Rabu, 25 Mei 2011

Minum Sedikit, Bolehkah?*

Tanya:
Saya pelajar kelas III SLTA swasta. Baru saja lulus ujian nasional.
Bersama teman-teman, saya merayakan kelulusan dengan makan
bersama di rumah M. Dia dari luar Jawa yang punya rumah di S. Dia
tinggal di rumah itu dengan saudara sepupu dan penjaga rumah.
Waktu kami berkumpul dan makan, datanglah J, saudara
sepupu M, membawa makanan ringan dan minuman. Selain minuman
dingin, ada pula minuman keras. J menawari kami minum
minuman keras itu. Katanya, biar badan hangat.
Sejak awal saya tak mau minum. Namun banyak teman mengolok-
olok saya sebagai remaja kurang gaul. Akhirnya saya terpancing
dan minum sedikit. Setelah itu saya pusing dan mabuk.
Sampai sekarang yang jadi pikiran saya adalah perbuatan itu termasuk
dosa atau tidak? Sebab, saya minum hanya sedikit dan terpaksa
karena diajak teman-teman. (Radit)

Jawab:
Ananda Radit, selamat atas kelulusan dalam ujian nasional.
Mensyukuri nikmat kelulusan bersama teman-teman boleh saja,
asal tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama. Anugerah
Allah itu perlu disyukuri melalui berbagai kegiatan, seperti sujud
syukur, menambah kerajinan dalam beribadah, serta berbagi kebahagiaan
dengan anak-anak kurang mampu atau anak yatim.
Allah akan menambah anugerah bagi hamba-Nya yang mau
mensyukuri nikmat yang diterima dengan memperbanyak
kebaikan. Bukan dengan minum minuman keras yang jelas dilarang
agama, sebagaimana disebutkan dalam Alquran yang berarti,
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi.
Katakanlah pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya“
(Surah Al-Baqarah: 219).
Dari ayat Alquran itu dapat diketahui bahwa minuman yang
memabukkan haram dan dari segi kesehatan terbukti dapat
merusak organ tubuh manusia, antara lain alat pencernaan dan
melemahkan fungsi saraf otak. Minuman itu diharamkan karena
zatnya, maka meski Radit meminum sedikit tetap haram. Dan,
keterpaksaan yang dibolehkan adalah dalam keadaan darurat,
misalnya untuk berobat dan tak ada obat lain yang bisa menyembuhkan,
kecuali minuman itu.
Adapun keterpaksaan Radit hanya karena malu diolok-olok
teman. Jadi tak termasuk kategori darurat. Karena itu sebaiknya
Radit segera mohon ampun pada Allah dan tak mengulangi lagi
pada masa datang. Teguhkan pendirian dalam mengikuti tuntunan
agama. Karena sanksi yang akan diperoleh oleh pelanggar akan
dirasakan sendiri. Yang telanjur perlu dijadikan pelajaran bagi Radit
dan teman lain bahwa perbuatan dosa sering terjadi tanpa direncanakan.
Maka ketika berteman pilihlah yang berkepribadian baik
dan taat pada ajaran agama. Ikutilah tobat itu dengan perbuatan
yang baik. Semoga Allah mengampuni dan memudahkan Radit
melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi dan bermanfaat. (51)
(Suara Merdeka 25 Mei 2011 h. 7)

Rabu, 18 Mei 2011

Saudara Suka Adu Domba*

Tanya:
Saya mahasiswi perguruan tinggi swasta. Selain saudara kandung,
saya punya sepupu T. Orang tua saya sudah menganggap
dia anak sendiri.
Saya punya lima saudara kandung. Semua sudah berkeluarga.
Orang tua kami sudah meninggal. Saat Ayah-Ibu hidup, kami
rukun dan saling bantu. Namun akhir akhir ini, kakak saya D dan M
tak bertegur sapa karena adu domba dari T.
T pernah menyampaikan berita pada M bahwa D menghina
istri M, yang dikatakan berasal dari keluarga tak mampu dan tak
sepadan dengan keluarga kami. Mendengar perkataan T, M
marah dan mendatangi D ke kantor. Mereka pun bertengkar.
Beberapa bulan kemudian ketahuan biang keladi
pertengkaran itu adalah T. Bagaimana cara merukunkan M dan D
yang sampai kini belum mau bertegur sapa? Kami sekarang
membenci T yang telah memecah-belah keluarga. Bahkan
kakak-kakak saya tak mengakui lagi T sebagai saudara. (Lian)

