Rabu, 07 September 2011

Belum Bisa Memaafkan Menantu*

Tanya: Saya ibu rumah tangga, mempunyai lima anak, yang semuanya sudah berumah tangga. Sejak kecil, kami mendidik anak-anak untuk saling menyayangi dan tolong menolong. Sampai dewasa, kedekatan mereka satu sama lain masih terpelihara. Tetapi dua tahun terakhir ini, hubungan antaranak-anak menjadi jauh, bahkan  cenderung  memusuhi anak saya yang paling  besar, H. Semua itu, karena ulah menantu saya, L (istri H) yang suka menyulut pertengkaran.

Berawal dari pembagian harta peninggalan orang tua, yang kami berikan kepada masing masing  anak. Semua menerima dengan senang, kecuali H. Istrinya menilai pembagian itu tidak adil, karena H sebagai anak pertama justru mendapat lokasi yang belakang. Akibat dari ulah istrinya itu, maka H mempersoalkan tentang pembagian warisan itu.
Menghadapi masalah itu, anak-anak yang lain memperlihatkan sikap yang sama, dengan menerima pembagian itu apa adanya tanpa mempersoalkan perbedaan letak atau luasnya. Mereka menyayangkan sikap L yang tidak bisa mensyukuri pemberian itu, dan mengadu domba H dengan saudara-saudaranya.
Meski pada Lebaran ini H dan istriya sudah minta maaf, tetapi saya belum bisa memaafkan menantu saya itu. Karena ulah dia, anak-anak jadi tidak rukun. Apakah  sikap saya itu  salah, karena sampai sekarang L tetap meminta pembagian  untuk H sesuai yang dikehendaki. (Ny Susi)

Jawab: Ibu Susi, pada Hari Raya (Idul) Fitri semua orang ingin bersih dari dosa terhadap Allah dan sesama manusia. Dosa terhadap Allah akan diampuni manakala orang mukmin menjalankan puasa Ramadan dengan ikhlas, semata-mata mengikuti perintah Allah. Namun kesalahan dengan sesama manusia, akan diampuni oleh  Allah apabila sudah meminta maaf kepada sesamanya.
Ada persoalan dalam keluarga ibu, yang disebabkan oleh ulah L yang memprovokasi H agar menolak pembagian warisan dan meminta ganti sesuai yang diinginkan. Sebagai orang tua, ibu tentu mengenal sifat  masing-masing anak. Cobalah ibu ajak bicara anak-anak itu, tanpa melibatkan para menantu. Karena warisan itu diberikan untuk anak-anak ibu, maka lebih dulu mintalah pendapat mereka untuk memecahkan persoalan keluarga  ini. Siapa tahu setelah bertemu dan bicara dari hati ke hati, ada yang merelakan haknya untuk ditukar lokasinya dengan bagian H yang punya keinginan untuk mendapatkan lokasi tertentu.

Sebagai orang tua, ibu bisa meminta kesadaran mereka untuk menerima pemberian kakek/nenek itu dan mensyukurinya sebagai  suatu anugerah yang harus dijaga pemanfaatannya, salah satunya untuk mempererat tali kekeluargaan. Mereka yang meninggalkan harta itu, ingin agar anak cucu dapat berbahagia dan saling membantu.
Pembagian itu, tentu secara matematik tidak bisa sama persis. Maka diperlukan sikap menerima apa adanya, kalau ada perbedaan sedikit, itu suatu yang wajar, dan semua akan kembali untuk mereka bersaudara. Nilai persaudaraan lebih penting daripada harta. Setip orang selalu membutuhkan bantuan orang lain, dan itu akan diperoleh dari orang-orang  terdekat, seperti saudara ataupun tetangga.

Meskipun masih ada rasa kurang suka, tetapi ibu perlu memaafkan menantu dan putra ibu. Setiap orang  pernah khilaf, siapa tahu setelah ibu bicara dari hati ke hati, mereka akan terbuka, dan kemelut dalam keluarga  akan berakhir karena kesabaran  dan  kelapangan  ibu  dalam memaafkan kesalahan anak ataupun menantu. Semoga Idul Fitri ini membawa keluarga ibu semakin rukun dan bertambah kokoh tali persaudaraannya. (24) (Suara Merdeka 7 September 2011 h.7)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar