Rabu, 19 Agustus 2009

Sendiri pada Bulan Suci

Tanya:
Saya  seorang janda, bekerja di sebuah kantor swasta. Setahun yang lalu, suami saya meninggal dan kami belum dikaruniai seorang anak. Sampai sekarang, saya belum menikah lagi,meskipun ada orang yang  pernah dekat dengan saya.

Setelah setahun menjalani hidup sendiri, terkadang muncul pikiran untuk berumah tangga lagi. Orangtua dan saudara-saudara sering meminta saya untuk menikah lagi. Menjelang Bulan Puasa ini, saya teringat betapa senangnya berbuka puasa, salat tarawih, dan sahur bersama suami. Sedangkan tahun ini, saya harus menjalaninya sendiri.

Beberapa bulan lalu, saya ketemu teman kuliah di masa lalu. Dia menyatakan ingin hidup bersama saya. Tapi sampai sekarang saya belum memberi jawaban. Saya terombang-ambing antara perasaan ingin hidup sendiri dan berkeluarga. Jika hidup sendiri, terkadang merasa bebas, tanpa beban, meski juga terkadang merasa sepi.

Kalau menikah lagi, saya khawatir pendamping saya tidak sebaik almarhum suami saya. Apa sebaiknya yang harus saya lakukan? Apakah harus menikah, atau hidup sendiri saja?
(Lina)        

Jawab:
Kami bisa memahami keraguan Ibu Lina untuk menikah, karena sudah mampu mencukupi kebutuhan sendiri dan tak ingin direpotkan oleh persoalan keluarga. Namun, sebagai wanita normal, Ibu terkadang membutuhkan lawan jenis yang bisa diajak bertukar fikiran dan teman dalam menjalankan ibadah.

Ini menunjukkan bahwa manusia, secara fitrah, membutuhkan pasangan. Untuk itulah, Islam memberi tuntunan agar umatnya melaksanakan pernikahan, sehingga terbentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta dapat melahirkan keturunan yang salih atau salihah .

Dengan adanya perkawinan, terjagalah seseorang dari  perbuatan dosa yang disebabkan oleh desakan nafsu syahwatnya. Menurut Islam, perkawinan bisa menjadi sunah hukumnya bagi orang yang sudah mampu kawin, tetapi masih bisa menahan hawa nafsunya sehingga tidak terjerumus dalam perzinaan.

Namun perkawinan menjadi wajib hukumnya bagi seseorang yang sudah mampu kawin dan tidak kuat menahan hawa nafsunya. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menikah, karena dengan pernikahan itu akan lebih mampu menjaga mata dan kemaluannya dari yang dilarang Allah (HR Jamaíah).

Dengan adanya perkawinan, selain untuk menjaga diri dari perbuatan zina, sepasang suami-istri dapat saling tolong-menolong dalam mengerjakan ibadah dan berbuat kebaikan, serta menjauhkan diri dari kemungkaran sebagaimana diperintahkan Allah, yang artinya:

’’Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang baik dan mencegah yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya’’ (QS at Taubah: 71).

Dengan terjadinya perkawinan, akan terjaga pula kelangsungan keturunan, yang berarti terjaga pula keberadaan manusia di bumi ini. Begitu penting pernikahan bagi manusia, maupun kelangsungan keturunannya, maka Islam mencela hidup membujang selamanya. Keinginan Ibu Lina untuk bersuami lagi sesuai dengan perintah agama. Maka tinggal memantapkan pilihan pada laki-laki yang ibadah dan akhlaknya baik.

Dengan demikian, keinginan untuk melaksanakan ibadah bersama seperti puasa, tarawih, dan sahur bersama suami dapat terwujud. Semoga Ibu Lina memperoleh petunjuk Allah dalam memilih jodoh yang salih, dan dapat menjadi teman dalam menjalankan perintah agama, serta mencari kebahagiaan hidup di dunia sampai akhirat kelak. (32)

(Suara Merdeka 19 Agustus 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar