Rabu, 25 Januari 2012

Suamiku Sakit akibat Ketidakadilan*

Tanya:
Saya seorang karyawati sebuah kantor swasta. Suami saya bekerja sebagai PNS. Kami punya tiga anak, yang semuanya masih sekolah.
Dua orang di tingkat SMA dan yang paling besar di perguruan tinggi swasta. Sudah setahun ini, suamiku sakit dan tidak bisa bekerja . Sebelum sakit, ia pernah mengeluhkan sikap pimpinannya yang dinilainya tidak adil. Banyak keputusan yang dibuat berdasar kemauannya sendiri, yang menimbulkan penderitaan bagi orang yang tidak disukai dan keberuntungan bagi orang yang disukai.
Suami saya termasuk yang tidak disukai, karena sering membela teman-temannya yang mendapat perlakuan semena-mena. Sesungguhnya suamiku termasuk pendiam, tidak banyak bicara. Bagaimana caranya agar suami bisa sembuh dari penyakitnya, karena pengobatan sudah ditempuh lewat berbagai usaha. Namun sampai sekarang belum membaik, bahkan suami banyak diam. (Rika)

Jawab:
Ibu Rika, suami ibu termasuk seorang pendiam yang menjadi korban dari sikap pimpinan kantornya. Sebagian orang memandang pendiam itu orang yang lemah dan pasrah terhadap nasibnya. Karena itu, sering diabaikan oleh pimpinan yang hanya mendengarkan kata hatinya atau lebih mendengarkan perkataan orang-orang yang pandai bicara dan mencari muka. Akibat dari ketidakadilan itu menyebabkan suami ibu sakit, karena menahan perasaan dalam waktu yang cukup lama.
Agar beban perasaannya berkurang, maka ibu bisa memancing pembicaraan agar suami mau mengeluarkan semua kekecewaan yang dipendamnya selama ini. Berikan pula dukungan moral agar suami menyerahkan balasan atas ketidakadilan itu pada Allah. Atau membawanya pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), manakala pimpinan itu melanggar aturan/sumpah jabatannya.
Sebagai pimpinan suatu lembaga, maka seseorang harus mematuhi aturan dalam menjalankan tugasnya. Maka pimpinan tidak boleh membuat kebijakan atas dasar suka dan tidak suka, yang akibatnya tentu menimbulkan kebencian atau kekecewaan.
Karena itu, maka Allah mewajibkan setiap mukmin agar berlaku adil sebagaimana disebutkan dalam Alquran yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Alquran, Surat Al Maidah: 8).
Pimpinan adalah orang yang diberi amanah oleh Allah, dan kelak akan ditanya tanggung jawabnya selagi memimpin. Suami ibu dan teman-temannya yang diperlakukan tidak adil, besok pada hari akhir akan menjadi saksi atas ketidakadilan pimpinan tersebut. Dan percayalah bahwa Allah akan memberikan balasan yang setimpal atas perbuatannya.
Agar hati menjadi tenteram, ajaklah suami mendekatkan diri pada Allah dengan melakukan shalat tahajud. Sampaikan semua keluh kesah dan penderitaan yang selama ini terpendam, pasrahkan semua kepada-Nya.
Semoga Allah akan memberikan kesembuhan dan kekuatan pada suami ibu dalam menghadapi cobaan dalam kehidupan ini. (24) (Suara Merdeka 25 Januari 2012 h. 7)

Rabu, 18 Januari 2012

Anakku Dibesarkan dalam Ketakaburan*

Tanya:
Saya seorang karyawati kantor swasta. Suami bertugas di luar kota. Dua minggu atau sebulan sekali ia pulang. Kami sudah punya anak satu berusia empat tahun, dan kami tinggal bersama mertua. Karena pembantu yang biasa mengasuh anak pulang kampung, maka untuk sementara yang menggantikan tugas mengasuh anakku adalah kemenakan suami dan diawasi oleh ibu mertua.
Sebagaimana umumnya seorang nenek, ibu mertua sangat sayang pada anakku. Karena hanya anakku yang tinggal bersamanya, sedangkan cucu dari anak-anak lainnya ada di luar kota.
Keluarga suami termasuk orang terpandang dan berkecukupan. Hal ini berdampak pada cara mendidik anak saya, dengan mengajarkan bahwa keluarga suami adalah lebih mulia dibanding anak-anak di sekitar tempat tinggal mertua yang kebetulan perkampungan. Bahkan untuk berteman di sekolah, ibu mertua juga memberi petunjuk kepada kemenakan agar anakku bergaul dengan yang sepadan. Melihat sikap takabur yang ditanamkan pada anak saya itu, saya sedih karena tidak ingin anak saya tumbuh menjadi anak yang sombong. Saya ingin meluruskan sikap ibu mertua itu, tetapi khawatir ia tersinggung atau menganggap saya menggurui.
Sewaktu hal itu saya sampaikan kepada suami, ia mengatakan kalau anak sudah besar kelak akan bisa memikirkan mana yang baik. Bagaimana sebaiknya Bu, apakah kami menyerahkan saja pada kemauan ibu mertua atau perlu mengubah cara pendidikan yang seperti itu. (Ny Lia)

Jawab:
Ibu Lia, pendidikan yang dimulai sejak kecil akan terekam dalam ingatan anak. Ibarat menorehkan tinta dalam kertas putih, maka usaha pendidikan sewaktu kecil itu perlu dilakukan secara terencana dan hati-hati. Karena akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak. Pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan di masyarakat. Karena itu, perlu ada keselarasan dalam menanamkan nilai-nilai luhur bagi anak, dari tiga lingkungan pendidikan tersebut.
Ibu beserta suami, sebagai orang tua anak, perlu mengambil peran sebagai penentu arah dalam mendidik anak. Mungkin selama ini Bu Lia dan suami sibuk dengan pekerjaan, sehingga lebih banyak menyerahkan pendidikan anak ke guru sekolah dan mertua. Agar tidak kehilangan kesempatan, maka Bu Lia perlu mengatur waktunya agar bisa terlibat dalam pendidikan anak. Sedikit demi sedikit ibu perlu mengubah arah pendidikan yang selama ini cenderung diskriminatif dan bersifat takabur.
Misalnya pada hari libur, anak diajak ke panti asuhan dan diperkenalkan dengan anak-anak yang kurang beruntung agar anak bisa bersyukur karena diberi anugerah rezeki yang cukup oleh Allah, dan masih punya orang tua, dan nenek yang mengasihi. Bersama suami, biasakanlah anak mengenal dan bergaul dengan anak-anak lain yang tingkat ekonomi maupun sosialnya rendah. Melalui contoh dan teladan dari Bu Lia dan suami, anak akan memperoleh masukan lain yang diharapkan bisa mengubah kecenderungan bersifat takabur. Semua perlu proses, dan ibu perlu menjalin komunikasi lebih intensif dengan anak, agar bisa memantau perkembangan kepribadiannya tanpa harus menggurui ibu mertua.
Jangan lupa selalu memohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah, agar ibu beserta suami bisa mendidik anak sehingga menjadi anak yang saleh dan bermanfaat. (24) (Suara Merdeka 18 Januari 2012 h. 7)

Rabu, 11 Januari 2012

Merasa Bersalah*

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, memiliki saudara laki-laki bernama K. Ia bekerja di sebuah kantor swasta dan menjabat sebagai kepala bagian. Ia pria yang baik, namun sulit menolak permintaan istrinya, R.
K pernah mengeluh, bahwa istrinya suka berbelanja tanpa perhitungan. Sebulan yang lalu, saya mendapat kabar dari R bahwa suaminya di-PHK dan sakit.
Beberapa hari yang lalu, saya menjenguk saudara saya itu dan melihat bahwa ia seperti sangat tertekan.
Setelah saya ajak bicara, ia berterus terang bahwa ada perasaan bersalah karena ia telah menggunakan uang kantor. Meskipun pimpinannya tidak tahu, tetapi K merasa selalu dikejar dosa. Ia berniat mengembalikan uang tersebut, tetapi bagaimana caranya karena kantor itu sudah tutup, dan tak diketahui tempat tinggal pimpinannya. Bagaimana cara menghilangkan rasa bersalah yang terus menghantui perasaan saudara saya itu? (Ny Ita)

Jawab:
Ibu Ita, hati nurani saudara ibu itu masih baik, sehingga sewaktu melakukan hal yang menyimpang dari kebenaran, hati dan pikirannya gelisah dan mengakibatkan ia tidak mau makan. Maka ia perlu dibantu untuk segera menyelesaikan masalahnya, agar hatinya kembali tenang.
Orang yang sering berbuat kesalahan, nuraninya sudah lemah, sehingga tidak merasa risau meskipun berbuat dosa atau melakukan kezaliman kepada orang lain. Orang semacam ini hatinya sudah tertutup oleh dosa sehingga sulit menerima petunjuk ke arah kebenaran. Ia keras kepala, dan hanya mengikuti kemauannya sendiri.
Bagi orang yang mengabaikan kebenaran, Allah akan mengunci hati, pendengaran serta penglihatan mereka sehingga tertutup/tidak bisa menangkap petunjuk Allah. Bagi mereka ini akan mendapat siksa yang amat berat (QS Al-Baqarah: 7).
Saudara ibu termasuk yang masih bisa menangkap petunjuk bahwa menggunakan uang yang bukan haknya itu adalah dosa. Untuk menghilangkan rasa bersalah yang selalu menghantui dirinya, maka segeralah ia mohon ampun dan bertaubat kepada Allah.
Disertai janji tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang pernah diperbuatnya di masa mendatang. Sebagai tindak lanjut dari taubat itu, maka harta yang diambil dengan jalan yang tidak benar itu harus dikembalikan. 
Karena kantor sudah tutup, maka perlu dicari pimpinan kantor itu atau lembaga yang mengelolanya. Apabila tidak ditemukan, maka bisa dengan pasang iklan yang memberitahukan bahwa K ingin bertemu untuk menyelesaikan urusan kantor.
Semoga dengan demikian, hati akan menjadi tenang dan sebagai langkah pencegahan agar tidak terjadi lagi penggunaan harta yang bukan miliknya, maka suami istri perlu mengatur belanja kebutuhan rumah tangganya sesuai kemampuannya.
Jangan lupa doakan saudara ibu agar selalu mendapat petunjuk ke jalan yang membawa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. (24) (Suara Merdeka 11 Januari 2012 h. 7)

