Rabu, 10 Desember 2008

Pengakuan atau Penipuan

Tanya: 
SAYA karyawati kantor yang punya seorang anak balita. Kami tinggal bersama dengan orang tua di kota P. Suami adalah seorang wiraswasta dan ada usaha pula di luar kota. Lima bulan yang lalu, suami saya meninggal dunia karena sakit. 

Di tengah kesedihan, datanglah seorang wanita bersama anak yang usianya hampir sebaya dengan anak saya. Wanita tersebut mengaku isteri yang dinikahi secara sirri. Ia datang untuk memintakan warisan bagi anaknya yang dikatakan hasil dari pernikahan tersebut. 

Di samping terkejut, saya juga marah. Saya tidak percaya padanya dan minta bukti-bukti atas perkawinannya. Tetapi wanita itu tidak memunyai bukti karena pernikahannya sirri. Mendengar berita itu, Ibu saya jatuh sakit dan berpesan kepada saya agar hati-hati menghadapi persoalan ini karena sekarang ini banyak penipuan dengan cara yang semacam itu. 

Apakah anak tersebut bisa mendapatkan warisan dari harta suami? Jika perkawinan itu benar terjadi, berarti suami telah membohongi saya selama ini. Bagaimana caranya mengetahui pengakuan suami itu benar atau hanya menipu? (Ny Sari)

Jawab: 
Ibu Sari, kami ikut prihatin dengan munculnya masalah yang mengusik ketenangan ibu setelah suami meninggal. Dalam suasana masih berduka, Bu Sari perlu menguatkan hati dan menenangkan pikiran sehingga dapat menyelesaikan persoalan itu dengan tegar dan tidak menimbulkan dampak yang mengganggu kesehatan maupun aktivitas Ibu. 

Mengenai wanita yang mengaku pernah nikah dengan suami, ini memang perlu diminta bukti-bukti. Misalnya terkait dengan waktu, tempat, dan siapa yang menikahkan; siapa saksi-saksi pernikahannya. Hal ini untuk mengetahui benar atau tidak pengakuan tersebut. Kalau ia tidak dapat membuktikan, maka dapat dilaporkan kepada pihak yang berwenang dengan tuduhan pengakuan palsu. 

Andaikata terdapat saksi-saksi yang memperkuat terjadinya perkawinan antara wanita itu dengan suami Bu Sari, tetapi tidak ada bukti tertulis yang sah menurut perundang-undangan negara, maka ibu bisa menolak permintaan warisan itu karena perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum. 

Maka anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri tidak mendapatkan warisan. Yang berhak atas warisan adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah menurut agama dan negara. Artinya dilakukan menurut hukum agama dan dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah (Kompilasi Hukum Islam pasal 6). Anak yang lahir dari perkawinan di luar ketentuan itu hanya memunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya atau keluarga pihak ibunya. 

Seandainya perkawinan sirri itu pernah terjadi, tentu Ibu merasa sakit hati terhadap almarhum suami. Agar ibu tidak terbebani  oleh perasaan itu, dan suami ibu juga tenang di alam kubur, maka sebaiknya Ibu memaafkan kesalahan almarhum. Kenanglah kebaikannya dan lupakan kekhilafannya. 

Jangan lupa tenangkan hati dan pikiran Ibunda agar tidak larut dalam kesedihan. Mohonlah ampun kepada Allah atas dosa dan kesalahan suami dan doakan Ibunda agar senantiasa diberikan kesehatan dan umur panjang yang manfaat. (80)
(Suara Merdeka 10 Desember 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar