Rabu, 23 September 2009

Antara Anak dan Mertua

Tanya:
Saya seorang karyawati, sedangkan suami menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Kami dikaruniai seorang anak berusia lima tahun. Kami tinggal bersama bapak mertua yang menderita sakit sudah beberapa lama.

Semula bapak mertua tinggal bersama istrinya. Tetapi karena ibu mertua sudah tak kuat lagi merawatnya, maka suami saya mengambil alih tanggung jawab perawatan ini, sementara ibu mertua memilih ikut adik ipar yang tinggal di luar daerah. Saya tidak keberatan merawat bapak mertua. Tetapi yang membuat saya kecewa adalah suami justru tidak perhatian lagi kepada anaknya. Ketika saya mengajukan rencana untuk menambah anak, suami menolak dengan alasan masih repot mengurus bapak.

Di sisi lain, ibu mertua menginginkan agar kami memikirkan lagi tambahan anak. Karena anak kami sudah cukup besar untuk mempunyai adik. Ibu mertua seolah sudah mau tidak memikirkan keadaan bapak. Dan suami saya, karena merasa bertanggung jawab atas ayahnya, kemudian malah ‘’melupakan’’ masa depan kami. Apakah saya perlu memberitahu ibu mertua tentang  persoalan yang kami hadapi? Siapa tahu beliau mau merawat bapak lagi.

Dengan demikian, suami bisa agak longgar pikirannya sehingga dapat memikirkan  masalah keturunan bagi kami berdua. Terima kasih!
(Ny Atik)

Jawab:

Ibu Atik, dapat merawat orang tua maupun mertua di masa tuanya merupakan pekerjaan yang mulia. Ibu dan suami telah dipilih bapak mertua untuk mendampinginya di hari tuanya. Itu merupakan kebahagiaan yang perlu disyukuri.

Kalau bapak mertua mau tinggal bersama Ibu Atik dan suami, tentu sudah didasari oleh pengamatannya selama ini, bahwa ibu adalah menantu yang dipandang sabar dan dapat menerima suka-duka di dalam merawat dan menghadapi orang tua. Maka, bapak mertua pun lebih memilih ikut Ibu Atik bersama suami, bukan ikut anaknya yang lain.

Ibu Atik dan suami memang anak yang berbakti kepada orang tua, karena tidak keberatan merawat bapak mertua yang sakit, bahkan tinggal bersama di rumah Ibu.

Mengingat Ibu dan suami sama-sama bekerja, maka perlu dicari waktu yang longgar untuk berbicara dari hati ke hati tentang rencana mempunyai anak lagi. Sebaiknya Ibu membicarakan persoalan itu kepada suami daripada kepada ibu mertua. Karena untuk merawat suaminya saja ibu mertua sudah tidak mampu, dan menyerahkan tanggung jawab tersebut kepada suami Ibu.

Jadi, tampaknya Ibu Atik tidak boleh berharap terlalu banyak kepada ibu mertua untuk merawat kembali suaminya. Kalau suami belum merespon keinginan Ibu untuk mempunyai anak lagi, bukan berarti ia tidak perhatian. Mungkin pada saat sekarang suami merasakan beratnya tugas merawat orang sakit.

Sebagai solusinya, Ibu perlu menawarkan alternatif untuk mengatasi kerepotan suami. Misalnya dengan menggunakan jasa perawat lansia sehingga bisa membantu suami dalam merawat bapak mertua. Dengan demikian, perawatan bapak tidak terabaikan, tetapi Ibu Atik bersama suami tetap mempunyai waktu lebih longgar sepulang dari kerja untuk istirahat maupun berbincang bincang.

Cobalah Ibu Atik meyakinkan suami, bahwa kehadiran anak lagi tidak akan menyebabkan perhatian dan perawatan bagi bapak mertua akan terganggu. Karena telah ada perawat yang bertanggung jawab, maka Ibu bersama suami tinggal mengontrol saja.

Dengan demikian, suami tak akan keberatan dengan rencana memiliki momongan lagi. Sebab, juga mempunyai peran penting dalam melanjutkan sejarah dan cita-cita keluarga.

Jangan lupa memohon kepada Allah agar selalu diberi kemudahan dalam membangun keluarga  yang bahagia di dunia dan akhirat. Amien... (32)

(Suara Merdeka 23 September 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar