Rabu, 28 Mei 2008

Ayahku Belum Mau Beribadah

SAYA karyawan, belum menikah. Semenjak ibu meninggal saya hidup bersama ayah dan keponakan yang sekolah di SMP. Ayah adalah pekerja keras sehingga ia berhasil mengelola beberapa usaha. 

Dalam hal materi ia dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Tetapi dalam memberikan keteladanan belum bisa karena masih banyak kekurangan. Ia dulu suka iseng dengan wanita dan tidak mau shalat. Sampai sekarang, setelah usianya semakin tua dan mulai sakit-sakitan juga belum mau mengerjakan kewajiban shalat. 

Sebagai anak, saya sudah kehabisan cara mengajak atau membujuk ayah agar mau menjalankan kewajibannya. Apakah saya berdosa karena sering menasihati dan terkadang dengan nada jengkel? Ternyata perbuatan ayah itu berpengaruh kepada keponakanku yang ikut-ikutan tidak shalat.  (Mamad)

Jawab: 
Ananda Mamad, langkah Anda mengingatkan ayah sudah tepat. Karena, shalat merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Allah bahkan memberikan keringanan shalat. Misalnya bagi yang tidak menemukan air atau sedang sakit. Bagi yang sakit dan tidak dapat berdiri maka boleh mengerjakan shalat sambil duduk atau berbaring sesuai kondisi dan kemampuannya. 

Dengan adanya keringanan dan kemudahan yang telah diberikan Allah, maka tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk meninggalkan shalat lima waktu. Perintah menjaga shalat wajib itu ditegaskan dalam firman-Nya; ''Peliharalah segala shalat (mu) dan (peliharalah) shalat wusta. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu (QS Al-Baqarah: 238)''. Orang yang melalaikan shalat termasuk golongan celaka di akhirat (QS Al-Maun: 4-5). 

Sebagai anak, Mamad sudah sering mengingatkan dan mengajak pada jalan Allah. Mamad sudah tidak berdosa andaikata ayah belum mau melaksanakannnya. Namun yang diinginkan Mamad tentu bukan sekadar terbebas dari dosa, melainkan kebahagiaan bagi ayah di dunia dan akhirat. Maka, jangan putus asa mengingatkan. 

Perihal sikap Mamad selama ini yang terkadang jengkel, sebaiknya diubah. Allah telah mengajarkan agar manusia selalu bersikap baik dan berkata yang sopan dan lembut terhadap orang tua (QS Al-Isra: 23). Mohonlah maaf kepada ayah. Ajaklah bicara dari hati ke hati untuk menyadarkan kembali tentang kewajiban shalat yang sudah lam ditinggalkannya. (80)
(Suara Merdeka 28 Mei 2008)

Rabu, 21 Mei 2008

Maunya Poligami tapi ...

SAYA sudah beristri, tetapi belum punya anak. Kami menikah sudah enam tahun dan selama itu rumah tangga kami berjalan normal. Tetapi setelah saya bertemu R, teman SMA, perasaan terhadap L (Istri saya) jadi berubah. Perhatian saya sekarang ini hanya kepada R yang sedang mengalami kesusahan karena suaminya baru meninggal. Saya pernah menjajaki perasaan istri saya; bagaimana kalau saya menikah lagi agar dapat anak. Meskipun sampai sekarang L tidak tahu hubungan saya dengan R, namun hati saya gelisah dan takut kalau L tahu. Jadi bagaimana sebaiknya; apakah saya oleh kawin siri dengan R dan merahasiakan? 

Dody

Jawab: 
Pak Dody yang sedang bingung. Pergaulan antara dua orang yang berlainan jenis harus ada batasnya. Tolong-menolong atau persahabatan antara laki-laki dan perempuan adalah hal wajar. Namun sering pergi ke luar kota hanya berduaan itu dapat menjerumuskan dalam perbuatan dosa. Sesungguhnya hati kecil Pak Dody telah mengingatkan bahwa itu merupakan penyimpangan. Ada rasa takut diketahui oleh orang lain dan membuat Bapak gelisah. Maka segeralah kembali ke jalan yang benar dan menjalani kehidupan rumah tangga dengan L secara jujur. 
Bapak mengakui bahwa L adalah wanita yang setia dan penuh pengertian.

Bersamanya Bapak merasakan ketenangan berumah tangga. Mengapa Pak Dody tega mengkhianati cintanya dan ingin menikah lagi yang justru dapat menyulut pertikaian? Persoalan sampai sekarang Bapak belum dikaruniai anak, itu bisa dibicarakan dengannya. 

Apakah selama ini Bapak bersama istri sudah berupaya secara medis untuk bisa mendapatkan keturunan itu? Selain itu usaha rutin perlu disertai doa/ shalat tahajud untuk memohon kepada Allah agar dianugerahi anak yang saleh. Sambil menunggu hasil usaha secara medis, Bapak bersama istri dapat mengambil anak angkat. Dengan demikian, kebahagiaan keluarga akan bertambah tanpa harus bercerai dengan L atau mengawini R. 

Pertimbangkan secara mendalam keinginan untuk menikah lagi; apalagi nikah siri tidak diakui dari sisi hukum negara serta dapat menimbulkan pendeirtraan bagi perempuan dan anak. Pernikahan siri tidak memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak jika terjadi pengingkaran atas hak istri dan anak . (80)
(Suara Merdeka 21 Mei 2008)

Rabu, 14 Mei 2008

Bekerja di Hiburan Disuruh Cerai

Tanya:
Saya telah menikah dua tahun yang lalu dan sekarang mempunyai anak berumur satu tahun. Perkawinan kami sejak semula  tidak direstui orang tua karena M  istri saya dulu bekerja di tempat hiburan. 

Meskipun bekerja di tempat hiburan, tetapi dia seorang kasir. Ada syarat yang harus kami penuhi untuk mendapatkan restu. Jika terbukti serong, maka M harus diceraikan. Sekarang ini orang tuaku menyuruh cerai karena mereka melihat M pergi dengan lelaki lain ketika saya di kantor. Apakah saya harus mengikuti perintah itu, padahal saya mencintai M dan L anak kami.  

Anto-Boyolali.

Jawab:
Pak Anto, orang yang bekerja di tempat hiburan itu sering dipandang negatif oleh sebagian orang. Hal itu karena kenyataan bahwa bekerja di tempat  hiburan itu di-pandang memiliki profesi lainnya. Maka kekhawatiran orang tua Pak Anto terhadap M bisa dimengerti. 

Meskipun pandangan seperti itu tidak sepenuhnya benar karena di tempat hiburan ada juga gadis yang baik. Kalau menurut penilaian Anda M adalah wanita yang baik, maka berikan bukti-bukti agar orang tua bisa memercayainya. Mematuhi keinginan keinginan orang tua termasuk perbuatan terpuji yang diperintahkan agama. 

Perintah itu bukan untuk menyekutukan Allah (QS Lukman: 15) dan tidak menyimpang dari tuntunan agama. 

Namun dalam hal perceraian M bisa dibicarakan dari hati ke hati. Sebelum bertemu orang tua, maka Pak Anto perlu meminta penjelasan dari M tentang hubungannya dengan laki-laki lain itu. 

Kalau memang isteri bapak tidak melakukan hal-hal yang  tercela, maka ajaklah ia bertemu dengan orang tua Pak Anto sekaligus diminta menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. 

Apabila hal itu sudah dilakukan, namun orang tua tidak percaya dan tetap meminta Pak Anto menceraikan M, maka perintah orang tua itu perlu dipertimbangkan. Kalau hasilnya tida terbukti, maka permintaan orang tua tidak perlu dituruti. Karena perceraian merupakan perkara halal yang dibenci oleh Allah dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan anak. 

Selanjutnya mohonlah maaf kepada kedua orang tua, dan tetaplah berbakti. Mereka bersikap begitu karena tidak lain hanyalah ingin menjaga agar keturunannya terhindarkan dari perbuatan tercela yang dapat merusak kebahagiaan rumah tangga. (80)
(Suara Merdeka 14 Mei 2008)

Rabu, 07 Mei 2008

Iparku Punya Dua Suami

Tanya: Saya mempunyai ipar bernama K. Beberapa bulan yang lalu ia minta cerai dari suaminya, R, dengan alasan sudah sekian lama R tidak dapat memberi nafkah batin, karena sakit. Upaya penyembuhan sudah dilakukan ke berbagai pihak, tetapi belum sembuh juga. 

Selain itu, K tidak tahan terhadap sikap R yang suka marah dan melempar perabot rumah tangga. Namun, R menolak menceraikan istrinya. Sebagai pelarian atas keadaan rumah tangganya, K menjalin hubungan cinta dengan D. Bahkan, D berterus terang ingin melamar K. Suaminya sudah mengetahui skandal istrinya itu, tetapi ia tidak marah bahkan mengizinkan K berhubungan dengan laki-laki lain asal tidak minta cerai. Karena itu, K menerima lamaran D dan mengaku telah menikah siri dengan D. 

Apakah pernikahan K dengan D itu sah? K meminta saya untuk menyampaikan berita pernikahannya itu kepada suaminya, agar ia mau menceraikan. Bagaimana cara menyampaikan permintaan K kepada suaminya?

Ria-di kota M

Jawab: Perkawinan merupakan bersatunya dua orang yang berlainan jenis, berbeda kebiasaan, sifat, dan keinginan. Maka, tantangan dan godaan sering muncul, sebagaimana yang dialami K dan suaminya. Di satu sisi, K sudah cukup sabar menghadapi kondisi dan sifat suaminya yang kasar. Namun, di sisi lain, K telah mengambil jalan pintas untuk menikah lagi dengan D, padahal ia masih terikat tali pernikahan dengan R. Jika suaminya tidak mau menceraikan, sedangkan ia tidak dapat lagi memberikan nafkah batin bagi istri, maka K dapat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Hal ini dibolehkan, karena suami menderita sakit yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-istri (Kompilasi Hukum Islam Pasal 116). 

Jika perceraian sudah terjadi dan sudah habis masa iddahnya, barulah K boleh kawin dengan D. Selama masih dalam masa iddah (sekurang-kurangnya 90 hari), perempuan yang sudah cerai dari suaminya tidak boleh menerima pinangan atau menikah dengan pria lain (Kompilasi Hukum Islam Pasal 151). Maka, dalam kasus K ini, perkawinan dengan D adalah tidak sah, karena K masih terikat satu perkawinan dengan pria lain (Kompilasi Hukum Islam Pasal 40). Maka, hubungan suami-istri yang dilakukan K dengan D termasuk zina. Untuk itu, harus segera dihentikan. 

Ria dapat menyampaikan berita pernikahan K dengan D kepada suami K. Dan, memberikan bahan pertimbangan bagi R tentang permintaan cerai istrinya. Kalau memang mereka sudah tidak bisa bersatu lagi, maka perceraian merupakan jalan terbaik. Karena jalan keluar yang ditawarkan R kepada istrinya dengan memberi kebebasan untuk berteman dengan laki-laki lain, justru menjerumuskan R dalam perbuatan dosa. Untuk mendapatkan kemantapan dalam pengambilan keputusan, ajaklah K maupun R untuk melakukan shalat istikharah, dan memohon petunjuk Allah agar dipilihkan jalan terbaik bagi keduanya. (37)
(Suara Merdeka 7 Mei 2008)