Rabu, 30 November 2011

Belum Lama Melahirkan, Sudah Ingin Kerja Lagi*

Tanya:
Saya seorang PNS, sudah menikah. Sebulan yang lalu, istri saya melahirkan anak pertama. Keluarga saya dan mertua sangat bahagia dengan kelahiran anak kami ini. Setiap pulang dari kantor, yang saya cari pertama adalah anak.
Demikian pula di waktu pagi sebelum ke kantor, saya selalu ikut menyiapkan keperluan untuk mandi anak kami.
Selama ini yang memandikan adalah ibu mertua, bahkan beliau juga yang mengurus sehari-harinya. Kami memang masih tinggal bersama mertua dan saya sudah meminta istri untuk menyiapkan sendiri keperluan anak kami. Namun sampai sekarang, ia lebih senang melakukan pekerjaan untuk dirinya sendiri daripada untuk melayani keperluan anaknya. Bahkan sejak beberapa hari yang lalu, ia ingin cari pekerjaan, karena ia merasa bosan di rumah sejak sebelum melahirkan.
Istri memang dulu bekerja di kantor swasta, dan sejak hamil lima bulan sudah mengundurkan diri. Saya ingin istri mengasuh anak kami dulu, dan bisa mendidiknya sesuai yang kami cita-citakan. Tetapi ia tetap bersikeras mau kerja. Apakah saya salah apabila melarang istri saya bekerja karena ia punya tanggung jawab merawat anak kami, dan penghasilan saya juga cukup untuk kebutuhan sehari-hari. (Ardy)

Jawab:
Pak Ardy, kebahagiaan yang ditunggu pasangan suami istri adalah hadirnya buah hati sebagaimana dirasakan oleh Pak Ardy beserta keluarga. Kelahiran anak yang menjadi penerus keluarga, adalah amanah dari Allah yang harus dirawat, dibesarkan dan dididik agar menjadi insan yang bertakwa, saleh, cerdas dan harapan lain yang selalu dipanjatkan oleh keluarganya.
Untuk mewujudkan harapan itu, orang tua punya kewajiban mendidik serta mencukupi kebutuhan jasmani dan rohaninya. Minimal sampai usia enam bulan, anak perlu diberi air susu ibu (ASI) untuk mendukung perkembangannya.
Karena itu, sebaiknya istri Pak Ardy perlu memperhatikan hal ini, agar tidak kehilangan kesempatan dalam mengupayakan perkembangan anaknya secara maksimal.
Menyusui anak tidak hanya diperlukan untuk mencukupi kebutuhan jasmaninya, tetapi juga kebutuhan psikis dan emosionalnya. Karena melalui dekapan dan belaian sewaktu ibu menyusui, anak akan merasakan kasih sayang serta rasa aman.
Demikian pentingnya kedekatan ibu dengan anaknya pada masa-masa pertumbuhannya, maka Pak Ardy perlu bicara dari hati ke hati dengan istri mengenai apa yang perlu dilakukan bersama agar anak bisa tumbuh sehat.
Sebagai suami, Pak Ardy punya hak untuk meminta pengertian istri akan kewajibannya sebagai ibu dari anak yang dilahirkannya. Kemukakan pula tentang keberatan Pak Ardy bila istri bekerja di luar rumah yang bisa mengganggu kedekatan ibu dan anak.
Apabila ia tetap ingin bekerja, maka Pak Ardy bisa memberikan tawaran untuk membuat usaha yang dilakukan di rumah, misalnya buka toko kelontong, salon atau usaha lainnya. Namun dengan catatan, kesibukan itu tidak akan mengganggu tugasnya sebagai ibu. Dengan cara semacam ini, maka keinginan istri tersalurkan untuk bisa bekerja, namun tetap dekat dengan anak.
Jangan lupa memohon pertolongan Allah agar Pak Ardy beserta istri diberi petunjuk dan kekuatan dalam mendidik anak sehingga tumbuh menjadi anak yang saleh. (24) (Suara Merdeka 30 November 2011 h. 7)

