Rabu, 26 Agustus 2009

Berdamai dengan Suami

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga yang sudah menikah selama tiga tahun, tetapi belum dikaruniai seorang anak. Suami saya wiraswasta di bidang elektronik.

Sedangkan saya semula bekerja di kantor swasta. Tetapi sejak setahun lalu berhenti dari kantor, dan sekarang sedang merintis usaha yang dapat ditangani dari rumah.

Saya tinggal bersama mertua dan saudara ipar yang sudah berkeluarga. Lingkungan tempat tinggal kurang baik, karena masih ada kebiasaan mabuk-mabukan, judi, dan lainnya yang menyimpang dari norma agama.

Karena lingkungannya seperti itu, saya meminta suami tidak terpengaruh untuk ikut-ikutan.

Pada awal pernikahan, suami banyak tinggal di rumah.Tetapi sekarang, kalau di rumah ada masalah atau habis bertengkar dengan saya, maka pelariannya adalah ngumpul dengan teman-temannya, dan terkadang pulang sampai larut malam dan kemudian tidak salat.

Kalau saya ingatkan, dia marah dan saya dicuekin. Karena suasana rumah tangga yang seperti itu, saya kemudian pulang ke rumah orang tua saya. Meskipun kesal, saya tetap minta izin suami untuk pergi ke ortu saya. Ia hanya diam, tetapi tampak kalau marah dan tidak suka dengan kepergian saya ke rumah ortu.

Sampai sekarang ia tidak menelepon atau menanyakan kapan saya pulang ke rumah. Apakah saya harus memulai lebih dulu untuk berkomunikasi, atau saya diamkan saja.

Sesungguhnya di Bulan Suci ini, saya ingin menjalani puasa dan tarawih bersama suami. Tetapi yang terjadi justru kami hidup sendiri-sendiri. Bagaimana caranya saya bisa kembali rukun dan dapat membangun keluarga yang sakinah?
(Tia)

Jawab:
Ibu Tia,dalam rumah tangga, suami adalah penolong istri dan istri juga penolong suami. Saat ini, suami Ibu Tia punya masalah dengan lingkungan yang kurang mendukung untuk pembinaan keluarga sakinah.

Maka Ibu perlu selalu mendampingi dan membantunya agar bisa keluar dari masalah tersebut. Meskipun sudah lama bergaul, terkadang suami dan istri belum dapat memahami pribadi pasangannya. Sehingga perlu senantiasa diupayakan saling pengertian di antara keduanya.

Suami Ibu Tia termasuk yang rentan terhadap konflik. Maka ketika mempunyai masalah di kantor atau sehabis bertengkar dengan Ibu Tia, ia melarikan diri untuk melupakan persoalan yang dihadapi.

Selama ini, pelariannya adalah berkumpul dengan teman-temannya yang berpengaruh buruk terhadap pengamalan agamanya.  Agar akibat pergaulan itu tidak makin menjerumuskan suami ke perbuatan dosa lainnya, sebaiknya Ibu Tia segera kembali ke rumah mertua dan bantulah suami menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Pertengkaran dalam rumah tangga antara suami dan istri adalah hal yang wajar terjadi. Hal itu merupakan bagian dari upaya penyesuaian diri dan saling memahami antara suami dan istri. Oleh sebab itu, kalau ada masalah sebaiknya segera diselesaikan bersama. Jangan ditunda atau bahkan melarikan diri dari masalah.

Usahakan masing masing pihak tidak meninggalkan rumah dalam keadaan marah, atau persoalan belum selesai. Sikap ibu untuk tetap menghormati suami dan meminta izinnya ketika akan ke rumah orang tua sudah tepat. Akan lebih baik lagi kalau kepergian ibu ke rumah ortu bersama suami.

Agar di bulan suci ini ibu dapat melanjutkan upaya membina keluarga yang sakinah, maka segera jalinlah komunikasi dengan suami dan kembalilah berkumpul dengannya. Ajaklah suami salat tarwih bersama di rumah atau masjid. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Alquran.

Kalau suami belum bisa membacanya, maka Ibu bisa melatihnya sendiri. Atau kalau suami lebih suka berlatih dengan orang lain, mintalah bantuan orang lain yang bisa membimibing suami dalam membaca Alquran maupun ibadahnya. Jangan lupa mohon petunjuk dan pertolongan Allah agar ibu bersama suami diberi kedamaian dan segera diberi keturunan yang salih, agar menjadi perekat cinta antara Ibu Tia dan suami. (32)

(Suara Merdeka 26 Agustus 2009)

Rabu, 19 Agustus 2009

Sendiri pada Bulan Suci

Tanya:
Saya  seorang janda, bekerja di sebuah kantor swasta. Setahun yang lalu, suami saya meninggal dan kami belum dikaruniai seorang anak. Sampai sekarang, saya belum menikah lagi,meskipun ada orang yang  pernah dekat dengan saya.

Setelah setahun menjalani hidup sendiri, terkadang muncul pikiran untuk berumah tangga lagi. Orangtua dan saudara-saudara sering meminta saya untuk menikah lagi. Menjelang Bulan Puasa ini, saya teringat betapa senangnya berbuka puasa, salat tarawih, dan sahur bersama suami. Sedangkan tahun ini, saya harus menjalaninya sendiri.

Beberapa bulan lalu, saya ketemu teman kuliah di masa lalu. Dia menyatakan ingin hidup bersama saya. Tapi sampai sekarang saya belum memberi jawaban. Saya terombang-ambing antara perasaan ingin hidup sendiri dan berkeluarga. Jika hidup sendiri, terkadang merasa bebas, tanpa beban, meski juga terkadang merasa sepi.

Kalau menikah lagi, saya khawatir pendamping saya tidak sebaik almarhum suami saya. Apa sebaiknya yang harus saya lakukan? Apakah harus menikah, atau hidup sendiri saja?
(Lina)        

Jawab:
Kami bisa memahami keraguan Ibu Lina untuk menikah, karena sudah mampu mencukupi kebutuhan sendiri dan tak ingin direpotkan oleh persoalan keluarga. Namun, sebagai wanita normal, Ibu terkadang membutuhkan lawan jenis yang bisa diajak bertukar fikiran dan teman dalam menjalankan ibadah.

Ini menunjukkan bahwa manusia, secara fitrah, membutuhkan pasangan. Untuk itulah, Islam memberi tuntunan agar umatnya melaksanakan pernikahan, sehingga terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta dapat melahirkan keturunan yang salih atau salihah .

Dengan adanya perkawinan, terjagalah seseorang dari  perbuatan dosa yang disebabkan oleh desakan nafsu syahwatnya. Menurut Islam, perkawinan bisa menjadi sunah hukumnya bagi orang yang sudah mampu kawin, tetapi masih bisa menahan hawa nafsunya sehingga tidak terjerumus dalam perzinaan.

Namun perkawinan menjadi wajib hukumnya bagi seseorang yang sudah mampu kawin dan tidak kuat menahan hawa nafsunya. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menikah, karena dengan pernikahan itu akan lebih mampu menjaga mata dan kemaluannya dari yang dilarang Allah (HR JamaĆ­ah).

Dengan adanya perkawinan, selain untuk menjaga diri dari perbuatan zina, sepasang suami-istri dapat saling tolong-menolong dalam mengerjakan ibadah dan berbuat kebaikan, serta menjauhkan diri dari kemungkaran sebagaimana diperintahkan Allah, yang artinya:

’’Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang baik dan mencegah yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya’’ (QS at Taubah: 71).

Dengan terjadinya perkawinan, akan terjaga pula kelangsungan keturunan, yang berarti terjaga pula keberadaan manusia di bumi ini. Begitu penting pernikahan bagi manusia, maupun kelangsungan keturunannya, maka Islam mencela hidup membujang selamanya. Keinginan Ibu Lina untuk bersuami lagi sesuai dengan perintah agama. Maka tinggal memantapkan pilihan pada laki-laki yang ibadah dan akhlaknya baik.

Dengan demikian, keinginan untuk melaksanakan ibadah bersama seperti puasa, tarawih, dan sahur bersama suami dapat terwujud. Semoga Ibu Lina memperoleh petunjuk Allah dalam memilih jodoh yang salih, dan dapat menjadi teman dalam menjalankan perintah agama, serta mencari kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat kelak. (32)

(Suara Merdeka 19 Agustus 2009)

Rabu, 05 Agustus 2009

Campur Tangan Mertua

Tanya:
Saya seorang PNS, punya  dua anak balita. Setiap hari, saya dan suami berangkat kerja bersama, meski kantor kami berbeda. Kami sekeluarga tinggal bersama mertua, karena suami anak bungsu dan dua kakaknya tinggal di luar kota.

Selama ini, saya dan suami banyak berutang budi kepada mertua kami, karena mereka berdua banyak meluangkan waktu untuk menemani anak-anak.
Tetapi ada hal yang kurang menyenangkan, terutama yang sering dilakukan ibu mertua. Saya dan suami tidak pernah mempersoalkan hal itu, karena kami menghormati ibu.

Dua tahun lalu, ayah mertua meninggal. Mungkin karena kesedihan yang berlarut-larut, sekarang ibu mudah marah. Kami juga sering kena marah, tetapi saya dan suami bersepakat memendam perasaan agar tidak terjadi konflik dikeluarga. Tetapi akhir-akhir ini, saya lebih sering jadi sasaran kemarahan.

Yang lebih menyakitkan, setiap marah ibu mertua selalu mengungkit-ungkit pacar-pacar suami yang katanya lebih cantik, dan lebih memerhatikan saya. Akibatnya, saya sering berselisih dengan suami, karena saya ingin pindah rumah, tetapi suami mau tetap bersama ibu mertua. Bagaimana sebaiknya, apakah kami harus berpisah?
(Ny Mulyati)

Jawab:
Ibu Mulyati, ibu mertua saat ini masih belum bisa melepaskan diri dari duka sepeninggal suaminya. Perasaannya belum stabil, sehingga sering marah. Ibu Mul menjadi sasarannya, karena yang ada di rumah hanya Ibu, suami, dan anak-anak.

Meski kena marah, Ibu dapat mengendalikan diri sehingga tidak terjadi konflik terbuka melawan ibu mertua. Sikap ibu yang diam dan sabar dalam menghadapi mertua yang sedang marah itu sudah tepat dan terpuji.

Kesabaran itu masih diperlukan untuk membantu memulihkan perasaan ibu mertua yang mengalami goncangan akibat wafatnya suami yang sekian lama menjadi pendamping dalam suka dan duka.

Agar proses pemulihan itu tidak mengalami hambatan, sebaiknya Ibu menunda dulu keinginan untuk pindah rumah. Kalau dilakukan, itu bisa menambah masalah baru, seperti kesepian dan kesedihan bagi ibu mertua, karena merasa anak bungsu dan menantunya sudah tidak sayang lagi kepadanya, dan tak mau lagi tinggal bersama.

Karena itu, Ibu perlu meneguhkan kesabaran. Perbanyak salat tahajud, ungkapkan semua kesedihan dan kekecewaan di hadapan Allah. Jangan lupa doakan ibu mertua agar diberi petunjuk, dilapangkan hatinya, sehingga tak menjadi pemarah lagi. Dengan demikian, ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarga Ibu Mul akan tercipta kembali. (32)

(Suara Merdeka 5 Agustus 2009)