Rabu, 31 Maret 2010

Orang Tua Mau Cerai

Tanya:
Saya seorang pelajar SMA, punya seorang adik masih kelas II SD. Ibu saya bekerja di kantor swasta, dan ayah menganggur, karena kena PHK. Sejak ayah tidak belerja, ia sering marah. Saya dan adik menjadi sasaran kemarahannya.

Sudah lama  keadaan seperti itu  berlangsung. Saya sering pulang ke rumah nenek kalau ayah marah-marah. Ayah juga sering bertengkar dengan ibu.

Karena itu, saya jarang pulang ke rumah dan lebih senang di rumah nenek.

Waktu kemarin saya pulang ke rumah, ayah mengatakan kalau mau menceraikan ibu dan saya disuruh ikut ayah.

Saya hanya diam, tetapi dalam hati tidak mau ikut ayah, karena ia suka marah. Sekarang ini saya bingung, mau ikut ibu atau nenek. Kalau ikut ibu, takut dimarahi ayah, tetapi kalau ikut nenek, jarak ke sekolah jauh dan harus naik bus dua kali. Bagaimana sebaiknya bu?  (Reza)
  
Jawab:
Ananda Reza, setiap anak tentu ingin tinggal bersama orang tuanya dan melihat ayah dan ibu selalu rukun. Ketenangan dalam keluarga sangat diinginkan oleh anak-anak, karena dengan ketenteraman dalam keluarga, anak akan dapat belajar dengan tenang.

Pada umumnya suami dan istri juga ingin rumah tangganya tenang, anak-anak tumbuh cerdas dan shaleh. Mungkin ayah Reza sedang banyak pikiran, karena belum dapat pekerjaan, sehingga membuatnya sering marah. Terkadang orang yang baru banyak pikiran perasaannya menjadi sensitif dan merasa semua orang tidak ada yang mau membantunya.

Karena itu, rencana perceraian itu mungkin hanya merupakan pelampiasan kekesalan sesaat.

Kalau ayah kemarin pernah bicara tentang perceraian, tidak perlu dirisaukan.

Ada kalanya kalau masih jengkel atau marah, suami atau istri pikirannya akan sampai pada perceraian. Ibu Reza tampaknya sabar menghadapi ayah yang sering marah, karena belum dapat pekerjaan.

Maka, ibu tidak menanggapi rencana ayah yang akan menceraikannya.  Jadi, untuk sementara Reza masih bisa di tempat nenek, tetapi juga perlu pulang ke rumah agar dapat ketemu ibu dan membicarakan keinginan Reza agar rumah dapat kembali tenang.

Kalau Reza tidak bisa bicara langsung dengan ibu, dapat melalui surat. Ibu tentu akan senang kalau Reza mau bicara terus terang kepada ibu tentang perasaan Reza selama ini. Jangan lupa mohon pertolongan Allah agar ayah dan ibu bisa rukun dan ayah segera dapat pekerjaan. (37)
(Suara Merdeka 31 Maret 2010)

Rabu, 24 Maret 2010

Mau Nikah, Belum Bekerja

Tanya:
Saya seorang wanita berusia 25 tahun, belum bekerja, dan sudah tidak sekolah. Saya ikut kakak dan membantu mengasuh anaknya yang baru berumur dua tahun. Kakak dan suaminya semua bekerja di kantor swasta.  Beberapa bulan yang lalu saudara sepupu dari suami kakakku, bernama  Z, usianya 29 tahun, datang ke rumah kakak. Ternyata ia sedang mencari pekerjaan. Tiap hari ia memasukkan lamaran kerja, tetapi sampai sekarang belum ada satu pun yang memanggilnya untuk bekerja.

Ia sering curhat tentang susahnya mencari pekerjaan. Bermula dari sering bicara  dan curhat, saya merasakan kedekatan dengannya. Ternyata  ia merasakan hal yang sama. Ketika saya pergi keluar kota selama tiga hari untuk mengunjungi saudara, Z mengaku merasa kehilangan.

Hampir setiap hari ia telepon dan menanyakan kapan saya pulang. Setelah saya kembali ke rumah, ia menyatakan cinta kepada saya dan ingin menikahi saya. Meskipun saya juga mencintainya, bagaimana nantinya rumah tangga kami kalau Z maupun saya belum bekerja? (Tri)

Jawab:
Mbak Tri  yang sedang bahagia, kesepakatan dengan Z untuk  melanjutkan hubungan ke pernikahan merupakan keputusan yang tepat, mengingat usia Z maupun Tri sudah cukup matang untuk berumah tangga. Melalui pernikahan, banyak kebaikan yang akan diperoleh seperti lebih terjaga dari perbuatan tercela, mendapat teman dalam suka dan duka, serta hidup menjadi lebih tenang.

Memasuki kehidupan berumah tangga memang perlu persiapan seperti mental  yang kuat untuk mengatasi problem rumah tangga, termasuk dalam  mencukupi kebutuhan sehari-hari. Melihat usaha Z selama ini dalam mencari pekerjaan, tampak bahwa ia termasuk ulet dalam berusaha. Hal ini memungkinkan Z untuk berwiraswasta. Sambil mencari pekerjaan seperti yang diinginkan, Tri dapat mendorong Z untuk membuka usaha sesuai kemampuan dan minatnya, karena rezeki bisa  atang dari mana saja asal mau berusaha.

Kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa orang yang sudah menikah, pada umumnya lebih terdorong untuk giat bekerja. Allah akan memberikan kecukupan rezeki bagi siapa pun yang mau berusaha. Jadi, Tri tidak perlu takut untuk menikah hanya karena Z belum dapat pekerjaan. Percayalah bahwa Z akan lebih termotivasi dalam mencari nafkah setelah menikah.

Jangan lupa  selalu mohon pertolongan Allah agar dimudahkan jalannya dalam memperoleh rezeki dan mendapatkan kebahagiaan  dalam rumah tangga. (37)
(Suara Merdeka 24 Maret 2010)

Rabu, 17 Maret 2010

Tak Peduli Anak

Tanya: Saya seorang ibu rumah tangga, punya anak berusia tiga tahun. Karena suami belum punya pekerjaan tetap, maka kami masih ikut ibu mertua. Sudah setahun ini ibu   mertua sakit yang tak kunjung sembuh. Meskipun ibu punya anak selain suami saya, mereka jarang menengok. Bagi saya dan suami, merawat ibu mertua adalah kewajiban anak kepada orang tua yang harus kami lakukan sebagai bakti kami kepadanya.

Di tengah sakitnya ibu, tiba-tiba anak saya kena DB dan harus opname di rumah sakit. Karena masih kecil, saya tidak tega meninggalkannya, meski hanya sebentar untuk melihat ibu di rumah. Yang membuat saya kecewa adalah sikap suami yang jarang menengok anak kami yang baru sakit. Ia mengaku capai setelah seharian cari pekerjaan, kemudian melayani kebutuhan ibu.

Sesungguhnya saya bisa memahami kondisi suami, tetapi anak kami juga sering menanyakan ayahnya, kenapa tidak  menjenguknya. Ketika hal itu saya sampaikan pada suami, jawabannya sama bahwa ia juga capai. Sikap suami yang seperti itu, membuat saya sering merasa hidup sendirian, karena tidak ada lagi yang mau meringankan beban saya. Terkadang timbul pikiran untuk minta cerai saja, karena punya suami, tetapi tidak merasakan adanya perlindungan maupun perhatian.

Yang masih memberatkan untuk bercerai adalah anak saya yang sangat dekat dengan ayahnya. Bagaimana nantinya kalau kami pisah dan anak saya tidak mau jauh dari ayahnya.(Tria)  

Jawab: Ibu Tria, berbahagialah ibu dan suami bisa merawat ibu mertua di masa tuanya. Ibu dan suami dapat melayani dan mendampinginya di kala sakitnya. Itu merupakan kebahagiaan yang perlu disyukuri, karena ibu mertua mau menerima ibu bersama suami tinggal bersamanya. Kiranya bu Tria dan suami termasuk orang yang sabar mendampingi orang tua.  

Karena ibu dan suami sama-sama belum bekerja, maka perlu dicari waktu yang longgar untuk bicara dari hati ke hati tentang kepedulian suami terhadap anak. Dalam kondisi suami belum dapat pekerjaan dan harus merawat ibu, juga menjadi beban pikiran, sehingga ia tidak sempat meluangkan waktu untuk melihat anaknya yang sakit.

Suami merasa sudah berbagi tugas dengan bu Tria, tetapi hal itu tidak pernah dibicarakan dengan bu Tria, sehingga terjadi saling menduga. Agar suami mengerti kesulitan ibu selama mendampingi anak di rumah sakit, sebaiknya ibu kemukakan saja kepada suami, sehingga ia dapat mengerti apa yang diharapkan ibu dari suami untuk meringankan beban pikiran dan perasaan yang selama ini tersimpan dalam pikiran bu Tria.

Demikian pula sebaliknya. Mungkin suami juga merasakan beban berat selama ini, karena belum dapat pekerjaan, ditambah ibu dan anaknya sakit. Kalau suami maupun ibu bisa membicarakan kesulitan masing-masing, akan tercipta saling memahami dan saling membantu untuk mengatasi kesulitan, sehingga ibu tidak perlu bercerai dari suami. Sebab, perceraian justru akan menambah masalah dan  berakibat buruk terhadap perkembangan anak

Ibu juga dapat membantu suami untuk menciptakan lapangan kerja, misalnya dengan membuka toko kelontong, rumah makan, bengkel, atau usaha lain yang sesuai dengan kemampuan dan minat suami. Jangan lupa mohon pertolongan Allah agar diberikan kemudahan dalam memperoleh rezeki dan kebahagiaan dalam rumah tangga. (37)
(Suara Merdeka 17 Maret 2010)

Rabu, 10 Maret 2010

Berpaling pada Teman Lama

Tanya:
Saya seorang karyawati kantor swasta. Menikah  sudah 10 tahun dan punya dua anak balita. Sejak kelahiran  anak pertama, badan saya bertambah gemuk. Semula suami  tidak pernah berkomentar tentang penampilan saya yang tidak ramping  lagi. Ternyata dugaan saya tentang diamnya suami, sebagai tanda ia bisa menerima keadaan saya itu salah, karena L, teman kantornya memberitahukan  kalau suami saya sering mengeluh kepadanya tentang   beberapa hal, termasuk penampilan saya yang bertambah gemuk. Kabarnya sekarang suami dekat dengan M, teman  lamanya di SMA yang bertubuh langsing. Kantornya dekat dengan kantor suami, mereka sering makan siang bersama.

Setelah mendengar kabar itu, saya tanyakan kepada suami mengenai hubungannya dengan M. Ia mengatakan M hanya teman lama, dan ia tidak sengaja ketemu di rumah makan. Di depan saya, suami sering memuji penampilan M yang  ramping, sehingga pakaian yang dikenakan selalu enak dipandang. Sebagai istri, saya tahu arah pembicaraannya. Di samping mengagumi M, mungkin suami menginginkan aku bisa langsing seperti M.
Untuk menurunkan berat badan sebenarnya sudah saya lakukan dengan beberapa cara, tetapi belum berhasil. Kalau saya tidak dapat langsing, mungkinkah suami saya berpaling kepada M?   (Ratna)

Jawab:
Bu Ratna, penampilan merupakan salah satu hal yang dapat mendekatkan hubungan suami dan istri.Kalau ibu sudah dapat menangkap keinginan suami yang lebih suka melihat wanita yang langsing, sebaiknya bu Ratna berusaha lagi untuk memenuhi harapan suami.

Ada beberapa penyebab seseorang menjadi gemuk, di antaranya setelah melahirkan. Ibu yang sedang menyusui ada yang berpandangan bahwa ia harus makan dua kali lipat, karena bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk bayinya.

Secara kualitas memang perlu diperhatikan agar memenuhi gizi yang dibutuhkan ibu dan anak, tetapi kuantitas atau banyaknya makanan tidak harus berlebihan.

Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan tuntunan. Dalam hal makan hendaknya berhenti sebelum kenyang. Agar tidak kekenyangan, maka sepertiga perut diisi dengan makanan, sepertiga lagi diisi air minum, dan sisanya yang sepertiga untuk udara. Dengan demikian, tidak aka ada kelebihan makan.

Apakah suami akan berpaling kepada M atau tidak, bu Ratna lebih tahu sifat suami. Apakah ia seorang yang mudah tertarik pada lawan jenis ataukah termasuk suami yang setia dan teguh pendirian.

Semoga apa yang tampak dari luar seperti suka memuji M, bukan berarti ia tertarik padanya, tetapi sekadar memuji penampilannya agar bu Ratna termotivasi mengurangi kegemukan.

Karena kegemukan berpotensi untuk timbulnya beberapa penyakit, maka suami menginginkan ibu agar langsing, sehingga terhindar dari gangguan kesehatan.  Jangan lupa selalu mohon pertolongan Allah agar rumah tangga terhindar dari godaan dan cobaan. (37)
(Suara Merdeka 10 Maret 2010)

Rabu, 03 Maret 2010

Dilarang Bekerja

Tanya: Saya seorang ibu rumah tangga, sudah 15 tahun menikah, punya tiga anak. Suami bekerja di kantor swasta, dan biasa bekerja sampai malam. Dengan meningkatnya biaya pendidikan anak-anak, penghasilan suami tidak dapat mencukupi kebutuhan kami.

Saya  pernah bilang kepada suami, bahwa saya ingin bekerja, karena saya punya ijazah akademi di kota Y, tapi suami tidak mengizinkan dengan alasan menurut agama yang wajib mencari nafkah itu suami. Istri tugasnya di rumah mengurus anak. Kami sering bertengkar, karena kondisi keuangan yang kurang, tetapi suami tetap melarang saya ikut mencari penghasilan. Bagaimana menurut ajaran Islam, apakah memang perempuan tidak boleh bekerja?  (Ny Titik)

Jawab: Ibu Titik, dari sejarah hidup Rasulullah diketahui bahwa Islam tidak melarang perempuan bekerja. Sebelum  diangkat menjadi Rasul Allah maupun sesudahnya, beliau tidak pernah melarang perempuan bekerja. Istri Rasulullah  yang bernama Siti Khadijah dikenal sebagai pedagang besar dan tetap berjualan sebagaimana biasa. 

Dengan  bekerja, kebutuhan keluarga dapat terpenuhi, bahkan dapat membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Menurut tuntunan Islam, memang suami yang berkewajiban memberi nafkah bagi istri dan anak-anak sesuai sabda Allah yang artinya: ’’Laki-laki adalah pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya (QS An NisaĆ­ :34).

Namun, kalau usaha suami belum mencukupi kebutuhan keluarga, maka istri dapat membantu suami. Pada dasarnya suami dan istri saling menolong satu sama lain, termasuk dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Agar tidak terjadi pertengkaran, sebaiknya ibu bicarakan dengan suami mengenai tugas-tugas yang dapat dilakukan suami dan istri dalam rumah tangga ibu.

Misalnya, apabila ibu punya niat untuk membantu mencari tambahan penghasilan, suami tentu berterima kasih dan memberikan dukungan. Masalah tempat kerja, bisa di rumah seperti yang diinginkan suami. Misalnya, salon, rumah makan, penjahit, toko kelontong, atau usaha lain sesuai dengan minat dan kemampuan ibu.

Tampaknya suami ibu ingin berbagi tugas. Karena seharian sudah meninggalkan rumah, maka bu Titik yang diminta menemani dan mengawasi anak-anak. Sesungguhnya masalah pendidikan anak adalah tugas suami dan istri, tetapi berbagi tugas antara suami-istri memang dibutuhkan agar anak-anak tidak terabaikan.

Anak membutuhkan pendamping yang dapat memberikan  bimbingan ke arah yang benar. Seperti anak paling kecil yang masih sekolah SD, sepulang sekolah biasanya menonton TV. Untuk memilih acara yang memberikan manfaat bagi anak, ibu dapat memberikan arahan serta pendampingan.

Hal ini dapat dilakukan manakala ibu berada di rumah. Maka, pilihan untuk membangun usaha  di rumah mempunyai manfaat bagi tambahan penghasilan dan  pendidikan bagi anak. Semoga suami bu Titik dapat menerima dan rumah tangga ibu akan kembali tenteram.

Jangan lupa mohon pertolongan Allah agar dimudahkan jalannya memperoleh rezeki dan mendapatkan kebahagiaan  dalam berkeluarga. (37)
(Suara Merdeka 3 Maret 2010)