Rabu, 07 Juli 2010

Ragu untuk Menikah

Tanya:
Saya janda, belum punya anak. Suami meninggal tiga tahun lalu. Untuk mengusir kesedihan, saya mencari pekerjaan dan diterima di kantor swasta. Di kantor itu, saya bertemu M. Teman lama itu bekerja di bidang yang sama.

Kami sering bekerja sama menyelesaikan pekerjaan kantor. Tanpa terduga, dia menyatakan mencintai saya. Dia ingin berumah tangga dengan saya.

Dia menuturkan pernah menikah, tetapi bercerai setelah punya anak dua. Mendengar cerita itu, saya berpikir jauh untuk menerima  menikah. Saya tak mau tertipu oleh cerita itu, sebelum mendengar dari mantan istrinya. Namun sampai kini saya belum bertemu L, mantan istrinya.

M mendesak saya memutuskan mau menikah atau tidak. Dalam hati, saya memang simpati pada M. Namun saya ragu menikah dengan dia.
Bagaimana jika kami menikah siri dulu, sembari saya mengenal kehidupan M dan anak-anaknya? Setelah cocok, baru kami lanjutkan dengan menikah di KUA. (Lala)

Jawab:
Mbak Lala, simpati dapat berkembang menjadi cinta. Kehati-hatian menerima pinangan M sudah tepat. Keputusan untuk menikah bukan perkara kecil karena pernikahan itu untuk seumur hidup.

Pernikahan, menurut tuntunan agama, untuk mencari ketenangan  hidup dan saling menyayangi (Surah Ar-Rum Ayat 21). Jika dapat membina rumah tangga yang tenang dan bahagia, suami-istri bisa mengerjakan banyak urusan duniawi dan ukhrawi bersama-sama dan saling dukung.

Karena itu proses menuju ke pernikahan dan sesudahnya untuk membina cinta kasih dan ketenteraman berkeluarga selama-lamanya. Pernikahan, menurut tuntunan Rasulullah, perlu diumumkan melalui walimahan agar diketahui banyak orang sehingga tak menimbulkan fitnah.

Pernikahan siri menimbulkan banyak penderitaan bagi perempuan. Karena tak tercatat di KUA sebagai lembaga resmi yang menangani dan mencatat pernikahan bagi pemeluk Islam, perempuan tak memperoleh perlindungan hukum dari negara berkait dengan hak sebagai istri.

Misalnya M lari dari tanggung jawab sebagai suami dan ayah, Anda tak dapat menuntut lewat pengadilan. Anak yang lahir dari pernikahan itu pun tak mendapat hak sebagai anak M. Sebab, secara hukum adalah anak sang ibu dan hanya memiliki hubungan nasab/keturunan dengan ibu dan keluarganya (Kompilasi Hukum Islam Pasal 100).

Karena itu, bicaralah dengan M tentang kelangsungan pernikahan. Kalau bisa, binalah hubungan yang baik dengan mantan istri M dan mintalah maaf atas kesalahan Anda dan M. Sambil memilih jalan terbaik, dekatkan diri pada Allah. Mohonlah ampun atas segala dosa Anda dan M. (51)
(Suara Merdeka 7 Juli 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar