Rabu, 14 April 2010

Mau Dimadu dengan Kemenakan

Tanya:
Saya karyawati di kantor swasta, punya dua anak balita. Suami saya berwiraswasta di bidang kebutuhan pokok. Untuk mengurus rumah tangga dan anak anak, saya dibantu seorang  pembantu yang cekatan. Pekerjaan rumah pun terasa ringan dan anak-anak terawat dengan baik.

Namun sewaktu pembantu pulang ke kampung karena ayahnya sakit, saya harus bekerja keras sendirian untuk menyelesaikan tugas rumah tangga. Saya sangat gelisah karena terpaksa menitipkan anak-anak ke rumah H, kemenakan saya yang tinggal tak jauh dari tempat tinggal kami.

Dia sudah janda karena suaminya meninggal dunia empat tahun lalu. Dia sabar dan pandai mengasuh anak, sehingga anak-anak kami  senang berada di rumahnya. Biasanya suami yang menjemput anak-anak karena lebih dahulu pulang ketimbang saya.

Saya tak mengira, ternyata suami saya mengaku jatuh cinta pada H. Dia ingin menikahi H. Waktu saya tanyakan hal itu, H cuma diam. Tak mau menjawab. Jika saya tak mengizinkan, apakah mereka bisa menikah? (Santi)

Jawab:
Ibu Santi, tugas istri yang bekerja dan punya anak-anak kecil memang tak ringan. Anak-anak belum bisa mandiri, sehingga untuk memenuhi semua kebutuhan mereka harus dilayani.

Apalagi Ibu juga harus menjaga kebersihan rumah, memasak, belanja, mencuci, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lain.

Itu terasa sekali ketika pembantu pulang ke kampung. Karena itu Ibu perlu membagi beban pekerjaan di rumah dengan suami ketika tak ada pembantu. Ibu sudah membantu suami mencari nafkah. Jadi suami pun perlu membantu mengatasi kerepotan Ibu.

Pembagian kerja di rumah tergantung pada kesepakatan antara Ibu dan suami. Jadi setiap pihak tak merasa terpaksa melakukan pekerjaan di rumah. Kerja sama dan saling bantu dapat mengukuhkan ikatan batin antara suami dan istri. Karena, bisa menjalani suka dan duka berumah tangga bersama-sama.

Soal rencana suami menikahi H, Ibu tak perlu risau. Karena, menurut ajaran agama, suami tak bisa menikahi kemenakan itu selama masih terikat tali pernikahan dengan Ibu. Agar suami dapat melupakan H, Ibu dapat meminta bantuan H menjauhi suami Ibu.
Selain itu, Ibu sebaiknya segera mencari pembantu agar tak perlu lagi menitipkan anak-anak pada H. Jadi tak ada alasan lagi bagi suami Ibu datang ke rumah H.

Selanjutnya, ajaklah suami bicara dari hati ke hati mengenai betapa perlu membesarkan anak-anak dalam keluarga yang utuh dan penuh  kasih sayang. Jadi, kelak, mereka dapat tumbuh jadi anak yang cerdas dan saleh. Jangan lupa, selalu memohon pada Allah agar dijauhkan dari semua godaan yang dapat menghancurkan rumah tangga Ibu. (53)
(Suara Merdeka 14 April 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar