Rabu, 18 Januari 2012

Anakku Dibesarkan dalam Ketakaburan*

Tanya:
Saya seorang karyawati kantor swasta. Suami bertugas di luar kota. Dua minggu atau sebulan sekali ia pulang. Kami sudah punya anak satu berusia empat tahun, dan kami tinggal bersama mertua. Karena pembantu yang biasa mengasuh anak pulang kampung, maka untuk sementara yang menggantikan tugas mengasuh anakku adalah kemenakan suami dan diawasi oleh ibu mertua.
Sebagaimana umumnya seorang nenek, ibu mertua sangat sayang pada anakku. Karena hanya anakku yang tinggal bersamanya, sedangkan cucu dari anak-anak lainnya ada di luar kota.
Keluarga suami termasuk orang terpandang dan berkecukupan. Hal ini berdampak pada cara mendidik anak saya, dengan mengajarkan bahwa keluarga suami adalah lebih mulia dibanding anak-anak di sekitar tempat tinggal mertua yang kebetulan perkampungan. Bahkan untuk berteman di sekolah, ibu mertua juga memberi petunjuk kepada kemenakan agar anakku bergaul dengan yang sepadan. Melihat sikap takabur yang ditanamkan pada anak saya itu, saya sedih karena tidak ingin anak saya tumbuh menjadi anak yang sombong. Saya ingin meluruskan sikap ibu mertua itu, tetapi khawatir ia tersinggung atau menganggap saya menggurui.
Sewaktu hal itu saya sampaikan kepada suami, ia mengatakan kalau anak sudah besar kelak akan bisa memikirkan mana yang baik. Bagaimana sebaiknya Bu, apakah kami menyerahkan saja pada kemauan ibu mertua atau perlu mengubah cara pendidikan yang seperti itu. (Ny Lia)

Jawab:
Ibu Lia, pendidikan yang dimulai sejak kecil akan terekam dalam ingatan anak. Ibarat menorehkan tinta dalam kertas putih, maka usaha pendidikan sewaktu kecil itu perlu dilakukan secara terencana dan hati-hati. Karena akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak. Pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dan di masyarakat. Karena itu, perlu ada keselarasan dalam menanamkan nilai-nilai luhur bagi anak, dari tiga lingkungan pendidikan tersebut.
Ibu beserta suami, sebagai orang tua anak, perlu mengambil peran sebagai penentu arah dalam mendidik anak. Mungkin selama ini Bu Lia dan suami sibuk dengan pekerjaan, sehingga lebih banyak menyerahkan pendidikan anak ke guru sekolah dan mertua. Agar tidak kehilangan kesempatan, maka Bu Lia perlu mengatur waktunya agar bisa terlibat dalam pendidikan anak. Sedikit demi sedikit ibu perlu mengubah arah pendidikan yang selama ini cenderung diskriminatif dan bersifat takabur.
Misalnya pada hari libur, anak diajak ke panti asuhan dan diperkenalkan dengan anak-anak yang kurang beruntung agar anak bisa bersyukur karena diberi anugerah rezeki yang cukup oleh Allah, dan masih punya orang tua, dan nenek yang mengasihi. Bersama suami, biasakanlah anak mengenal dan bergaul dengan anak-anak lain yang tingkat ekonomi maupun sosialnya rendah. Melalui contoh dan teladan dari Bu Lia dan suami, anak akan memperoleh masukan lain yang diharapkan bisa mengubah kecenderungan bersifat takabur. Semua perlu proses, dan ibu perlu menjalin komunikasi lebih intensif dengan anak, agar bisa memantau perkembangan kepribadiannya tanpa harus menggurui ibu mertua.
Jangan lupa selalu memohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah, agar ibu beserta suami bisa mendidik anak sehingga menjadi anak yang saleh dan bermanfaat. (24) (Suara Merdeka 18 Januari 2012 h. 7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar