Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, memiliki lima saudara kandung yang semuanya sudah berumah tangga. Orang tua sudah wafat dan mewariskan beberapa tanah kepada kami. Kebetulan tanah yang diberikan kepada adik yang kedua dan ketiga letaknya berdekatan.
Beberapa waktu lalu, M —istri dari adik ketiga— datang ke rumah, untuk melaporkan batas tanah suaminya yang menurutnya makin sempit karena diambil adik kedua saya (L). Kata M, hal itu terjadi atas desakan istri L yang bernama H.
Setelah menerima laporan itu, saya mengumpulkan semua saudara dan bersama-sama melihat ke lokasi tanah yang diperselisihkan. Ternyata berdasarkan ukuran yang ada pada sertifikat masing-masing, serta sudah dicek petugas BPN, tidak ada perubahan.
Dengan demikian, laporan M tidak benar. Namun M tidak mau menerima kenyataan itu. Dia menuntut agar tanah L dikurangi dan ditambahkan ke bagian suaminya, karena menurutnya batas itu sudah diubah.
Sebagai anak sulung, saya berusaha netral dan menjelaskan hasil pengukuran petugas BPN. Tetapi M tetap tak mau menerima penjelasan saya, bahkan menuduh saya bersekutu dengan L dan H.
Lebaran kemarin, M tak mau ke rumahku. Anak-anaknya juga dilarang ikut bapaknya (adik saya) yang tetap mengunjungiku. Apa yang harus saya lakukan untuk menjaga agar keluargaku tidak pecah karena ulah adik ipar?
( Ny Tatik )
Jawab:
Ibu Tatik, sebagai anak sulung, ibu memang punya tanggung jawab menjaga keutuhan keluarga. Masalah warisan memang sering menimbulkan perpecahan keluarga. Keakraban di masa kecil dalam asuhan ayah dan ibu, dilupakan oleh sebagian orang setelah berumah tangga. Salah satu penyebabnya ya masalah warisan.
Seandainya M bisa mengingat kembali ikatan persaudaraan suaminya dengan Ibu Tatik beserta saudara- saudara kandungnya, tentu dia tidak akan mempersoalkan tanah warisan itu. Jika luasnya selisih sedikit kan tidak mengapa, karena dengan saudara kandung suaminya sendiri. Dan tanah itu pun peninggalan orang tua suaminya.
Sebagian orang rela memberikan bagian warisannya kepada saudaranya yang kurang mampu atau diwakafkan untuk kegiatan sosial. Insya Allah, perbuatan itu termasuk amal jariyah yang pahalanya akan mengalir terus, meskipun yang memberikan wakaf sudah meninggal dunia.
Mengingat sifat M yang sulit menerima kebenaran, Ibu dapat meminta tolong adik yang menjadi suami M, agar memberi pengertian tentang pentingnya menjaga tali persaudaraan antarsaudara sekandung. Kalau M tetap menuntut tanah warisan suaminya ditambah, dan apabila L bersedia mengalah dan memberikan sebagian tanahnya, mungkin masalah dapat diselesaikan.
Oleh karena itu, cobalah Ibu bicarakan masalah ini dengan L. Orang yang mau mengalah demi keutuhan keluarga, insya Allah akan ditambah rezkinya.
Jika M tak mau berkunjung ke rumah Ibu, maka kunjungilah dia agar tali silaturahmi tidak terputus. Jangan lupa mohonlah kepada Allah, agar keluarga Ibu disatukan dengan rasa kasih sayang dan tolong-menolong antarsaudara sampai ke anak-anak bahkan generasi selanjutya. (32)
(Suara Merdeka 14 Oktober 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar