Rabu, 25 Juni 2008

Sulit Memaafkan

SAYA seorang ibu rumah tangga yang punya anak tiga. Suami bekerja di kantor swasta. Kondisi perekonomian kami sedikit demi sedikit membaik. Namun hal itu menjadikan suami saya mempunyai sifat kurang baik, yaitu suka pinjam uang untuk membeli barang mewah, seperti mobil. Padahal sebenarnya ia belum mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarga, apalagi merawat mobil. Sekarang ini, pinjaman itu semakin banyak dan untuk menutup hutangnya, suami ingin menyerahkan sertifikat rumah  yang kami tempati sebagai jaminan. 

Saya yang menyimpan sertifikat itu menolak. Karena selain suka hutang, suami juga suka main perempuan. Rasanya sulit untuk memaafkan suami yang dulu pernah menyerahkan sertifikat rumah untuk jaminan hutang. Padahal uangnya untuk bersenang-senang dengan wanita lain. Saya menikah karena dijodohkan oleh orang tua. 

Sebenarnya waktu itu saya sudah punya pacar. Ketika saya jengkel dengan suami, saya sering teringat dengan pacar saya yang pengertian. Apakah sikap saya bisa dibenarkan? Haruskah saya tetap mempertahankan sertifikat rumah itu meski suami mengancam akan menceraikan? (Rati) 

Jawab: 
Ibu Rati, sesudah menikah sebaiknya kenangan masa lalu itu dibuang jauh dan mulai membuka lembaran baru. Dengan begitu idak ada lagi bayang-bayang yang mengganggu keharmonisan rumah tangga. Apalagi ibu sudah punya anak-anak yang sudah benar sehingga membutuhkan  bimbingan dan perhatian.

Kelak mereka menjadi anak yang cerdas dan saleh.  Untuk perkembangan kepribadiannya, anak juga butuh keteladanan dari orang tua. Karena itu, meskipun Ibu dalam kondisi jengkel dengan suami, ibu tak perlu lari ke masa lalu. 

Hadapilah masa sekarang dengan ketegaran, antara lain dengan mengingatkan tentang perilaku suami yang suka main perempuan. Itu dosa dan contoh yang buruk bagi anak-anak. Demikian pula kesukaannya hutang yang digunakan bukan untuk kebutuhan utama, tetapi untuk foya-foya. 

Semua itu perlu dihentikan agar tidak terjerumus ke dalam hutang yang semakin besar dan berakibat kesengsaranan bagi keluaga. Sikap Ibu mempertahankan setifikat itu sudah tepat. Rumah sebagai tempat tinggal adalah kebutuhan pokok bagi keluaga. Maka meskipun diancam perceraian, Ibu tidak perlu goyah. Agar suami menyadari pentingnya rumah itu bagi kehidupan keluarga dan masa depan anak-anak, perlu dijelaskan alasan ibu tidak menyerahkan sertifikat itu untuk jaminan hutang. 

Apabila suami menyadari kesalahannya dan mengubah perilakunya, maka maafkanlah. Memberi maaf bagi orang yang telah menyakitkan hati adalah perwujudan sifat yang terpuji. Allah menyukai orang yang berbuat kebajikan. Jangan lupa mohon petunjuk dan kekuatan Allah agar Ibu dapat menemukan kembali kebahagiaan dalam keluarga. (80)
(Suara Merdeka 25 Juni 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar