Rabu, 05 Maret 2008

Menantu Belum Shalat

Tanya: 
Setahun yang lalu saya menikahkan anak yang paling besar. Kami sekeluarga merasa bahagia melihat mereka rukun. Karena anak perempuan saya masih melanjutkan kuliah, maka ia bersama suaminya tinggal di rumah kami. 
Bagi saya dan suami, keberadaan mereka berdua menambah keceriaan keluarga. Namun, di balik kebahagiaan itu, ternyata ada gejolak perasaan yang dipendam anak saya, karena suaminya belum mau melakukan shalat lima waktu. Bagaimana cara kami agar dapat membantu menyadarkan menantu supaya ia ingat akan kewajibannya sebagai pemeluk Islam?
Ny Hartati-Klaten

Jawab: 
Ibu Tati, sebagai orang tua tentu ibu menginginkan yang terbaik bagi putri ibu. Termasuk, kebahagiaan dalam rumah tangga mereka. Bagi pemeluk Islam, kebahagiaan hidup itu tidak hanya sewaktu di dunia saja, tetapi juga di akherat kelak. 
Untuk mencapai kebahagiaan hidup, Allah telah memberikan petunjuk melalui kitab suci dan teladan dari Rasul-Nya. Di antaranya untuk mengerjakan shalat lima waktu (QS Al Baqarah: 238). Dan, yang meninggalkan shalat, termasuk orang yang berada dalam kesesatan (QS Maryam: 59). 
Karena itu, keinginan ibu untuk ikut menyadarkan menantu yang belum mau shalat adalah bentuk dari kasih sayang seorang ibu yang ingin melihat anak dan menantunya bahagia.
Di samping pahala, orang yang mengerjakan shalat secara benar akan memperoleh banyak manfaat, di antaranya dapat menjadi pengontrol perilakunya, sehingga dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (QS Al Ankabut: 45). 
Karena orang tersebut akan merasakan kedekatan dengan Allah yang Mahatahu dan mengawasi setiap gerak manusia. Hal ini dapat dijadikan sebagai bahan penyadaran, disertai dengan cara yang bijaksana dalam menyampaikannya. Sebab, anak yang sudah berumah tangga, belum tentu senang dengan campur tangan orang lain, termasuk orang tuanya.
Oleh karena itu, ibu sebaiknya tidak menegur langsung menantu, tetapi dapat memberi masukan lewat putri ibu yang lebih mengenal tabiat suaminya. Dengan demikian, dapat dipilih media yang sesuai dengan kondisi. 
Apakah melalui dialog putri ibu dengan suaminya atau lewat buku maupun ceramah langsung/lewat CD. Semua itu tergantung dari minat dan kepribadian sang menantu. Ibu dan suami dapat pula menciptakan keakraban yang mendukung tumbuhnya semangat beribadah, misalnya melalui shalat berjamaah. (37)*
(Suara Merdeka 5 Maret 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar