istri menyediakan waktu untuk mendampingi dan merawatnya. Ajaklah istri untuk bersabar menghadapi sikap ibu yang mungkin berubah dari biasanya atau lebih sensitif, karena sedang sakit, sehingga mudah tersinggung. 

Di samping itu, sesungguhnya ibu juga membutuhkan perhatian Pak Tono. Namun, karena sudah beristri, maka perhatian yang selama ini ibu peroleh, terbagi dengan istri dan ini dapat menimbulkan kekecewaan ibu. Dampaknya menimpa istri Pak Tono yang dipandang menyita perhatian Bapak, sehingga menantu perempuan sering dijadikan sasaran kemarahan. 

Untuk mengingatkan bagaimana sikap anak yang diharapkan orang tua, kiranya dapat dilihat dari firman Allah yang memerintahkan manusia agar berbuat baik dan senantiasa berterima kasih kepada kedua orang tuanya. 
Ibunya telah mengandung dan menyusui dengan segala pengorbanan yang harus dilalui seperti kepayahan dengan semakin besarnya kandungan (QS Luqman: 14). Sebagai calon ibu, semoga istri Bapak dapat memahami keinginan suami untuk bisa merawat ibu yang sudah tua dan sering sakit. 
Meskipun, istri sesekali memang perlu menahan emosi ketika ada sikap ibu mertua yang tidak menyenangkan. Untuk mewujudkan bakti anak dan menantu kepada orang tua, sebaiknya Bapak dan istri tetap tinggal bersama ibu, agar selalu dapat mendampinginya. Mohonlah kepada Allah agar ibu dan istri bisa saling menyayangi. (37)*
(Suara Merdeka 26 Maret 2008)

Rabu, 19 Maret 2008

Calon Mertua Penggoda

Tanya:
Saya bekerja di kantor swasta. Saya punya pacar T, bekerja di tempat yang sama. Pacar saya berasal dari kota M. Kami telah sepakat menikah tahun ini. Semula orang tua setuju, namun sekarang hubungan kami terancam putus, karena orang tua saya mendapat informasi bahwa calon mertua laki-laki suka menggoda wanita.

Ada kemenakan ayah bernama R, yang tinggal sekota dengan calon mertua saya. Dari dia ayah mendapat kabar tentang hal itu. Perilaku tercela itu, kata R, sudah diketahui oleh tetangga maupun teman sekantor calon mertua saya.
Setelah mendengar berita tentang kelakuan ayah pacar saya, ayah dan ibu saya tidak mengizinkan saya melanjutkan hubungan dengan T. Mereka khawatir jika kelakuan buruk ayahnya akan menurun pada T. Padahal, T selama ini saya ketahui rajin shalat, puasa, dan tingkah lakunya juga baik. Apakah saya harus mematuhi keinginan orang tua untuk memutuskan hubungan dengan T, karena calon mertua suka menggoda wanita?

Lita-Kendal

Jawab:
Ananda Lita, kami dapat memahami kegelisahan Lita yang dilarang melanjutkan hubungan dengan T. Perilaku orang tua, secara langsung maupun tidak langsung, memang ada pengaruhnya bagi anak. Seperti suka menggoda lawan jenis jika dilakukan oleh seorang yang sudah berumah tangga dan punya anak, dampaknya lebih luas karena dapat menyebabkan anak merasa malu akan perbuatan tercela orang tuanya.
Namun, belum tentu kebiasaan itu menurun pada anak. Apalagi anak yang sudah dewasa dan kepribadiannya telah matang, tidak akan mudah terpengaruh oleh hal-hal buruk.
Seorang anak memang akan melihat dan mendambakan orang tuanya menjadi contoh yang baik baginya. Karena itu, dapat dimengerti jika orang tua Lita khawatir jika contoh yang tidak baik itu justru yang dilihat atau bahkan ditiru oleh T yang akan mempersunting Lita. Yang kecewa terhadap perbuatan calon mertua kiranya bukan hanya orang tua Lita, tetapi juga T.
Sebagai anak yang baik, ia bisa lebih menderita melihat tingkah laku ayahnya yang merendahkan derajat wanita. Penderitaan itu akan bertambah bila hubungannya dengan Lita putus, gara-gara ayahnya yang suka iseng.
Jika Lita menilai T sebagai pemuda yang berkepribadian baik dan taat menjalankan perintah agama, maka kemukakan hal itu kepada orang tua Lita. Untuk meyakinkan mereka, Lita dapat mengajak T bertemu dengan orang tua Lita, agar mereka dapat berdialog langsung, sehingga kekhawatiran orang tua dapat diatasi.
Namun, sebelum mempertemukan T dengan orang tua Lita, sebaiknya ditanyakan dulu kepada T mengenai kebenaran berita yang menyangkut ayahnya.
Dengan demikian, akan dapat dikemukakan permasalahan yang sebenarnya. Semoga melalui cara itu, ayah dan ibu Lita dapat memahami persoalan dengan bijak, sehingga dapat mengambil langkah yang tepat untuk kebahagiaan dan masa depan Lita. (37)*

(Suara Merdeka 19 Maret 2008)

Rabu, 12 Maret 2008

Istri Memberi Nafkah

Tanya: Saya seorang PNS mempunyai dua anak. Suami dulu bekerja di swasta, tetapi sejak dua tahun lalu ia menganggur. Selama ini untuk biaya hidup dan sekolah anak-anak hanya dari gaji saya. Karena kondisi keuangan keluarga yang demikian, sampai sekarang kami belum punya rumah dan tinggal di rumah saudara yang kebetulan tidak ditempati. 

Ketika suami keluar dari pekerjaan, saya berusaha memahami keadaannya, dan tidak pernah menuntut untuk memberi nafkah. Dengan mengatur secermat mungkin, gaji saya masih bisa untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Saya sering memberi dorongan agar suami mencari pekerjaan. Namun, ia acuh, bahkan marah dan menyuruh saya mencari laki-laki lain yang bisa memberi uang banyak. 

Menurut ajaran agama, apakah seorang suami diperbolehkan tidak memberi nafkah kepada keluarga atau tidak mau berusaha seperti suami saya itu?
Ny Tia-Brebes

Jawab: Ibu Tia, kami bisa memahami kebingungan ibu dalam menghadapi suami yang cuek terhadap kebutuhan keluarga. Menurut ajaran agama, suami berkewajiban memberikan nafkah, meliputi makan, pakaian, dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuan (QS AlBaqarah: 233, ath Thalaq: 6).

Di samping itu, sebagai pemimpin dalam keluarga, ia dituntut membimbing keluarganya ke jalan yang diridloi Allah. Suami yang dapat memenuhi kewajibannya memberi nafkah, akan mendapat pahala yang besar dari Allah, melebihi pahala sodaqoh lainnya (HR Imam Muslim).

Mengingat memberi nafkah itu kewajiban yang diperintahkan agama, maka langkah ibu untuk selalu mengingatkan suami agar mau bekerja dan mencari nafkah, itu sudah tepat. Kalau suami belum tergugah semangatnya, cobalah ibu bicara dari hati ke hati, dan tanyakan faktor apa yang menyebabkan dia belum mau bekerja seperti dulu. Mungkin ada kesulitan yang selama ini dipendamnya.

Yakinkan bahwa berkah dari rezeki itu tidak tergantung dari sedikit atau banyaknya jumlah, tetapi dari rahmat yang diberikan Allah, sehingga tidak perlu menolak peluang kerja yang penghasilannya tidak seperti yang diharapkan. (37)*
(Suara Merdeka 12 Maret 2008)

Rabu, 05 Maret 2008

Menantu Belum Shalat

Tanya: 
Setahun yang lalu saya menikahkan anak yang paling besar. Kami sekeluarga merasa bahagia melihat mereka rukun. Karena anak perempuan saya masih melanjutkan kuliah, maka ia bersama suaminya tinggal di rumah kami. 
Bagi saya dan suami, keberadaan mereka berdua menambah keceriaan keluarga. Namun, di balik kebahagiaan itu, ternyata ada gejolak perasaan yang dipendam anak saya, karena suaminya belum mau melakukan shalat lima waktu. Bagaimana cara kami agar dapat membantu menyadarkan menantu supaya ia ingat akan kewajibannya sebagai pemeluk Islam?
Ny Hartati-Klaten

Jawab: 
Ibu Tati, sebagai orang tua tentu ibu menginginkan yang terbaik bagi putri ibu. Termasuk, kebahagiaan dalam rumah tangga mereka. Bagi pemeluk Islam, kebahagiaan hidup itu tidak hanya sewaktu di dunia saja, tetapi juga di akherat kelak. 
Untuk mencapai kebahagiaan hidup, Allah telah memberikan petunjuk melalui kitab suci dan teladan dari Rasul-Nya. Di antaranya untuk mengerjakan shalat lima waktu (QS Al Baqarah: 238). Dan, yang meninggalkan shalat, termasuk orang yang berada dalam kesesatan (QS Maryam: 59). 
Karena itu, keinginan ibu untuk ikut menyadarkan menantu yang belum mau shalat adalah bentuk dari kasih sayang seorang ibu yang ingin melihat anak dan menantunya bahagia.
Di samping pahala, orang yang mengerjakan shalat secara benar akan memperoleh banyak manfaat, di antaranya dapat menjadi pengontrol perilakunya, sehingga dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (QS Al Ankabut: 45). 
Karena orang tersebut akan merasakan kedekatan dengan Allah yang Mahatahu dan mengawasi setiap gerak manusia. Hal ini dapat dijadikan sebagai bahan penyadaran, disertai dengan cara yang bijaksana dalam menyampaikannya. Sebab, anak yang sudah berumah tangga, belum tentu senang dengan campur tangan orang lain, termasuk orang tuanya.
Oleh karena itu, ibu sebaiknya tidak menegur langsung menantu, tetapi dapat memberi masukan lewat putri ibu yang lebih mengenal tabiat suaminya. Dengan demikian, dapat dipilih media yang sesuai dengan kondisi. 
Apakah melalui dialog putri ibu dengan suaminya atau lewat buku maupun ceramah langsung/lewat CD. Semua itu tergantung dari minat dan kepribadian sang menantu. Ibu dan suami dapat pula menciptakan keakraban yang mendukung tumbuhnya semangat beribadah, misalnya melalui shalat berjamaah. (37)*
(Suara Merdeka 5 Maret 2008)