Rabu, 05 Mei 2010

Warisan Jadi Perselisihan

Tanya:
Saya  ibu rumah tangga, beranak dua sudah dewasa. Suami bekerja di kantor swasta. Dia tujuh bersaudara. Semua sudah berumah tangga  dan punya anak. Mereka tinggal di kota berbeda. Cuma kakak sulung yang tinggal sekota dengan kami.

Mertua saya sudah lama meninggal. Ketika masih hidup, mereka membagikan tanah pada setiap anak. Para saudara ipar di luar kota menitipkan urusan tanah itu pada suami saya, dari membersihkan rumput sampai membayar pajak.

Karena tanah itu jauh dari rumah, suami minta bantuan L untuk menjaga. Setahun lalu, L melaporkan batas tanah itu diubah P, menantu mendiang kakak sulung. Setelah kakak meninggal dua tahun lalu, anak sulungnya, istri P, mengelola tanah warisan itu. Kemenakan suami itu menganggur dan menjadikan hasil tanaman di tanah itu jadi sumber penghasilan.

Melihat perubahan batas tanah itu, suami menanyakan pada P. Namun P tak mengakui. Mereka bertengkar. Setelah itu, P dan sang isteri tak menyapa kami lagi. Bagaimana kami mesti menjalin hubungan baik seperti dulu? (Ny Rina)

Jawab:
Ibu Rina, pembagian tanah ketika orang tua masih hidup tentu bertujuan agar sepeninggal mereka tak ada masalah. Namun P mengubah batas tanah sehingga menimbulkan pertengkaran.

Karena lebih tua dari P, suami Ibu perlu menyikapi persoalan itu dengan sabar dan bijaksana. Kehidupan ekonomi P agak susah. Mungkin dia berharap para paman mengikhlaskan sedikit tanah warisan sebagai tambahan bagi sang istri yang kekurangan.

Suami Ibu sebaiknya mengajak P bicara dari hati ke hati untuk mengetahui tujuan mengubah batas tanah. Jika P dan sang istri ingin mengelola tanah itu untuk mencari penghasilan, cobalah bicarakan dengan saudara-saudara lain. Lebih baik pengelolaan tanah itu diserahkan pada P, sehingga bisa ditanami dan diambil hasilnya.

Mungkin P perlu diberi nasihat agar menjaga batas tanah masing-masing, kecuali ada yang mengikhlaskan dan memberikan pada kemenakan itu. Jika masih hidup, tentu orang tua senang ada yang mengalah, apalagi memberikan sebagian hak pada saudara yang kekurangan. Semoga, keluarga Ibu kembali rukun dan  warisan itu tak jadi sumber perpecahan. (53)
(Suara Merdeka 5 Mei 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar