Rabu, 16 November 2011

Mengangkat Anak Saudara*

Tanya:
Saya seorang ibu rumah tangga, menikah tujuh tahun lalu, tetapi belum mempunyai anak. Suami bekerja sebagai konsultan di perusahaan swasta. Kami sudah periksa ke dokter dan berbagai jalan sudah kami tempuh agar bisa mendapatkan anak. Namun sampai sekarang belum berhasil. Orang tua kami juga sudah ingin menimang cucu, karena kebetulan saya dan suami adalah anak pertama dari keluarga kami masing-masing.
Beberapa bulan yang lalu, saya dan suami menengok R, saudara sepupu saya yang melahirkan anak kelima dan tinggal di kota P. Mereka semua menjadi anak yatim, karena ayahnya telah meninggal dunia lima bulan yang lalu.
Sepeninggal suaminya, R membuka warung kelontong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Entah kenapa, saya dan suami sama-sama merasa tertarik dan sayang dengan bayi yang baru lahir itu, sehingga kalau hari libur, kami pasti menjenguknya. Kami punya keinginan untuk mengangkat anak itu, dan tampaknya R juga tidak keberatan seandainya anaknya kami asuh.
Yang menjadi kendala adalah keraguan suami saya tentang masa depan anak itu apabila tahu bahwa kami bukan orang tua kandungnya. Kalau kami sudah telanjur sayang kepadanya, kemudian ia meninggalkan kami, tentu kami akan kesepian. Apakah kita boleh menutupi asal-usul anak itu, agar tidak terjadi hal yang tidak kami inginkan itu? (Lita)

Jawab:
Ibu Lita, keinginan ibu bersama suami untuk mengangkat anak R adalah perbuatan terpuji kalau dilandasi dengan niat untuk menolong R dan anak tersebut. Mengambil anak saudara atau orang lain, untuk diasuh dan dididik dengan kasih sayang, tentu akan menumbuhkan ikatan emosional anak dengan orang tua angkatnya. Kalau Bu Lita bersama suami memperlakukan anak angkat seperti anaknya sendiri, tentu anak juga akan merasakan kehangatan dan kasih sayang dari orang tua angkatnya. Anak juga akan merasakan kehilangan ketika berada jauh atau berpisah dengan Bu Lita dan suami. Maka kekhawatiran akan kesepian kalau ditinggal anak itu, tidak perlu dirisaukan, kalau ibu dan suami mencurahkan perhatian serta kasih sayang kepadanya.
Sebelum mengambil anak itu, Bu Lita dan suami perlu menata hati dan pikiran untuk menerima kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan, seandainya anak tahu siapa orang tua kandungnya. Menurut ajaran Islam, orang tua angkat tidak boleh menutupi asal-usul nasab atau silsilah keturunannya. Suatu saat kelak, sewaktu anak secara psikologis sudah siap menerima kenyataan bahwa ternyata yang selama ini mengasuh dan membesarkan bukan orang tua kandungnya. Maka Bu Lita dan suami perlu memberitahukan siapa ibu kandungnya. Untuk menjaga jangan sampai anak merasa dibuang oleh orang tuanya, dan mengakibatkan ia membenci ibu kandungnya sendiri, maka perlu hati-hati dalam menyampaikannya dan harus memilih waktu yang tepat.
Kalau Bu Lita bersama suami sudah mempertimbangkan segala sesuatunya, dan memutuskan untuk mengangkat anak R, maka luruskanlah niat dalam mengangkat anak itu, untuk menolong saudara yang ditimpa musibah dan mendidik anak itu menjadi saleh dan bermanfaat. Dengan demikian, apa pun yang terjadi kelak, tidak akan menimbulkan penyesalan ataupun kesedihan. Jangan lupa, mohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah, agar ibu dan suami diberikan kebahagiaan dalam berkeluarga. (24) (Suara Merdeka 16 November 2011 h. 7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar