Rabu, 22 Oktober 2008

Memilih Jodoh

Tanya :
SAYA seorang ibu rumah tangga, mempunyai kemenakan perempuan bernama L. Dia sudah kerja. Semenjak kakak saya (ibunya L) meninggal dunia, maka L memilih ikut saya daripada ikut ayahnya. Sejak kecil ia memang sudah terbiasa dengan saya karena  pernah tinggal bersama kakak sewaktu masih sekolah SMA. Saya beserta suami menganggap  seperti anak kami sendiri. Sejak remaja ia rajin belajar dan banyak teman. Beberapa bulan yang lalu, L meminta pertimbangan tentang teman laki-laki yang mendekatinya. Ia bingung untuk memilih karena masing-masing punya kelebihan. Dan ia pun takut kalau salah pilih seperti temannya yang setelah menikah sering disakiti oleh suami pilihannya sendiri. Bagaimana kriteria memilih suami yang baik menurut tuntutan Islam? (Ny Ardiani) 

Jawab :
IBU Ardi termasuk yang beruntung karena punya kemenakan yang cerdas dan dewasa dalam berpikir. Kiranya L cukup hati-hati dalam berteman, termasuk dalam memilih calon suami. Meskipun banyak yang simpati dan secara terus-terang sudah menyatakan cinta, namun ia tidak mau terburu-buru menanggapinya. Dan sikapnya untuk meminta pertimbangan ibu dalam memilih calon suami menunjukkan bahwa ia menganggap Bui Ardi sebagai ibunya sendiri. Pada umumnya anak muda lebih banyak yang menuruti seleranya sendiri sehingga tidak banyak yang meminta nasihat orang tua memilih jodoh. 

Pemilihan jodoh merupakan langkah awal yang menentukan kebahagiaan hidup berumah tangga. Jika salah pilih, maka bukan ketenteraman yang diperoleh, namun penderitaan yang berkepanjangan. Sebelum menetapkan pilihan, perlu dicermati sesuai dengan tuntunan yang ditunjukkan agama. Antara lain, pertama, memunyai iman yang teguh dan akhlak yang mulia. Lelaki yang bertakwa kepada Allah akan menghormati dan memuliakan isterinya dan jika ia marah tidak akan memukul istrinya. Karena Allah memerintahkan agar para suami bergaul secara baik dengan istrinya sebagaimana sebagaimana dalam firman-Nya. ’’Dan pergauilah mereka (istrimu) dengan cara yang baik dan pantas (QS An-Nisa: 19).’’  

Untuk mengetahui kadar keimanan seseorang tidak cukup dengan melihat ibadahnya saja, tetapi juga dari sikap dan perilakunya yang baik seperti jujur, dapat dipercaya, menepati janji, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan harta yang haram.  Kedua, keturunan orang yang saleh, luhur budinya dan terhormat. Meskipun harta ikut memengaruhi kebahagiaan keluarga, namun tanpa disertai iman dan pribadi yang luhur, maka harta bisa menjadi sumber malapetaka. Sebaliknya jika digunakan sesuai tuntunan agama, maka akan mendatangkan kebahagiaan bagi keluarga. 

Dari tuntunan agama di atas, maka ibu dapat memberikan pertimbangan kepada L untuk memilih laki-laki yang sudah menyatakan cintanya. Selain kriteria di atas, maka jangan lupa mohon petunjuk kepada Allah melalui shalat istiharah agar dipilihkan jodoh yang dapat membawa pada jalan menuju kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat. (80)
(Suara Merdeka 22 Oktober 2008)

Rabu, 15 Oktober 2008

Diminta Nikah Siri

Tanya 

SAYA seorang janda beranak satu. Setahun lalu saya kenal laki-laki bernama H, duda dua anak yang sudah berumah tangga. Dari sekadar teman, akhirnya kami saling menyayangi. Ia ingin melamar saya dan mengajak segera menikah.

Meskipun saya menyayanginya, saya tidak mau cepat-cepat menikah karena anak saya R belum bisa menerima H sebagai pengganti ayahnya. Bulan lalu  H minta jawaban dan  ia tetap mengharapkan bisa menikah denganku. 

Sambil menunggu persetujuan anak saya, ia menawarkan untuk menikah sirri. Sambil jalan, ia akan berusaha untuk menyesuaikan dengan anak saya. Bagaimana sesungguhnya kawin siri itu? Apakah saya juga mendapatkan nafkah dari suami yang mengawini saya secara siri? (Dian) 

Jawab:  
Mbak Dian, rasa sayang Anda kepada H kiranya sudah berkembang ke arah cinta. Sehingga sudah siap untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Apalagi H juga sudah menyatakan niatnya untuk menikahi Dian. Sambil menunggu proses penyesuaian R dengan H, maka Dian dapat mempertimbangkan ajak H untuk segera menikah. 

Namun lebih baik menikah secara resmi di KUA sesuai dengan aturan negara, bukan nikah sirri. Kata “sirri” berarti rahasia. Kawin sirri biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan hanya dihadiri orang yang tertentu. Secara umum, perkawinan sirri dilaksanakan sesuai ketentuan syariat Islam. Seperti ada calon pengantin, wali, saksi, ijab-kabul dan mas kawin. Namun itu tidak dilakukan di depan pegawai pencatat nikah sehingga secara hukum negara belum sah. 

Menurut Undang-Undang, perkawinan harus dilangsungkan di hadapan  dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Maka Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum (kompilasi Hukum Islam pasal 6). 

Akibatnya, isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri, dari sisi hukum negara tidak mendapat pengakuan maupun perlindungan atas hak-haknya. Maka Isteri tidak dapat mengajukan tuntutan terhadap suami, apabila suami tidak memenuhi kewajibannya terhadap istri maupun anaknya. Termasuk dalam memberikan nafkah. 

Islam mengajarkan agar umatnya tidak merahasiakan pernikahan, bahkan harus dipublikasikan, di antaranya melalui walimahan/ pesta, Hal itu diketahui oleh masyarakat dan terhindar dari fitnah. 

Dengan merujuk pada ajaran itu, sebaiknya Dian tidak melakukan kawin sirri, yang dari sisi hukum tidak memberikan perlindungan bagi wanita maupun anak-anak. Agar hubungan antara putra ibu dengan H, bisa harmonis, cobalah selami apa keinginan anak terhadap figur pengganti ayahnya. 

Sampaikan keinginan itu kepada H sehingga ia dapat mengambil langkah untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan R. Ciptakan komunikasi yang lebih intensif antara H dengan R, meskipun hanya lewat telepon atau SMS. 

Mohonlah petunjuk dan pertolongan Allah agar diberi kemudahan dalam memperoleh kebahagiaan hidup berkeluarga yang diridai-Nya. (80)
(Suara Merdeka 15 Oktober 2008)

Rabu, 08 Oktober 2008

Malu Meminta Maaf

Tanya
SAYA seorang gadis, siswi SMU di kota S. Kami tingggal berdua dengan Ibu. 

Menurut cerita nenek, ayah saya sudah meninggal dunia sejak saya masih bayi. Beberapa waktu yang lalu ada P (saudara ayah) yang datang ke rumah. Ia mengatakan kepadaku sesungguhnya ayahku bernama D dan masih hidup. Ia tinggal di luar kota. D dulunya terkenal play boy. Mendengar cerita itu, saya menjadi benci pada nenek. 

Ramadan kemarin saya ikut pesantren kilat dan hati saya menjadi terbuka akan kebaikan nenek yang selama ini menjaga saya maupun ibuku. 

Dalam hati saya, ingin sekali di hari lebaran ini bisa meminta maaf kepada nenek. Tetapi ada rasa malu karena saya pernah berkata kasar kepadanya. Apakah saya boleh meminta maaf kepada nenek lewat telepon meskipun rumah saya tidak jauh?  (Rini) 


Jawab
Ananda Rini, perjalanan hidup yang sudah lewat tidak perlu disesali. Yang perlu dilakukan sekarang adalah menjadikan peristiwa itu sebagai peringatan agar tidak terulang lagi di masa mendatang. 

Rini juga tidak perlu berkecil hati atau merasa rendah diri karena dilahirkan oleh ibu yang telah melakukan kekhilafan di masa lalunya. Islam mengajarkan bahwa bayi yang dilahirkan adalah suci dari dosa orang tuanya. 

Allah menegaskan bahwa seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun, meskipun (yang memanggilnya) kaum kerabatnya (QS Fathir: 18). 

Apabila Rini telah menyakiti hati nenek dengan berkata kasar, maka segeralah Rini meminta maaf kepada Nenek. Nenek memang menolak lamaran D, tetapi semua itu dilakukan semata-mata karena rasa cintanya kepada anak dan cucu agar tetap terjaga kehormatannya. 

Karena itu, Rini perlu memahami hal ini dan sayangilah nenek yang telah ikut merawat dan membesarkan Rini. Dan untuk meminta maaf kepadanya, Rini tidak perlu malu. Kunjungilah ia dan bawakan sesuatu yang menjadi kesukaannya. 

Bahagiakan nenek di hari tuanya dengan perkataan yang lemah lembut dan sikap yang dapat menyenangkan hatinya. Jangan lupa selalu memohon kepada Allah agar nenek maupun Ibu Rini senantiasa diberikan kebagiaan di dunia sampai akhirat. (80)
(Suara Merdeka 8 Oktober 2008)