Rabu, 23 November 2011

Anakku Tertarik Pria Lain*

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, mempunyai anak tiga. Yang paling besar sudah berumah tangga dan punya dua anak, sedangkan dua anak lainnya masih kuliah. Anak yang sudah berumah tangga tersebut sekarang ini sedang tergoda laki-laki lain yang sudah punya istri dan anak. Saya tidak tahu apa penyebabnya ia tertarik pada M, laki-laki yang menggodanya. Padahal menantu saya, lebih baik dalam segalanya dibanding dengan M. Yang saya risaukan, sekarang ini anak saya ingin cerai dari suaminya dan akan menikah dengan M.
Sebagai orang tua, saya dan suami sudah berusaha menasihati anak kami, tetapi tidak membuat ia berubah keinginan. Kami juga sudah bicarakan masalah itu dengan menantu, ia juga mengaku masih mencintai anak saya, dan tidak akan menceraikannya. Saya lihat, menantu saya memang masih berusaha untuk tetap mempertahankan pernikahannya. Tetapi anak saya jarang bicara dengan suaminya, karena menantu saya memang sibuk dengan pekerjaannya di perusahaan swasta. Bagaimana cara memperbaiki rumah tangga anak kami yang seperti itu, karena saya dan suami menginginkan rumah tangga mereka kembali rukun dan damai. (Ny. Rustini)

Jawab:
Ibu Rustini, rumah tangga putri ibu sedang mengalami goncangan. Kalau dilihat hubungan putri ibu dengan suaminya, tampaknya ada persoalan yang membuat hubungan mereka tidak harmonis.
Mungkin kesibukan menantu ibu menyebabkan ia kurang memberikan perhatian pada istrinya, sehingga komunikasi suami dengan istrinya jarang dilakukan dan menyebabkan mereka enggan bicara satu sama lain. Meski suami sibuk, seharusnya komunikasi tetap dipelihara. Di sela kesibukan, tentu ada waktu sejenak untuk menjalin komunikasi dengan istri dan anaknya.
Hari-hari libur perlu dimanfaatkan untuk menciptakan kebersamaan dengan istri dan anak-anak. Ini merupakan salah satu jalan untuk memperbaiki hubungan yang kurang harmonis antara mereka.
Sebagai ibunya, Bu Rusti bisa bicara dari hati ke hati dengan putri ibu tentang situasi rumah tangganya yang tampak tidak harmonis dan keinginanannya untuk bercerai. Ibu bisa mengingatkan putri ibu akan kedudukannya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Sebagai isteri, ia perlu memahami tugas suami, dan menjaga hubungannya agar tetap baik sama suaminya. Apabila ada persoalan rumah tangga, sebaiknya segera dicari solusinya bersama suami. Kalau suami tidak pernah menyinggung tentang masalah rumah tangga atau persoalan suami istri, maka istri perlu proakif (berinisiatif) untuk mengajak bicara suami tentang persoalan yang dihadapi. Karena persoalan yang menumpuk, akan membuat istri jenuh dan akhirnya enggan berbicara. Di saat krisis seperti ini, putri Ibu akan mudah tergoda oleh laki-laki yang bisa memahami dirinya sebagaimana yang terjadi sekarang.
Untuk memperbaiki rumah tangga ananda, maka Ibu perlu bekerja sama dengan suami. Bapak juga perlu mendekati menantunya, dan bicara dari hati ke hati tentang problem rumah tangganya. Kalau memang ada persoalan menantu dengan istrinya, pertemukan keduanya dan mintalah mereka mencari solusi dari persoalan yang dihadapinya. Sadarkanlah mereka tentang pentingnya menjaga keutuhan rumah tangga, dan kepentingannya bagi masa depan anak-anak mereka.
Jangan lupa memohon pertolongan Allah agar rumah tangga putri Ibu bisa utuh kembali dan mendapatkan kebahagiaan berkeluarga. (24) (Suara Merdeka 23 November 2011 h. 7)

Rabu, 16 November 2011

Mengangkat Anak Saudara*

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, menikah tujuh tahun lalu, tetapi belum mempunyai anak. Suami bekerja sebagai konsultan di perusahaan swasta. Kami sudah periksa ke dokter dan berbagai jalan sudah kami tempuh agar bisa mendapatkan anak. Namun sampai sekarang belum berhasil. Orang tua kami juga sudah ingin menimang cucu, karena kebetulan saya dan suami adalah anak pertama dari keluarga kami masing-masing.
Beberapa bulan yang lalu, saya dan suami menengok R, saudara sepupu saya yang melahirkan anak kelima dan tinggal di kota P. Mereka semua menjadi anak yatim, karena ayahnya telah meninggal dunia lima bulan yang lalu.
Sepeninggal suaminya, R membuka warung kelontong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Entah kenapa, saya dan suami sama-sama merasa tertarik dan sayang dengan bayi yang baru lahir itu, sehingga kalau hari libur, kami pasti menjenguknya. Kami punya keinginan untuk mengangkat anak itu, dan tampaknya R juga tidak keberatan seandainya anaknya kami asuh.
Yang menjadi kendala adalah keraguan suami saya tentang masa depan anak itu apabila tahu bahwa kami bukan orang tua kandungnya. Kalau kami sudah telanjur sayang kepadanya, kemudian ia meninggalkan kami, tentu kami akan kesepian. Apakah kita boleh menutupi asal-usul anak itu, agar tidak terjadi hal yang tidak kami inginkan itu? (Lita)

Jawab:
Ibu Lita, keinginan ibu bersama suami untuk mengangkat anak R adalah perbuatan terpuji kalau dilandasi dengan niat untuk menolong R dan anak tersebut. Mengambil anak saudara atau orang lain, untuk diasuh dan dididik dengan kasih sayang, tentu akan menumbuhkan ikatan emosional anak dengan orang tua angkatnya. Kalau Bu Lita bersama suami memperlakukan anak angkat seperti anaknya sendiri, tentu anak juga akan merasakan kehangatan dan kasih sayang dari orang tua angkatnya. Anak juga akan merasakan kehilangan ketika berada jauh atau berpisah dengan Bu Lita dan suami. Maka kekhawatiran akan kesepian kalau ditinggal anak itu, tidak perlu dirisaukan, kalau ibu dan suami mencurahkan perhatian serta kasih sayang kepadanya.
Sebelum mengambil anak itu, Bu Lita dan suami perlu menata hati dan pikiran untuk menerima kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan, seandainya anak tahu siapa orang tua kandungnya. Menurut ajaran Islam, orang tua angkat tidak boleh menutupi asal-usul nasab atau silsilah keturunannya. Suatu saat kelak, sewaktu anak secara psikologis sudah siap menerima kenyataan bahwa ternyata yang selama ini mengasuh dan membesarkan bukan orang tua kandungnya. Maka Bu Lita dan suami perlu memberitahukan siapa ibu kandungnya. Untuk menjaga jangan sampai anak merasa dibuang oleh orang tuanya, dan mengakibatkan ia membenci ibu kandungnya sendiri, maka perlu hati-hati dalam menyampaikannya dan harus memilih waktu yang tepat.
Kalau Bu Lita bersama suami sudah mempertimbangkan segala sesuatunya, dan memutuskan untuk mengangkat anak R, maka luruskanlah niat dalam mengangkat anak itu, untuk menolong saudara yang ditimpa musibah dan mendidik anak itu menjadi saleh dan bermanfaat. Dengan demikian, apa pun yang terjadi kelak, tidak akan menimbulkan penyesalan ataupun kesedihan. Jangan lupa, mohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah, agar ibu dan suami diberikan kebahagiaan dalam berkeluarga. (24) (Suara Merdeka 16 November 2011 h. 7)

Rabu, 09 November 2011

Menjelang Pensiun, Suami Tergoda PSK*

Tanya:
Saya seorang PNS, demikian pula suami saya. Kami punya empat anak, sudah berumah tangga semua. Kami juga sudah punya cucu. Kehidupan kami semula tenteram.
Di samping sebagai pegawai, suami saya juga paranormal. Banyak orang yang datang ke rumah dan minta tolong berbagai urusan. Saya tidak pernah curiga maupun campur tangan pekerjaan suami. Karena saya percaya bahwa suami saya tidak akan berbuat yang menyimpang dari norma agama ataupun norma masyarakat.
Tetapi, di luar pengetahuan saya, ternyata suami saya tergoda seorang pekerja seksual komersial (PSK) yang sering datang dan minta pertolongan suami.
PSK itu mengaku, atas petunjuk paranormal lain, ia telah menemukan orang yang akan menjadi jodohnya. Ciri-ciri jodoh itu, katanya, ada pada diri suami saya.
Sejak PSK itu sering datang, suami saya telah lupa sama anak istri. Ia tergila-gila sama perempuan itu, dan saya sudah bosan untuk mengingatkan suami agar sadar dan kembali menjadi suami dan ayah yang baik.
Sekarang ini, kami sering bertengkar, bahkan ia pernah memukul saya. Sebenarnya saya malu dengan anak-anak kami, tetapi kalau dibiarkan saja, suami juga semakin jauh dari keluarga, dan terjerumus ke jalan yang dilarang agama.
Sebaiknya bagaimana menghadapi semua itu, apakah saya harus berdiam diri untuk mempertahankan rumah tangga atau saya perlu melaporkan hal itu ke pimpinan kantor suami? (Tuty)

Jawab:
Ibu Tuty, ibarat berlayar, perjalanan biduk rumah tangga ibu bersama suami itu sudah hampir mencapai pulau tujuan.
Namun, sebelum sampai, datanglah godaan yang mengancam keutuhan rumah tangga ibu. Sebagai istri yang sudah sekian lama mendampingi suami, Bu Tuty tentu tahu sifat-sifat suami.
Sebelum PSK datang, suami Ibu bisa menjaga diri dan Ibu mempercayai suami, kepercayaan yang Ibu berikan, sehingga tidak terjadi kasus yang meresahkan Bu Tuty. Namun dengan datangnya PSK, suami ibu berubah menjadi lupa pada istri dan anak-anak. Ia berubah seperti pemuda yang sedang jatuh cinta, dan lupa diri bahwa ia sudah beranak cucu.
Menghadapi semua ini, ibu tidak boleh berdiam diri. Bu Tuty bersama anak-anak perlu mengingatkan suami yang sedang salah jalan. Suami istri diperintahkan oleh Allah saling mengajak kepada kebaikan (amar ma'ruf) dan mencegah dari kemungkaran (nahi munkar) sebagaimana tersebut dalam Alquran yang artinya "Dan orang-orang yang beriman, laki laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya." (Alquran, Surat At-Taubah:71).
Jangan biarkan suami ibu terperosok ke jurang dosa yang lebih dalam, segeralah mengambil tindakan dengan menyadarkannya. Ibu perlu sabar dan kuat, jangan putus asa, lakukan terus-menerus bersama anak-anak. Kalau tidak ada perubahan, Ibu bisa minta bantuan pimpinan kantor suami untuk memberikan peringatan dan kalau diperlukan juga sanksi. 
Selain itu, Ibu juga perlu mengingatkan PSK agar tidak menggoda suami Ibu dan menjauhinya. Jangan lupa selalu mohon pertolongan Allah, agar badai yang mengancam keutuhan rumah tangga ibu segera berlalu serta berganti dengan kebahagiaan. (24) (Suara Merdeka 9 November 2011 h. 7)

Rabu, 02 November 2011

Terjebak Lagi*

Tanya:
Saya seorang karyawati sebuah instansi. Mempunyai seorang anak berusia 3 tahun. Saya menikah dengan G, yang bekerja sebagai PNS. Waktu itu, ia mengaku masih bujang, dan disebutkan pula dalam surat keterangan yang digunakan sebagai syarat pernikahan.
Setelah saya hamil, baru mengetahui bahwa G sudah punya istri dan anak. Bahkan istrinya pernah datang ke rumah kontrakan kami, dan memaki-maki saya dan G. Akhirnya G pulang ke rumah istri pertamanya itu dan saya ditelantarkan. 
Saya pernah mendatangi kantor G, awalnya saya bisa ketemu, dan ia memberi uang untuk keperluan anak kami. Namun hanya beberapa bulan, dan setelah itu ia sengaja menghindar.
Meskipun hati saya sakit, tetapi saya tidak mau mengejar dia. Setelah lama tidak dengar kabarnya, tiba-tiba ia datang ke tempat saya dan bersikap baik kepada saya dan anak saya. Karena itu, hati saya menjadi lunak dan ia saya biarkan tinggal bersama dengan kami. 
Sekitar tiga bulan yang lalu, ia pamit pergi ke rumah saudaranya. Ternyata ia bohong, karena sesungguhnya ia kembali ke rumah istri pertamanya. Apakah saya bisa meminta pertanggungjawabannya tentang nafkah untuk anak saya, termasuk yang sekarang ini masih dalam kandungan. (Lita) 

Jawab:
Ibu Lita, sebelum ibu memutuskan untuk menerima G sebagai suami, perlu mengetahui asal-usul dan kepribadiannya.
Namun karena Bu Lita selalu berprasangka baik, maka sampai beberapa kali G berbohong, ibu masih tetap berharap ia akan berubah menjadi baik.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur, maka yang perlu dilakukan sekarang adalah memikirkan masa depan anak-anak. Tampaknya G telah memilih untuk hidup bersama istri pertamanya. Maka Bu Lita perlu mengambil sikap yang tegas, agar tidak terjebak lagi dalam permainan G yang ujungnya hanya menambah beban Bu Lita.
Sebagai suami, G mempunyai kewajiban antara lain memberi nafkah, biaya rumah tangga, biaya perawatan kesehatan bagi istri dan anak (termasuk yang masih dalam kandungan) serta biaya pendidikan anak-anak.
Kalau selama meninggalkan Bu Lita, G tidak memberikan nafkah, maka ibu bisa mengingatkan agar kewajiban itu dipenuhi. Apabila ia tidak melaksanakannya, maka ibu bisa melaporkannya kepada pimpinan instansi tempat G bekerja.
Atau mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, jika jalan yang sudah ditempuh itu tidak berhasil. Jangan lupa memohon pertolongan Allah agar diberi petunjuk dan kekuatan dalam menyelesaikan masalah rumah tangga yang ibu hadapi. (24) (Suara Merdeka 2 November 2011 h. 7)