Rabu, 23 Juli 2008

Tidak Memberi Nafkah

Tanya
Saya seorang pegawai swasta, demikian pula suami. Kami telah mempunyai dua anak yang menginjak remaja. Sejak menikah, suami tidak pernah memberi nafkah. 

Selama ini untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari menggunakan penghasilan saya. Ia pernah mengatakan bahwa gajinya harus dikirimkan ke kampung untuk membantu kakaknya yang sudah janda dan punya anak banyak. Saya percaya dengan apa yang dikatakan. 

Tapi sewaktu kakaknya mengunjungi kami dan berbicara panjang lebar tentang kehidupannya, ternyata berbeda sekali dengan yang pernah diungkapkan suami. Karena meskipun janda, kakaknya punya usaha dagang yang cukup berhasil. Jadi ia tidak pernah meminta bantuan suami saya. 

Setelah saya selidiki, ternyata suami saya telah membohongi saya. Dan yang menyakitkan hati, gajinya selama ini hanya digunakan untuk bersenang-senang dengan W, teman sekerja yang menjadi kekasih gelapnya. Apakah saya boleh menuntut suami agar memberikan nafkah dan apakah suami bisa digugat cerai karena ia sudah selingkuh. (NY Ria) 

Jawab 
Ibu Ria, suami memang mempunyai kewajiban memberi nafkah bagi isteri dan anak-anaknya sebagaimana disebut dalam firman Allah: "Dan Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf" (QS Al-Baqarah: 23). 

Kewajiban memberi nafkah itu harus dipenuhi oleh suami dan tidak boleh diabaikan. Bagi yang mampu dan sengaja tidak mau melaksanakan termasuk berhutang kepada isteri dan bisa dituntut untuk memenuhi kewajibannya. Dalam kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (pasal 80: 2). 

Oleh karenanya, ibu bisa membicarakan hak untuk mendapat nafkah itu dengan suami. Nafkah lahir meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, perawatan, dan pengobatan bagi isteri dan anak, serta biaya pendidikan anak. 
Sedangkan nafkah batin selama ini hanya dikaitkan denagn hubungan seksual. 

Padahal tidak hanya itu karena termasuk pula memberikan perlindungan serta ketentraman bagi isteri. Dari kasus perselingkungan suami, dia mengabaikan kewajibannya untuk melindungi Ibu dari segala hal yang mengganggu ketenangan. 

Ibu bisa mengingatkan. Jika ia tidak berubah, maka Ibu dapat mengajukan gugatan melalui kantor pengadilan agama. Perselingkungan dapat menjadi alasan pengabulan gugatan (KHI pasal 116). 

Sekarang, keputusan untuk menggugat cerai ada di tangan Ibu. Agar lebih  mantap mengambil keputusan, mohonlah petunjuk Allah dengan shalat istikarah.
(Suara Merdeka 23 Juli 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar