Rabu, 22 Juni 2011

Ingin Anak Jujur*

Tanya: Saya seorang karyawati kantor swasta. Suami berwiraswasta di bidang elektronik.
Ia banyak keluar kota, dan salah satu hal yang tidak saya sukai dari suami adalah sifatnya yang suka berbohong.
Kebohongan itu tidak terkait dengan masalah perempuan, tetapi persoalan keuangan.
Suami pernah mendapat peringatan dari pimpinannya, karena suka menggunakan uang setoran. Meskipun ia selalu mengembalikan uang yang telah dipakainya, tetapi sebagai istri, saya merasa khawatir kalau suatu waktu ia tidak bisa mengembalikan lagi uang yang dipakainya.
Sekarang ini saya sedang mengandung anak pertama.
Sebagai calon ibu, tentu saya punya harapan anak saya menjadi anak yang jujur dan saleh, tidak suka berbohong seperti ayahnya. Bagaimana caranya agar suami menyadari kesalahannya, dan sifat suka bohong itu tidak menurun kepada anak kami. (Esti)

Jawab: Ibu Esti, ketenangan pikiran dan hati perlu diciptakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam masa mengandung, agar tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan janin. Oleh karenanya, ibu perlu bicara dari hati ke hati dengan suami tentang kebiasaannya memakai uang yang bukan miliknya dan meresahkan Bu Esti. Meskipun bisa mengembalikan, tetapi perbuatan itu dapat menjerumuskan suami dalam pelanggaran kepercayaan.
Kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa penyimpangan yang besar bermula dari hal-hal yang kecil, dan berakhir dengan dikenakannya hukuman sesuai dengan berat atau ringannya pelanggaran. Sebagai calon orang tua, Bu Esti dan suami punya kewajiban untuk mendidik anak-anaknya dengan budi pekerti yang luhur, termasuk dalam kejujuran. Rasulullah bersabda, yang artinya
"Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik" (Hadits riwayat Ibnu Majah).
Untuk memperoleh anak yang jujur, selain memberikan pengertian tentang makna kejujuran, maka orang tua perlu memberikan contoh dan membiasakan anak melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Keteladanan dari orang orang di sekitarnya, memudahkan anak untuk menirunya.
Maka mulai sekarang, suami dan ibu perlu mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua yang dapat menjadi contoh bagi anak yang sebentar lagi akan lahir. Kebohongan bukan penyakit keturunan, tetapi perilaku yang tidak baik dan bisa diubah menjadi jujur melalui kebiasaan yang terus-menerus.
Jangan lupa selalu mendekatkan diri pada Allah dan memohon agar dikaruniai anak yang saleh dan bermanfaat di dunia dan akhirat. (24)
(Suara Merdeka 22 Juni 2011 h. 7)

Rabu, 15 Juni 2011

Tak Bisa Bicara dan Ingin Tobat*

Tanya: Saya punya tetangga dekat yang sakit lama. Namanya P. Semula ia tidak bisa berjalan dan sekarang bertambah tak bisa bicara.Tetapi masih bisa menulis. Apabila ia ingin sesuatu, maka ia akan menuliskannya di kertas.
Beberapa hari yang lalu, waktu saya menjenguk di rumahnya, melalui tulisan, ia menanyakan cara bertobat dari dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Ia menyesal dulu pernah mengambil hak-hak karyawan yang bekerja di kantornya.
Sebelum sakit, ia pimpinan cabang sebuah kantor swasta.
Ia mengaku dulu sering memotong uang karyawan yang seharusnya diberikan bagi mereka yang bertugas melebihi jam kerja. Ia merasa bahwa sakitnya itu sebagai hukuman dari Allah, karena dosa-dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu.
Apakah ia perlu meminta maaf pada karyawannya dulu dan berterus terang tentang pengambilan hak mereka? (Ny. Lina)

Jawab: Ibu Lina, tetangga ibu yang sedang sakit itu perlu dibantu untuk mendapatkan ketenangan dalam hidupnya.
Selama sakit, P diberikan kesadaran oleh Allah untuk bertobat. Dibukakan ingatan akan dosa-dosanya yang telah lalu, di antaranya telah mengambil hak para karyawannya.
Perbuatan itu sudah melanggar hak manusia. Maka perlu segera bertobat.
Langkah yang perlu ditempuh adalah mohon ampun kepada Allah, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Disamping itu, P perlu menyelesaikan urusannya dengan sesama manusia, karena Allah akan mengampuni dosa yang terkait dengan hak manusia, kalau ia sudah meminta maaf dan mengembalikan apa yang menjadi hak orang lain, maka sebaiknya P segera meminta maaf kepada para karyawan dan mengembalikan hak mereka yang pernah diambil.
Berhubung P sakit, maka keluarganya dapat mewakili untuk menyampaikan permintaan maaf dan menyerahkan uang yang pernah diambil P kepada mereka yan berhak.
Memperoleh harta dengan mengambil hak orang lain itu menimbulkan ketidaktenteraman dalam hati, dan dilarang oleh Allah seperti tersebut dalam Alquran, yang artinya ’’Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang bathil.’’ (QS Al Baqarah :188).
Semoga setelah bertobat kepada Allah dan menyelesaikan urusannya dengan sesama manusia, hati P akan tenang, dan ketenteraman hati dapat membantu kesembuhan penyakit yang dideritanya. (24)
(Suara Merdeka 15 Juni 2011 h. 7)

Rabu, 08 Juni 2011

Tetangga Kerap Mengganggu*

Tanya:
Saya karyawati kantor swasta. Jam kerja saya sejak pagi hingga sore. Tiba di rumah terkadang malam karena harus ganti-ganti kendaraan. Saya takut pulang malam karena T, tetangga saya, kerap mengganggu dengan sapaan yang bernada melecehkan. Padahal, tak ada jalan lain. Jalan itu satu-satunya yang menuju rumah saya.
Kata L, tetangga saya yang lain, T pernah bilang suka pada saya. Saya makin takut T tahu saya sudah punya pacar dan sebentar lagi menikah.
Bagaimana sebaiknya saya bersikap pada T agar dia tak mengganggu dan tak marah atau berlaku nekat bila tahu saya hendak menikah? (Rini)

Jawab:
Mbak Rini, perlakuan T pada Anda sudah menyebabkan ketakutan dan ketidaktenangan dalam kehidupan sehari-hari.
Hidup tenteram, aman, dan damai adalah hak asasi manusia. T sudah berbuat sesuatu yang mengganggu hak asasi Anda.
Sebagai tetangga, seharusnya dia menghormati Anda. Bahkan bila perlu melindungi jika ada tetangga mendapat gangguan.
Tetangga ibarat saudara, bahkan melebihi saudara kandung.
Ketika kita kesusahan, tak jarang tetanggalah yang menolong atau datang lebih dulu.
Karena itu Rasulullah mengajarkan agar orang-orang beriman berbicara yang baik dan menghormati tetangga (hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim).
Sikap Anda untuk menghindari T dengan berdiam diri dan tak melayani godaan sudah tepat. Namun jika T tak menghentikan perilaku yang kerap mengganggu dan melecehkan itu, Anda bisa minta bantuan L atau orang yang disegani agar T menghentikan perbuatan yang mengganggu atau melecehkan itu.
Sebaiknya Anda menyampaikan pada L atau T bahwa sebentar lagi menikah. Status hampir menikah itu agar disampaikan pada T sehingga dia tak perlu menaruh harapan lagi pada Anda. Semoga T menyadari kesalahannya dan Anda bisa lewat jalan dekat rumah T dengan tenang. Jangan lupa mohon perlindungan Allah agar dijauhkan dari segala godaan dan diberi kedamaian dalam kehidupan pribadi dan rumah tangga kelak setelah menikah. (51)
(Suara Merdeka 8 Juni 2011 h. 7)