Jawab:
Lian, ya adu domba bisa menyulut permusuhan
antarsaudara dan menyebabkan perpecahan keluarga yang
semula saling menyayangi. Karena itu ancaman bagi orang yang
suka mengadu domba, menurut Rasulullah, adalah siksa sejak
di alam kubur sampai kelak hari kiamat (hadits riwayat Abi
Hurairah). Menghadapi berita yang diembuskan orang yang
suka mengadu domba sebaiknya waspada dan perlu mengecek
dulu kebenarannya. M mestinya menanyakan dulu pada D
kebenaran berita yang disampaikan T. Namun semua telanjur
terjadi. Jadi sekarang sebaiknya mereka berdamai dan saling
memaafkan.
Lebih baik bila M mau minta maaf pada D karena telah
berprasangka buruk dan mempermalukan D karena bertengkar
di kantor yang kemungkinan didengar teman-teman D. Untuk
mengembalikan suasana persaudaraan, Lian bisa meminta
saudara tertua mempertemukan dan mendamaikan M dan D.
Mereka perlu diingatkan pada masa indah sewaktu kerukunan
antarsaudara terjalin. Sampaikan pula betapa sedih hati
orang tua jika menyaksikan anak mereka bermusuhan. Islam
juga melarang mendiamkan saudara lebih dari tiga hari.
T perlu pula diberi peringatan bahwa akibat adu dombanya
keluarga jadi terpecah dan ada yang saling benci. Minta T tak
mengulangi perbuatan yang dilarang agama itu.
Sebaiknya Lian dan saudara lain tak membenci T. Maafkan
dia dan kuatkan ikatan persaudaraan sebagaimana ketika
orang tua masih hidup. Kerukunan itu akan membuat orang tua
bahagia jika mereka masih hidup. (51)
(Suara Merdeka 18 Mei 2011 h. 7)

Rabu, 11 Mei 2011

Suami Melarang Bekerja*

Tanya:
Saya mantan karyawati kantor swasta. Setelah menikah dan
punya anak satu berumur tiga tahun, saya ingin kerja lagi. Apalagi
ada kantor membutuhkan tenaga kerja yang sesuai dengan ijazah
saya. Saya melamar dan diterima.
Namun suami keberatan saya bekerja kembali dengan alasan
tak ada yang mengawasi anak. Padahal, ada pembantu yang
mengasuh. Meski kebutuhan materi dicukupi suami, saya toh
merasa perlu memanfaatkan ilmu.
Sekarang kami sering bertengkar karena suami selalu marah
ketika saya hendak berangkat kerja. Apakah saya harus mengikuti
kehendak suami keluar dari pekerjaan atau tetap bekerja, meski
dilarang? (Ria)

Jawab:
Ibu Ria, sebaiknya musyawarahkan kembali keinginan bekerja
lagi dengan suami. Keinginan bekerja menunjukkan Ibu ingin
mandiri di bidang ekonomi. Kemandirian itu baik agar tak terlalu
menggantungkan diri pada suami.
Tak ada yang tahu nasib seseorang. Jika terjadi PHK atau
suami sakit dan tak bisa bekerja, Ibu tak kesulitan memenuhi
kebutuhan rumah tangga karena punya penghasilan sendiri.
Namun pendapat suami perlu didengar. Jika bertujuan baik,
perlu dipatuhi. Jika suami mengetahui tujuan Ibu bekerja kembali
adalah mengamalkan ilmu dan membantu suami mempersiapkan
masa depan keluarga, mungkin dia akan mengizinkan Ibu
bekerja.
Jadi sebaiknya Ibu bicara dari hati ke hati dengan suami. Ibu
juga berusaha mengerti tujuan dari keberatan suami bila Ibu bekerja.
Mungkin alasan suami melarang Ibu bekerja sehingga bisa
mengawasi anak agar Ibu tak mengabaikan anak karena sibuk
bekerja. Ibu perlu meyakinkan suami bahwa Ibu akan tetap memperhatikan
anak. Misalnya, dengan mengontrol kegiatan pembantu
dalam memenuhi kebutuhan anak serta menggunakan
waktu istirahat siang agar bisa pulang sebentar karena jarak kantor
dan rumah dekat.
Mendidik anak kewajiban orang tua. Jadi Ibu tetap wajib
memperhatikan anak dan tak boleh menyerahkan sepenuhnya
ke pembantu. Membentuk kepribadian anak harus dimulai sejak
usia dini. Ibu perlu mengatur jadwal kegiatan agar tak melupakan
anak. Jika suami tetap keberatan Ibu bekerja di kantor, Ibu perlu
memahami dan menerima keputusan itu.
Ibu masih bisa mengembangkan diri dengan membuka
usaha di rumah. Banyak usaha di rumah dan berhasil. Untuk promosi,
Ibu bisa memakai media cetak dan elektronik agar usaha
dikenal masyarakat luas. Tinggal di rumah bukan berarti menganggur,
tetapi bisa tetap bekerja dan mendidik anak. Jangan
lupa berdoa pada Allah agar diberi kemudahan dalam berkarya
dan menyiapkan anak menjadi insan saleh dan bermanfaat. (51)
(Suara Merdeka 11 Mei 2011 h. 7)

Rabu, 04 Mei 2011

Bagaimana Cara Mengingatkan Suami?*

Tanya:
Saya ibu rumah tangga, suami wiraswasta. Kami sudah
menikah tujuh tahun, tetapi belum dikaruniai anak. Kami sudah
periksa ke dokter dan mengikuti saran orang tua dan saudara
untuk berobat alternatif. Namun sampai kini belum tampak tanda-tanda
akan mendapat keturunan.
Saya sedih disindir L (saudara suami) sebagai perempuan
mandul. Lebih menyakitkan, dia pernah melontarkan tawaran
pada suami saya untuk menikah lagi dengan perempuan yang
subur dan bisa memberikan keturunan.
Menghadapi semua itu, kami sepakat bersabar menunggu
hasil usaha dan doa kami dikabulkan Allah. Beberapa bulan lalu,
kami mendapat nasihat dari Paman R (adik ibu mertua) agar kami
tak putus asa memohon pada Allah dan rajin shalat tahajud.
Kami sepakat melakukan nasihat Paman setiap malam. Yang
jadi masalah sekarang, suami belum mau shalat malam. Bahkan
dia pernah marah ketika saya bangunkan untuk shalat tahajud.
Jadi saya tak berani lagi membangunkan dia. Bagaimana cara
mengingatkan suami agar mau melakukan nasihat Paman sebagaimana
kesepakatan kami?(Ratri)

Jawab:
Ibu Ratri, kesabaran setiap hamba Allah akan diuji melalui
beberapa kesulitan atau kegelisahan. Usaha Ibu bersama suami
untuk periksa ke dokter sudah tepat. Perlu kesabaran untuk
menunggu hasil usaha itu.
Nasihat Paman R agar Anda berdua tak putus asa dalam
berdoa dan berusaha perlu dijadikan peneguh untuk tetap tegar
dan pantang menyerah dalam berupaya mendapat keturunan.
Dengan shalat, hati jadi tenang dan memperoleh kekuatan batin
untuk menghadapi segala kesulitan dan kesedihan.
Menurut hadits riwayat Imam Tirmidzi, shalat tahajud dapat
menghapus dosa, mendatangkan ketenangan, dan menghindarkan
diri dari penyakit. Berdasar penelitian ilmiah Prof Sholeh,
shalat tahajud dapat meningkatkan ketahanan tubuh dan ketenangan
jiwa.
Karena itu, bila Ibu Ratri dan suami melaksanakan shalat
tahajud akan memperoleh kedekatan dengan Allah dan kesehatan
jasmani dan rohani yang mendukung keterwujudan keinginan
memperoleh keturunan.
Agar suami mau shalat dengan kesadaran, Ibu bisa memberitahukan
manfaat shalat tahajud dan mengingatkan kesepakatan
untuk melaksanakan bersama-sama. Rasulullah memuji
suami dan istri yang mau membangunkan pasangan masing-masing
untuk shalat tahajud pada malam hari. Semoga Ibu
bersama suami diberi kemudahan oleh Allah untuk memperoleh
keturunan yang saleh. (51)
(Suara Merdeka 4 Mei 2011 h. 7)