Rabu, 14 Oktober 2009

Adik Ipar Memusuhiku

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, memiliki lima saudara kandung yang semuanya sudah berumah tangga. Orang tua sudah wafat dan mewariskan beberapa tanah kepada kami. Kebetulan tanah yang diberikan kepada adik yang kedua dan ketiga letaknya berdekatan.

Beberapa waktu lalu, M —istri dari adik ketiga— datang ke rumah, untuk melaporkan batas tanah suaminya yang menurutnya makin sempit karena diambil adik kedua saya (L). Kata M, hal itu terjadi atas desakan istri L yang bernama H.

Setelah menerima laporan itu, saya mengumpulkan semua saudara dan bersama-sama melihat ke lokasi tanah yang diperselisihkan. Ternyata berdasarkan ukuran yang ada pada sertifikat masing-masing, serta sudah dicek petugas BPN, tidak ada perubahan.

Dengan demikian, laporan M tidak benar. Namun M tidak mau menerima kenyataan itu. Dia menuntut agar tanah L dikurangi dan ditambahkan ke bagian suaminya, karena menurutnya batas itu sudah diubah.

Sebagai anak sulung, saya berusaha netral dan menjelaskan hasil pengukuran petugas BPN. Tetapi M tetap tak mau menerima penjelasan saya, bahkan menuduh saya bersekutu dengan L dan H.

Lebaran kemarin, M tak mau ke rumahku. Anak-anaknya juga dilarang ikut bapaknya (adik saya) yang tetap mengunjungiku. Apa yang harus saya lakukan untuk menjaga agar keluargaku tidak pecah karena ulah adik ipar?
( Ny Tatik )

Jawab:
Ibu Tatik, sebagai anak sulung, ibu memang punya tanggung jawab menjaga keutuhan keluarga. Masalah warisan memang sering menimbulkan perpecahan keluarga. Keakraban di masa kecil dalam asuhan ayah dan ibu, dilupakan oleh sebagian orang setelah berumah tangga. Salah satu penyebabnya ya masalah  warisan.

Seandainya M bisa mengingat kembali ikatan persaudaraan suaminya dengan Ibu Tatik beserta saudara- saudara kandungnya, tentu dia tidak akan mempersoalkan tanah warisan itu. Jika luasnya selisih sedikit kan tidak mengapa, karena dengan saudara kandung suaminya sendiri. Dan tanah itu pun peninggalan orang tua suaminya.

Sebagian orang rela memberikan bagian warisannya kepada saudaranya yang kurang mampu atau diwakafkan untuk kegiatan sosial. Insya Allah, perbuatan itu termasuk amal jariyah yang pahalanya akan mengalir terus, meskipun yang memberikan wakaf sudah meninggal dunia.

Mengingat sifat M yang sulit menerima kebenaran, Ibu dapat meminta tolong adik yang menjadi suami M, agar memberi pengertian tentang pentingnya menjaga tali persaudaraan antarsaudara sekandung. Kalau M tetap menuntut tanah warisan suaminya ditambah, dan apabila L bersedia mengalah dan memberikan  sebagian tanahnya, mungkin masalah dapat diselesaikan.

Oleh karena itu, cobalah Ibu bicarakan masalah ini dengan L. Orang yang mau mengalah demi keutuhan keluarga, insya Allah akan ditambah rezkinya.

Jika M tak mau berkunjung ke rumah Ibu, maka kunjungilah dia agar tali silaturahmi tidak terputus. Jangan lupa mohonlah kepada Allah, agar keluarga Ibu disatukan  dengan rasa kasih sayang  dan tolong-menolong  antarsaudara sampai ke anak-anak bahkan generasi selanjutya. (32)
(Suara Merdeka 14 Oktober 2009)

Rabu, 07 Oktober 2009

Perceraian Ortu Menyakitkan

Tanya:
Saya seorang anak laki-laki berusia 14 tahun, memiliki dua adik masing-masing berumur delapan dan enam tahun. Orang tua saya baru saja bercerai. Hati saya merasa sakit sekali setiap mengingat peristiwa itu.

Menurut nenek, sebenarnya hubungan kedua orangtua (ortu) kami sudah lama tak harmonis. Tapi mereka masih berusaha menahan diri untuk tidak bercerai, mengingat anak-anak masih kecil. Namun perceraian itu tetap dilakukan, meski kami merasa masih terlalu muda untuk merasakan kepedihan akibat perceraian  itu.

Berbeda dengan saya yang amat terpukul dengan itu, maka adik-adik saya tampaknya tidak terpengaruh. Mungkin karena mereka masih kecil, sehingga belum faham arti perceraian. Terkadang saya ”iri” dengan adik-adik saya yang tanpa beban, sedangkan saya hampir setiap hari menahan sakit hati akibat perpisahan ayah dan ibu.

Andaikata perceraian itu terjadi sewaktu saya masih kecil, mungkin saya tak akan merasakan kesedihan yang berlarut-larut seperti ini. Apa yang harus saya lakukan untuk menghilangkan kesedihan ini? Saya amat menyayangi ayah dan ibu, dan ingin mereka bahagia dan bersatu lagi; bukan karena terpaksa, dan hanya untuk menyenangkan anak-anak.
(Aldi)

Jawab:
Ananda Aldi, perceraian memang meninggalkan kesedihan bagi suami-istri maupun anak-anaknya. Setelah bercerai, ada yang tetap berhubungan dengan baik, ada pula yang kemudian saling menjelekkan.

Hal semacam ini yang membuat anak-anak makin bingung dan sedih ketika menyaksikan ayah dan ibunya saling bertikai atau bermusuhan. Mau membela ibu, kasihan juga kepada ayah, demikian juga sebaliknya.

Karena itulah, perceraian dalam Islam menjadi perkara yang dibolehkan tetapi dibenci Allah. Mengapa perceraian dibolehkan? Jika dalam rumah tangga terdapat masalah, maka sebaiknya suami-istri memang perlu bermusyawarah untuk mencari  jalan keluarnya.

Tetapi kalau sudah diusahakan, namun tidak bisa diselesaikan dan menyebabkan salah satu atau keduanya menderita akibat masalah tersebut, maka Islam membolehkan mereka bercerai.

Misalnya, ada istri yang terpaksa minta cerai karena suaminya selalu bohong, suka menipu atau mencuri. Si istri merasa malu dan sedih atas perbuatan suaminya. Meski sudah mengingatkan berkali-kali, bahkan hingga bertahun tahun, suaminya tetap tidak peduli dan tidak mau memerbaiki kesalahannya. Kalau tidak diperbolehkan bercerai, maka isteri itu akan menderita terus.

Padahal tujuan pernikahan adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia. Jika dalam kenyataannya justru mendatangkan penderitaan, maka akan lebih baik bagi suami-istri itu untuk berpisah.

Kalau setelah berpisah kemudian muncul kesadaran untuk memerbaiki kesalahan, dan mantan suami-istri itu ingin rujuk kembali, maka ajaran Islam juga membolehkannya.

Karena itu, masih ada kesempatan bagi ayah dan ibu Aldi untuk bersatu lagi. Untuk memberi dorongan ke arah sana, Aldi dapat berbicara kepada ayah dan ibu, atau melalui surat.

Jangan lupa selalu mohon kepada Allah agar kedua ortu diberikan petunjuk dan dikuatkan rasa kasih sayang di antara mereka, agar dapat bersatu lagi sebagai suami-isteri serta mendapat kebahagiaan dalam berkeluarga.

Untuk mengurangi kesedihan Aldi, maka gunakan waktumu untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa dan shalat. Dan isilah waktumu untuk mengerjakan hal-hal yang positif  bagi masa depanmu. (32)
(Suara Merdeka 7 Oktober 2009)