Rabu, 04 Januari 2012

Gengsiku Runtuhkan Rumah Tanggaku*

Tanya:
Saya seorang karyawati punya tiga orang anak. Suami berwiraswasta dan sering keluar kota. Kami menikah setelah tamat SMA. Karena anak yang paling kecil, berusia 3 tahun, sering sakit, maka saya minta agar suami banyak di rumah menemani anak.
Pada awalnya suami mau mengurangi kegiatannya keluar kota untuk menunggui anak. Tetapi setelah anak sembuh, ia kembali pada pekerjaannya sampai luar kota.
Sebagai istri yang bekerja, saya sudah membantu suami mencari nafkah dan ingin suami juga membantu pekerjaan saya termasuk mengasuh anak. Ketika hal itu saya kemukakan, suami saya tidak mau kalau harus banyak di rumah, karena pekerjaannya tidak bisa ditinggal.
Akibat perbedaan pendapat itu, kami pernah bertengkar dan hal-hal kecil sekarang ini sering membuat kami bertengkar. Karena merasa tidak mendapat ketenangan dalam rumah, saya mengungsi ke rumah kakak bersama anak yang paling kecil. Sementara dua anak kami masih di rumah, ditemani oleh pembantu dan R, adik dari suami.
Suami pernah menyusul ke rumah kakak dan meminta saya pulang, tetapi saya tidak mau karena ia juga menolak permintaan saya untuk tidak keluar kota. Sekarang ini, rumah tangga kami terancam bubar, karena masing-masing dari kami menjaga gengsi dan tidak ada yang mau mengalah. Apakah rumah tangga kami masih bisa diperbaiki atau lebih baik kami berpisah, karena sudah tidak ada kecocokan. (Rani)

Jawab:
Ananda Rani, pernikahan usia dini ada plus minusnya. Di antara keuntungannya, anak-anak Rani sudah besar sewaktu Rani masih muda sehingga dapat mengasuh dan mendampingi mereka dalam waktu yang cukup lama. Kekurangannya, karena suami dan istri sebaya, terkadang keduanya belum bisa mengendalikan emosinya sebagaimana yang Rani alami sekarang. Meskipun usia masih muda, tetapi kalau sudah menikah, seharusnya bisa bersikap dewasa, sehingga dalam berpikir dan bersikap tidak mengutamakan keinginan sendiri, namun lebih mendahulukan kepentingan anak-anak dan keluarga.
Karena itu, sebaiknya Rani dan suami perlu memikirkan anak anak. Mereka membutuhkan perhatian dan kasih sayang ayah dan ibunya. Maka sudah waktunya, Rani pulang ke rumah dan bersama lagi dengan anak-anak dan suami. Rumah tangga Rani masih bisa diperbaiki, asal ada kemauan dari Rani dan suami untuk menghilangkan sikap egois masing-masing. 
Masa depan anak lebih penting daripada mempertahankan gengsi. Karena itu, segeralah minta maaf pada suami karena Rani sudah meninggalkan rumah dan anak-anak. Carilah waktu yang tepat untuk saling memaafkan dan memusyawarahkan langkah yang sebaiknya dilakukan Rani dan suami agar keutuhan keluarga tetap terjaga.
Perbedaan pemikiran suami dengan istri itu persoalan biasa, maka sebaiknya jangan dimaknai tidak cocok dan kemudian ingin bercerai.
Hadapilah masalah keluarga dengan sabar dan jangan lupa mohon kepada Allah, agar di tahun baru ini dan seterusnya, Rani mendapatkan kebahagiaan berkeluarga. (24) (Suara Merdeka 4 Januari 2012 h. 7)