Rabu, 16 Februari 2011

Suami Mau Nikah Lagi*

Tanya:
Saya ibu rumah tangga beranak dua sudah remaja. Suami bekerja di luar kota sejak dua tahun lalu.
Untuk mengisi kesibukan, saya buka warung makan. Warung itu cukup ramai. Pelanggan dari dalam dan luar kota. Sebab, berada di pinggir jalan raya.
Suatu hari ada pelanggan membicarakan pekerjaan dan kasus seorang temannya yang jadi simpanan lelaki bernama P. Karena waktu itu jam makan sudah lewat, jadi tak banyak pengunjung.
Saya pun mendengar pembicaraan itu dengan jelas. Saya terkejut ketika mereka menyebut ciri P sama dengan suami saya.
Berdasar pelacakan saya, suami saya memang punya WIL bernama K. Bahkan suami mengaku K mengajak dia segera menikah.
Apakah mereka bisa menikah jika saya tak mengizinkan? Anak-anak sekarang membenci ayah mereka. Bagaimana caranya agar anak-anak tetap menghornati sang ayah? (Ny. Ruly)

Jawab:
Ibu Ruly, hakikatnya pernikahan menurut tuntunan Islam adalah monogami (satu istri). Poligami diperbolehkan bila ada hal-hal yang menghalangi keharmonisan hubungan suami-istri.
Hal itu antara lain istri tak menjalankan kewajiban sebagai istri, istri punya cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan, atau istri tak dapat melahirkan anak.
Selain itu, suami harus mendapat izin pengadilan agama. Untuk memperoleh izin itu, harus ada persetujuan istri dan kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anak. Karena itu, jika Ibu tak mengizinkan, suami tak bisa menikah dengan K.
Tujuan pernikahan untuk mendapat ketenangan dalam keluarga. Apakah suami Ibu tahu, anak-anak tak suka sang ayah mau menikah lagi? Bahkan sekarang mereka membenci sang ayah. Bila demikian, pernikahan suami dan K tidak akan mendatangkan ketenangan.
Agar suami menyadari respons anak-anak terhadap rencana pernikahan sang ayah, Ibu perlu menyampaikan pada suami.
Banyak suami menikah lagi ternyata karena tak mendapat kebahagiaan, sebagaimana tergambar dalam benaknya. Tak sedikit yang mendapat reaksi keras dari anak-anak dan istri, sehingga terjadi permusuhan ayah dan anak.
Hal itu tak diinginkan orang tua mana pun. Karena, anak adalah generasi penerus yang diharapkan dapat melanjutkan cita-cita orang tua serta dapat mendoakan jika mereka meninggal kelak.
Bila anak membenci ayah, lantas tak mau mendoakan, apakah orang tua tak akan menyesal? Karena itu, sebelum terjadi pernikahan, sebaiknya Ibu bicara dari hati ke hati dengan suami dan anak-anak.
Semoga tercipta saling pengertian, sehingga suami cukup berbahagia memiliki Ibu yang ikhlas membantu suami dan anak-anak yang ingin menyaksikan kerukunan orang tua dalam berkeluarga.
Keharmonisan hubungan ayah dan ibu akan jadi contoh bagi anak-anak sewaktu mereka membina rumah tangga. (51)
(Suara Merdeka 16 Februari 2011 h. 19)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar